Satu tahun aku dan Ilya menjalin hubungan dengan status pacaran. Sebagai seorang laki-laki, aku tidak mau hubunganku akan terus seperti ini. Maka sore itu, dengan segala keberanian, aku datang ke rumah Ilya tanpa seizinnya.Â
Ilya membuka pintu dengan keheranan. "Aku mau berbicara dengan ayahmu," ucapku kepada Ilya. Setelah berbincang cukup lama, akhirnya sebuah kalimat yang telah aku rangkai keluar juga.Â
"Bisakah saya mempersunting anak ayah untuk menjadi istri saya?" pintaku dengan sungguh-sungguh. Hanya anggukan yang menjadi jawaban. Dengan spontan aku sujud syukur di hadapan calon mertua dan Ilya. Sedangkan calon istriku mengeluarkan air mata bahagia setelah mendengar jawaban dari ayahnya.
Seminggu sebelum acara pernikahan, aku ajak Ilya ke sebuah tempat yang aku persiapkan sebagai hadiah pernikahan. Sebuah perpustakaan mini. Ilya yang memang hobi membaca, terlihat sangat senang melihatnya. Mata lentiknya berbinar menatap setiap buku yang ada di hadapannya.Â
Aku genggam tangan Ilya. Memandangi matanya dalam-dalam dan berbisik, "I love you forever." Dengan suaranya yang lembut Ilya menjawab, "Semoga selamanya."
Aku melangkah mantap menuju sebuah tempat yang sakral bagi hidupku. Banyak orang-orang yang melihatku dengan senyuman yang merekah. Ilya tampil bagai bidadari hari ini.Â
Aku jabat erat tangan seorang penghulu di hadapanku. Merapal kata-kata yang sejak tadi malam tidak bisa membuat tidurku dengan nyenyak. Kata "sah" menjadi sebuah kata yang diucapkan saksi dan para tamu undangan. Kupakaikan cincin di jari manis Ilya dan aku kecup keningnya selama mungkin. Tak lama kemudian suara ayam jantan berkokok dengan keras.