Bangsa yang tanpa akar hanya akan menjadi bangsa yang rapuh dan tak bisa tumbuh. Ibarat sebuah pohon, sebuah bangsa perlu menguatkan akarnya agar bisa tegak dan tumbuh berkembang. Â Dengan demikian, bangsa harus memiliki dan mengenal akarnya, akar sebuah bangsa dapat dilihat melalui sejarah. Sejarah dapat memberikan pengajaran, pengetahuan, dan ilmu pengetahuan bagi sebuah bangsa. Melalui prinsip "menengok ke belakang" untuk melangkah ke depan, sebuah bangsa bisa melihat, merencanakan, dan mempersiapkan masa depan yang baik. Pada akhirnya, bangsa yang tahu persis dirinya tidak akan udah terombang-ambing oleh budaya bangsa lain.
Sebagaimana rupa akar, ia memiliki cabang. Salah satu cabang akar bangsa Indonesia adalah bahasa Indonesia. Sudah sepantasnya bangsa Indonesia bangga dengan lahir dan hadirnya bahasa Indonesia. Bahasa ini lahir dan dikenalkan kepada seluruh wilayah Nusantara pada puluhan tahun yang lalu.Â
Dialah Muhammad Yamin, tokoh yang melakukan usaha pergerakan dengan mengumpulkan seluruh perwakilan pemuda tiap-tiap daerah di Nusantara untuk kemudian menyelenggarakan kongres yang dikenal dengan nama Kongres Pemuda. Kongres Pemuda dilakukan dua kali, pada Kongres Pemuda II, lahirlah Sumpah Pemuda yang dideklarasikan pada 28 Oktober 1928, di Jakarta. Usaha yang perlu diperhitungkan dan dihayati dengan cara yang seksama bagi bangsa Indonesia.
Perhatikan saja, bait ketiga Sumpah Pemuda berbunyi bahwa "Kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia."
Sejak dideklarasikannya Sumpah Pemuda, semangat bangsa Indonesia semakin membara. 17 tahun kemudian, atas nama bangsa Indonesia, Soekarno membacakan proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia. Hal yang perlu diingat, proklamasi ditulis dalam bahasa Indonesia, bukan bahasa Inggris, Belanda, apalagi Jepang. Â
Semakin hari, bahasa Indonesia terus berkembang. Bahasa Indonesia digunakan dalam tulisan-tulisan surat kabar; dialog dan pidato radio; serta tulisan dinding. Puncaknya, bahasa Indonesia, digunakan salah seorang penyair perjuangan, Chairil Anwar, untuk mengutarakan perasaannya. Puisi berjudul "Aku" ciptaannya itu menjadi karya sastra fenomenal bangsa Indonesia hingga hari ini. Hampir di setiap pembelajaran sekolah, puisi tersebut dijadikan sumber belajar pelajaran bahasa Indonesia.
Bahasa Indonesia Hari Ini
Bahasa Indonesia memiliki keunikan tersendiri. Bahasa Indonesia lahir dari percampuran berbagai macam bahasa. Bahasa Indonesia menyerap bahasa dari tiap-tiap daerah di Nusantara dan sebagian diserap dari bahasa para bangsa yang pernah menetap di Indonesia, salah satunya bahasa bangsa penjajah, seperti Portugis, Belanda, dan Jepang. Hal itulah yang memuat bahasa Indonesia memiliki kekhasan tersendiri, terutama untuk dipelajari sebagai sebuah alat komunikasi.
Hingga hari ini, tepatnya di Australia, bahasa Indonesia sudah dijadikan mata pelajaran pilihan wajib di sekolah dasar. Selain itu, di negeri tersebut, beberapa Universitas membuka jurusan bahasa Indonesia. Apapun motif yang dihadirkan oleh pemerintah Australia dengan mengenalkan bahasa Indonesia, semestinya bisa menjadi alat dorong bagi bangsa Indonesia sendiri yang hingga hari ini masih mengesampingkan bahasa Indonesia sebagai sebuah kebanggaan.
