Mohon tunggu...
Rizki Saputra
Rizki Saputra Mohon Tunggu... Guru - Nagan Raya, Nanggroe Aceh Darussalam

Rizki Saputra: Mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa Arab yang menyukai kisah-kisah serta buku-buku klasik yang bersumber dari negeri Timur.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Sayap-sayap Patah: Keadaan Mematahkan Sayap Dua Insan

5 April 2020   21:10 Diperbarui: 5 April 2020   21:11 1004
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

           Sayap-sayap Patah merupakan salah satu karya sastra dalam kategori novel karangan Khalil Gibran yang telah berhasil menduduki daftar best seller dunia dalam jangka waktu yang cukup lama. Novel ini mengisahkan tentang trackrecord seorang pemuda yang berusaha menggapai cinta pertamanya, namun harus berhadapan dengan berbagai problematika yang telah ditetapkan oleh sang takdir dalam usahanya.

            Pemilihan kosakata yang tepat oleh penulis sangat membantu pembaca untuk mendalami alur ceritanya seakan-akan kisah itu terjadi tepat di depan mata pembaca. Rangkaian kalimat yang sangat puitis dari penulis sering kali membuat pembaca tenggelam dan terbenam dalam alur kisah yang dibacanya.

            Seperti novel pada umumnya, kisah yang disajikan dalam novel ini merupakan bagian pengalaman pribadi penulis yang dimulai dari jatuh hati, perjuangan, serta seluruh pengorbanan yang telah ia lakukan.

            Novel ini lahir karena dorongan ketidakadilan, kemunafikan, dan kesengajaan penyelewengan makna cinta yang terjadi disekelilingnya bahkan sampai menimpa dirinya. Hala Daher yang disifatkan dengan Selma Karamy dalam novel tersebut adalah seorang perempuan kawan studi Gibran di Lebanon yang telah ditetapkan oleh takdir sebagai cinta pertamanya.

            Gibran dan Selma Karamy pertama kali bertemu ketika ia bertamu ke rumah Farris Effandi ayahnya Selma yang juga kerabat dekat ayah Gibran dulunya, di dalam rumah itu pandangan pertama keduanya terjadi. Pandangan pertama itu telah membuatnya tenggelam dalam lautan cinta dan telah menghidupkan api cinta di dalam hatinya. Namun Gibran tidak sendirian dengan semua perasaan itu, karena Selma Karamy juga merasakan hal yang sama. Pandangan pertama itu telah membuat api cinta menyala dalam kedua hati pecinta dan tidak tahu cara memadamkannya. Kedua pecinta ini tidak akan memadamkan api cinta itu karena keduanya merupakan manusia yang memuja cinta dan keindahan serta telah menyatu di dalamnya sekalipun nanti harus merasakan pahitnya penderitaan dan perpisahan. 

           Banyak hal telah mereka lalui ketika tenggelam dalam lautan cinta, satu sama lainnya saling memberikan warna indah dalam kehidupan keduannya. Hingga datang suatu hari yang mengubah segalanya kecuali perasaan cinta yang datang tulus dari hati. Pendeta meminta Farris Effandi untuk memberikan tangan Selma buat keponakannya, dalam keadaan diam membisu dan menitikkan air mata sang ayah terpaksa merestui permintaan sang pendeta. Farris Effandi mengetahui bahwa pinangan itu bukan karena cinta, kecantikan, atau  keagungan jiwa Selma. Pinangan itu semata-mata hanya karena harta yang akan membuat kehidupan ponakan sang pendeta berkelimpahan dengan harta.

            Kesedihan dan kepedihan menimpa Effandi karena harus merelakan anak perempuan semata wayangnya dipersungting oleh laki-laki yang sangat ia kenal. Bahkan semua orang Lebanon mengenal ponakan pendeta itu sebagai laki-laki yang sangat berbahaya, dengki, jahat, dan penyeleweng. Keadaan di Lebanon telah mematahkan sayap Farris Effandi untuk menjaga dan memberikan anaknya Selma kepada orang yang tepat, karena tidak ada yang bisa hidup tenang dan aman setelah melawan seorang pendeta atau menolak keinginannya.

            Sosial kultural yang ada di Lebanon telah menancapkan pedang penderitaan dan kepedihan di dada dua manusia yang bersih dan suci. Farris Effandi harus menghabiskan sisa hidupnya dengan perasaan derita dan penuh duka, karena harus merelakan anak tercintaanya terkurung dalam sarang yang akan membuatnya menderita. Sedangkan Khalil Gibran harus menjalani hidupnya yang masih panjang dengan penuh penderitaan dan kesedihan karna harus kehilangan seorang kekasih yang sangat dicinta.

Pendeta-pendeta Kristen serta para Brahma menjadi seperti reptil laut yang malahap mangsanya dengan cengkraman kuku-kukunya dan menghisap darahnya dengan bermacam-macam mulutnya. (Khalil Gibran).


Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun