Mohon tunggu...
Nusantara Rizky
Nusantara Rizky Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis aktif baik cerpen, puisi, dan berbagai artikel di berbagai media Kalau di beranda kamu menemukan nama Nusantara Rizky Jangan lupa di sapa dan follow Semoga semua karya saya menginspirasi, menyenangkan dan menghibur

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Anak Jalanan

25 Desember 2017   14:14 Diperbarui: 25 Desember 2017   14:18 745
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Apa yang mereka lihat dari diri kami? Sehingga mata itu, terlihat seperti mata yang tak beradab. Mungkinkah, mereka berfikir jika kami ini adalah sampah masyarakat yang tak berbudi. Anak-anak tak bermasa depan yang hanya mampu memberi keributan tanpa guna sama sekali. Bahkan, jika boleh aku berfikir buruk, mungkin mereka akan memisahkan harapan dan cinta yang tulus dari dalam benak kami.

Mengapa semua ini harus terjadi? Andai boleh memilih takdir, kami pun tak ingin menjalani hari-hari seperti ini. Kami hanya bisa berpasrah diri, tanpa sedikit un mengendurkan kekuatan kami untuk berusaha merubah takdir yang sebenarnya bisa kami rubah. Hanya saja kesempatan itu tak pernah diberikan kepada kami, walau sekali saja.

Dunia memang penuh dengan tanda tanya besar. Tak ada yang tahu kecuali Tuhan. Terkadang, karena itulah, kami sering menyalahkan Tuhan atas apa yang terjadi pada diri kami. Tetapi, setelahnya kami tertawa terbahak-bahak, membodohkan apa yang menjadi pemikiran kami sebelumnya. Tuhan tak pernah salah dalam menulis takdirnya, hanya saja kita sendiri yang bodoh untuk mengartikannya.

Walau rasa ini teramat perih, tetapi tak ada bahagia yang bisa diraih sebelum merasakan duka yang terdalam. Aku meyakini semua itu. Aku pernah merasakannya dulu. Ketika cinta ini masih bersemayam dalam nurani, ketika hati ini masih berbentuk.

Ada rasa malu yang sebenarnya harus kami semua tanggung, tetapi mereka tak pernah tahu dan mau mengerti dengan rasa malu itu. Rasa malu yang sebenarnya tak sepadan dengan beban hidup yang selalu kami tanggung setiap saat. Rasa iri yang selalu hadir menghantui kami masing-masing dengan sendirinya membuat kami tak berdaya dihadapan cinta dan hati.

Bukankah cinta tak memandang kasta atau pun rupa. Sayangnya, semua itu hanyalah teori yang tak pernah benar-benar nyata. Seperti cerita dongeng yang selalu diceritakan oleh seorang ibu sebelum tidur sewaktu kecil. Sampai saat ini pun masih teringat dalam benak akan semua kenangan itu.

Dingin menyerang kami, seperti halnya malam yang biasa kami lewati, bersama dengan hujan yang tak pernah berhenti, sejak tadi sore. Kami hanya bisa memandang, saling berpeluk satu sama lain, menjadikan diri ini menjadi hangat.

"Aku rindu pelukan ini?' kata Mawar yang mendekap erat tubuhku.

"Peluklah tubuhku lebih erat lagi, jika kau memang menginginkannya!" kataku.

Mawar adalah perempuan pertama yang ku kenal setelah aku memutuskan untuk meninggalkan semuanya. Dia yang mengajarkanku untuk selalu bertahan dalam kerasnya kehidupan jalanan yang tak pernah terjadi selama hidupku. Termasuk, bagaimana cara untuk tetap bertahan hidup dari preman-preman yang sering kali membuat ulah.

Dari Mawar pula, aku belajar bahwa hidup ini adalah sebuah perjuangan yang tak pernah berakhir, walau bahagia sudah diraih. Mawar yang selalu setia disampingku, saat aku merasa dunia ini akan menghujam dengan berbagai macam cemoohan yang datang silih berganti tanpa berhenti.

"Sudahlah, untuk apa kau mendengar kata-kata mereka,"

"Tetapi...."

"Sudahlah, mereka tak tahu hidupmu biaran mereka bertingkah sesukanya, berbicara selagi mereka bisa," kata Mawar yang menatap ku tajam.

Dari Mawar pula, aku merasakan cinta yang tak pernah ku rasakan sebelumnya. Cinta yang tulus dari dalam hati, tak pernah berbohong, atau pun berkedok dibalik kata sayang yang selalu saja dihadirkan dalam menit-menit yang terasa memuakkan.

Ingin berteriak dan berlari, tetapi tak ada keberanian yang muncul dari dalam diri. Hanya bisa bersuara melalui media sosial yang berkhayal dengan kata-kata puitis. Terkadang, aku sering tertawa dengan komentar yang ku dapat saat rangkaian kata itu meuncur bebas ke dunia maya.

Hingga, sebuah keberanian yang entah darimana asalnya, membawa ku dalam sebuah kebimbangan. Kata-kata yang terlontar dari seorang perempuan dan lelaki yang seharusnya menjadi yang berarti bagi ku, menjadi bumerang dengan serangan konotasi-konotasi menyakitkan.

Tak hanya diriku, Mawar pun mempunyai cerita yang tak jauh berbeda. Terutama, Indra yang ku kenal setelah bertemu dengan Mawar dipersimpangan jalan, tempat ku dan Mawar menghabiskan sore yang indah, dengan pemandangan hiruk pikuk kota, dan sunset yang menakjubkan mata.

"Andai saja, permintaan mati itu diperbolehkan?" kata ku.

"Lalu? Apa kau ingin memintanya?" tanya Indra.