Tak hanya di Australia, beberapa negara di dunia menjadikan bahasa Indonesia sebagai salah satu pilihan jurusan di universitas negera tersebut. Sebut saja Jerman, Korea Selatan, Belanda, dan Tiongkok secara resmi telah membuka jurusan Bahasa Indonesia. Tak elok jadinya apabila bangsa Indonesia masih menempatkan bahasa Indonesia ini sebagai bahasa sampingan saja.Â
Apakah bangsa Indonesia lupa bahwa dahulu, bahasa Indonesia ini menjadi alat pelecut semangat kemerdekaan? Apakah bangsa Indonesia lupa bahwa dulu ia pernah mencintai bahasa Indonesia lewat karya sastra?
Hingga hari ini, masyarakat sendiri senantiasa diingatkan oleh pemerintah, terutama lewat peraturan dan kebijakan yang telah dibuat. Berkaitan dengan lingkungan kerja, pasal 33 ayat 1 sudah menjelaskan tentang kewajian menggunakan bahasa Indonesia sebagai komunikasi resmi. Lebih luasnya lagi, PP. 57 tahun 2014 menerangkan bahwa bahasa Indonesia sebagai sarana komunikasi nasional.
Berkaitan dengan peluang bangsa Indonesia untuk menguasai lebih dari satu bahasa, Swiftkey menyatakan bahwa negara Indonesia sebagai negara terbesar yang menggunakan 3 bahasa dalam komunikasi kesehariannya. Penelitian tersebut memang membuktikan bahwa bangsa Indonesia sebenarnya mampu menjadi pengguna tiga bahasa (multilingual). Dukungan lain pun datang dari penelitian yang menyebutkan bahwa penutur dwibahasa atau lebih dapat membuat otak lebih sehat dan cerdas.
Jadi, bagi bangsa Indonesia, tak akan ada kerugian dari mencintai bahasa Indonesia. Tak akan ada kesulitan dalam mempelajari bahasa Indonesia. Bangsa Indonesia memiliki otak yang cerdas dan sehat. Sudah sewajarnya, bangsa Indonesia mencintai (kembali) bahasa Indonesia.
Sebuah Kekhawatiran
Sejarah telah mengisahkan; undang-undang dan kebijakan sudah ditetapkan; serta hasil penelitian mantap menunjukkan fakta ihwal bahasa Indonesia. Ketiga hal tersebut sudah sangat meyakinkan pentingnya bahasa Indonesia.
Namun, kekuatan sejarah, hukum, dan ilmu pengetahuan belum cukup kuat untuk menantang hegemoni bahasa asing yang dikenalkan lewat budaya populer. Alat-alat budaya seperti radio, televisi, game hingga internet menggiring dengan cepat arus pikiran bangsa Indonesia kepada budaya popular bangsa lain.
Kekuatan hegemoni itulah yang secara langsung dan tidak langsung mempengaruhi arus pikiran bangsa Indonesia. Pada akhirnya, salah satu yang menjadi ancaman adalah tersisihkannya bahasa Indonesia di negeri sendiri. Lebih mengutamakan bahasa asing adalah salah satu kenyataan dari sebagian besar bangsa Indonesia.
Kekhawatiran datang dari seorang peneliti sekaligus peminat bahasa Indonesia, Ivan Lanin. Ia memaparkan bahwa terdapat dua sebab yang menjadi masalah bangsa Indonesia terhadap bahasanya, yakni memudarnya kebanggaan bahasa Indonesia dan menurunnya keterampilan berbahasa Indonesia.
Pertama, terkait memudarnya kebanggaan bangsa Indonesia terhadap bahasa Indonesia tampak pada penyisipan bahasa asing dalam padanan bahasa Indonesia, penggunaan bahasa asing sebagai nama acara dan tempat, dan penggunaan bahasa asing sebagai pengantar dalam acara di Indonesia.
Salah satu contoh menarik, kritikan pernah dilayangkan A.S. Laksana kepada Presiden Joko Widodo terkait penggunaan bahasa Inggris Presiden Joko Widodo di acara internasional yang kurang fasih dan baik. Tentunya hal tersebut menimbulkan kekecewaan bagi bangsa Indonesia. Selain penggunaan bahasa asing yang tidak baik, Presiden Joko Widodo dianggap juga melanggar UU nomor 24 Tahun 2009 pasal 28 terkait penggunaan bahasa Indonesia dalam pidato di luar negeri. Karena peristiwa tersebut akhirnya dibuat aturan baru.Â
Bangsa ini masih merasa rendah diri terhadap bahasanya sendiri. Ada apa?
Lebih memilih coffeshop, tower, park, school, dan office ketimbang warung kopi, menara, taman, sekolah, dan kantor. Bukti bahwa rasa minder itu jelas adanya. Mungkin, dalam sepi, bahasa Indonesia akan berujar, "da aku mah apa atuh", yang berarti hanya apalah aku ini.
Bahasa asing sudah merasuk ke dalam segala bentuk kehidupan bangsa Indonesia, terutama yang berkaitan dengan penamaan. Nama makanan, minuman, toko, hotel, jalan, barang hingga nama anak sekalipun. Hari ini pun, sangatlah mudah untuk menemukan anak Indonesia bernama Edward, Kevin, Michael, atau David ketimbang nama Sutrisno, Jaka, atau Sumardi. Â
Penyebab kedua, Ivan Lanin menyebutkan, terkait masalah bahasa Indonesia adalah menurunnya keterampilan berbahasa Indonesia. Dampak dari pembelajaran bahasa Indonesia di lembaga pendidikan yang kurang menarik dan menyenangkan adalah berkurangnya minat pada bahasa Indonesia. Lebih jauhnya lagi, berakhir pada kurang bangganya bangsa Indonesia pada bahasa Indonesia.
Sorotan tajam tertuju pada guru dan orang tua. Hanya guru dan orang tua yang bertanggungjawab menjadi pengarah, pembimbing, sekaligus pengajar bahasa Indonesia bagi anak maupun siswanya. Bagaimana mungkin siswa bisa bangga terhadap bahasa Indonesia jika gurunya sendiri tak merasa bangga dengan bahasa Indonesia. Fakta rendahnya minat baca dan keterampilan guru Indonesia menambah jelas persoalan yang terjadi pada bangsa Indonesia ini.
Motto Pamungkas
Dengan demikian, bahasa asing bukan berarti harus dikesampingkan dan bahasa Indonesia diutamakan. Jika demikian, maka bangsa Indonesia akan menjadi bangsa yang kurang gaul. Sebaliknya, apabila bahasa Indonesia dinistakan dan bahasa asing diutamakan akan menjadikan bangsa Indonesia kehilangan identitasnya.
Sangatlah bijak apabila kita sebagai bangsa Indonesia mau mengamalkan motto yang berbunyi, "utamakan bahasa Indonesia, pelihara bahasa daerah, dan pelajari bahasa asing". Tetapi, motto hanya akan menjadi motto, tidak akan ada daya tanpa upaya yang nyata dan berkelanjutan.
Sangatlah utama apabila para pendidik mau mengamalkan motto tersebut sebagai upaya pendidikan bagi bangsa. Penulis meyakini betul bahwa cinta dan kebanggaan yang hilang itu disebabkan jarangnya membaca dan menikmati bahasa Indonesia melalui karya-karya sastra maupun nonsastra. Selain itu, perlu juga menelusuri lagi sejarah bangsa Indonesia.
Dengan demikian, penulis mengajak para pendidik (guru dan orang tua) untuk kembali lagi mencintai bahasa Indonesia dengan banyak membaca dan menulis dalam bahasa Indonesia. Kemudian, para pendidik siap secara langsung untuk menularkan cinta dan kebanggaan terhadap bahasa Indonesia kepada anak atau siswanya. Cinta bahasa Indonesia yang dulu pernah tumbuh dan terasa dapat bersemi kembali. Â Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI