Perkembangan teknologi finansial (fintech) syariah dalam mendorong pembiayaan sektor agrikultur memang masih minim. Dari 13 platform pembiayaan syariah yang terdaftar di OJK per 30 April 2020, hanya 3 platform yang menaungi pendanaan untuk sektor tersebut.
Sementara itu, Islamic Fintech Global Report (2018) menyatakan bahwa prospek fintech syariah sangat menjanjikan terutama di negara dengan populasi muslim yang besar. Indonesia, setidaknya memenuhi tiga syarat penetrasi fintech syariah, yaitu milenial, smartphone, dan muslim mayoritas. Data BPS (2019) menunjukkan bahwa persentase penduduk muslim Indonesia mencapai 87%, penduduk milenial sebanyak 23,67%, dan pengguna internet adalah 175,2 juta pengguna.
Akan tetapi, meskipun hampir seperempat populasi Indonesia adalah milenial, peran mereka dalam mendorong sektor agrikultur juga masih sangat terbatas. Faktanya, lebih dari 80% profesi petani di Indonesia berusia lebih dari 50 tahun (Petani Muda, 2019). Padahal, industri pertanian mendominasi struktur PDB Indonesia kedua setelah sektor industri dengan persentase 13,45% pada kuartal III-2019.
Kesulitan akses pendanaan dan tingginya risiko menjadi faktor penghalang generasi milenial untuk menggeluti sektor ini. Petani memang menghadapi risiko produksi, teknologi, pestisida, hama, dan volatilitas harga.Â
Demikian pula bagi investor, ketidakpercayaan dan ketiadaan insentif pemerintah menjadi penghambat. Jika kedua stakeholder utama ini lesu, tentu saja pengembang platform pembiayaan syariah juga berpikir dua kali. Terlebih bila regulasi tidak mendukung.
Ubah Persepsi Negatif
Fintech seharusnya dapat menjadi jawaban bagi masalah kesulitan pendanaan yang dialami para petani. Data OJK menunjukkan bahwa per 31 Mei 2020, akumulasi penyaluran pinjaman mencapai 109,18 Triliun Rupiah.
 Angka ini setara dengan 10,48% PDB. Hal tersebut menunjukkan bahwa fintech telah banyak dilirik sebagai alternatif pembiayaan yang lebih mampu menjangkau sebagian besar masyarakat Indonesia. Salah satu alasan utama disukainya skema pembiayaan fintech adalah kemudahan persyaratan yang dibutuhkan. Â
Namun sayang, persepsi negatif terhadap fintech bahkan telah diakui oleh Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI). Isu tentang legalitas hingga minimnya kepercayaan menjadi sangat kental dalam setiap bahasan terkait fintech. Kemudahan pembiayaan yang ditawarkan fintech ini pun harus dibayar dengan bunga pinjaman yang jauh di atas bunga perbankan.
Keberadaan fintech syariah diungkapkan mampu menetralisasi aspek-aspek negatif tersebut. Prinsip bagi hasil yang dianut dalam sistem syariah akan menjadikan skema imbal balik menjadi lebih terstandar. Dengan demikian, pembiayaan jenis baru ini akan lebih dapat diterima oleh sebagian besar masyarakat Indonesia.
Fintech syariah merupakan inovasi dalam industri keuangan yang mengandalkan penggunaan teknologi untuk keperluan finansial. Produk dan layanan fintech syariah harus sesuai dengan maq a sid al-Shari’ah (tujuan hukum Islam). Selain itu, fintech syariah harus mengadopsi prinsip murabahah (cost-plus financing), musharakah (joint enterprise), dan mudarabah (partnership).