"Mungkin,"

"Hidup ini terlalu indah untuk hanya sekedar meminta mati kawan,"

Indra adalah orang yang paling tegar diantara kami. Badai apa pun tak akan mampu meruntuhkannya. Dia tetap berjalan lurus, walau keinginan untuk berkelok sangat banyak. Indra memahami benar apa yang menjadi tujuannya hidup dijalanan, dan apa yang harus dilakukannya, merubah semua perkataan itu.

Sedangkan, aku sendiri masih berkutat pada rasa sakit hati yang seharusnya tak pernah ku pikirkan lagi. Masa lalu masih kuat untuk menggoda imanku, menggodaku dengan berbagai macam caranya, terlebih Mawar terlihat sangat mempesona, bukan hanya dimataku, tetapi juga dimata yang lain.

Jalanan ini terlalu baik untuk perempuan-perempuan seperti Mawar. Tak seharusnya dia mengalami apa yang harus dialaminya saat ini. tetapi, dia masih tetap bersyukur dengan apa yang ia punya. Cemoohan dari orang-orang yang melintas dengan rasa sombong itu, ditanggapinya dengan sangat dingin.

Pernah suatu ketika, seorang lelaki baya, memberinya uang setelah ia menyanyi. Tetapi lelaki itu tak puas dengan apa yang dilakukan oleh Mawar, ia mengingikan lebih dari itu. Indra pun menghajarnya, begitu pula dengan ku yang memukulnya berkali-kali. Lelaki itu pergi, dan tak lama kemudia kembali dengan membawa beberapa polisi. Kami pun ditangkap dan dimasukkan ke penjara untuk beberapa hari.

"Sudahlah, hal yang seperti ini sudah biasa bagi kami," kata Mawar yang mencoba meredam amarah ku.

"Tapi, kita hanya membela diri atas perlakuan lelaki itu," jawabku yang masih kesal

"Sudah untung kita tak mati, terkadang penjara ini lebih baik dari emperan toko kawan,"

"Iya, Dim, kalau boleh aku ingin hidup selamanya dipenjara bersama kalian, makan terjamin, tidur terjamin, nggak panas, nggak hujan, nggak ada orang jahat, dan nggak ada yang berkata kotor kepada kami lagi,"

Aku melihat raut wajah kesedihan dari tatapan Indra dan Mawar. Aku menumbuhkan kembali ingatan yang sudah dikuburnya dalam-dalam, tentang kematian Rizky yang bernasib sial gara-gara kejadian yang sama. Nuraniku tak kuasa melihat apa yang sedang terjadi di dalam sel ini. Rasa bersalah ini muncul seketika menghantui semua emosi yang kini mulai terendam.

"Setelah ini, kita akan kemana?" kata Mawar setelah menghirup udara bebas lagi.

"Entah,"

Rasa kesal kembali hadir dalam diri, tentang apa yang harus dijalani. Mengapa semua harus seperti ini? Mengapa tak ada pilihan lain yang lebih baik dari sekedar hidup di jalanan? Terkadang, air mata sering tertumpah dalam doa yang sering terpanjatkan diantara malam-malam yang dingin, dengan bintang-bintang yang selalu menjadi saksi bisu.

"Andai semua orang tahu bagaimana rasanya menjadi kita?" kata Mawar yang sedang melihat orang-orang tertawa disebuah taman kota diwaktu sore.

"Lalu?" tanya Indra.

"Mungkin, mereka bisa memakluminya," jawab Mawar.

"Tak semua manusia seperti yang kita bayangkan," jawab ku.

Ada rasa rindu yang hadir dalam diri. Rasa ingin kembali bersama dengan mereka yang telah menyakiti, mengkhianti dengan kata cinta yang selalu dilayangkan dalam ungkapan yang tak berarti sedikit pun. Hanya saja, saat ini aku sadar siapa aku, dan apa yang telah terjadi. aku bukanlah siapa-siapa dan bukan bagian dari mereka lagi.

Iringan lagu melayu dan mendayu terdengar begitu merdu, seakan engenal dan mengerti apa yang kami rasakan saat ini. Lagu tentang cinta yang tak pernah terbals, yang tak pernah peduli dengan kata kebenaran. Air mata kembali tertumpah atas rasa sakit yang selalu berdampingan dengan keinginan untuk mati.

Mawar selalu tersenyum, jika badai mulai menghampirinya dan akan menghantamnya. Dia percaya, masalah bukanlah hal besar yang harus dipikirkan secara mendalam, melainkan ditertawakan dan masalah itu akan pergi dengan sendirinya. Entah itu benar atau pun tidak, Mawar begitu menyakininya dengan sangat baik.

Terlebih lagi, ketika dia harus menyadari akan rasa cintanya kepada Zam, anak seorang pejabat negara yang setiap satu minggu sekali selalu ditemuinya. Entah, mimpi atau apakah yang sedang dialami oleh Mawar, ia hanya ingin selalu didekat Zam dan begitu pula sebaliknya.

"Kita memang berbeda,' kata Mawar kepadaku

"Perbedaan itu yang akan menyatukan kalian," kata ku yang masih mendekap erat Mawar.

Hujan ini masih turun, bahkan semakin deras. Dingin menyerang terbawa oleh angin yang tak pernah meredup. Saat ini kami hanya ingin berpikir bagaimana menghadapi malam ini dari dingin yang tak biasa. Rasa cinta Mawar kepada Zam, Rasa sakit hati ku kepada orang-orang yang berjasa, dan kebencian Ilham diindahkan untuk beberapa menit. Sebagaimana yang kami lakukan setiap saat, setiap kali dunia bertindak jahat kepada kami.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun