Mohon tunggu...
Rizkika MiftakhulJannah
Rizkika MiftakhulJannah Mohon Tunggu... Mahasiswa

seorang mahasiswa tingkat akhir di fakultas FAI Prodi Pendidikan Agama Islam Universitas Billfath Lamongan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Pendidikan Indonesia : Antara harapan, Ketimpangan dan Realita

2 Juli 2025   15:15 Diperbarui: 2 Juli 2025   15:15 84
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Pendidikan adalah fondasi utama dalam membangun peradaban. Di atasnya berdiri harapan, kemajuan, dan masa depan bangsa. Namun, di balik gemerlapnya jargon-jargon seperti "Merdeka Belajar", "Digitalisasi Pendidikan", atau "Transformasi Kurikulum", tersembunyi berbagai persoalan yang masih menggerogoti sistem pendidikan kita. Maka dari itu, tulisan ini hadir sebagai refleksi atas realita pendidikan Indonesia hari ini---sebuah potret yang tidak selalu manis, namun perlu dikenali agar bisa diperbaiki.

Mengapa Topik Ini Dipilih?

Problematika pendidikan bukan sekadar isu akademik, tetapi menyangkut masa depan seluruh anak bangsa. Dari pelosok desa hingga pusat kota, dari SD sampai universitas, keluhan demi keluhan mengalir: fasilitas minim, guru tidak merata, sistem yang terlalu teoritis, dan kebijakan yang kerap berubah tanpa evaluasi menyeluruh. Di tengah upaya pemerintah meningkatkan kualitas pendidikan, pertanyaan besarnya adalah: sudahkah kita bergerak ke arah yang benar?

Ketimpangan Akses dan Kualitas

Salah satu problematika mendasar dalam pendidikan Indonesia adalah ketimpangan. Di kota besar, siswa bisa menikmati fasilitas komputer, Wi-Fi, dan guru-guru berkompetensi tinggi. Sementara di daerah terpencil, masih banyak siswa yang harus berjalan berkilo-kilo hanya untuk mencapai sekolah beratap seng, dengan guru honorer yang mengajar lima mata pelajaran sekaligus.

Kesenjangan ini diperparah dengan kualitas pembelajaran yang juga tidak merata. Banyak sekolah masih menerapkan pendekatan hafalan dan teacher-centered, bukan pembelajaran kritis dan kontekstual. Alih-alih membentuk manusia merdeka, siswa justru terjebak dalam pola pikir seragam dan takut salah.

Guru dalam Tekanan Sistem

Guru seharusnya menjadi ujung tombak pendidikan. Namun faktanya, banyak guru merasa tertekan oleh beban administratif yang tinggi dan sistem penilaian yang kaku. Di satu sisi, mereka dituntut menguasai teknologi dan melakukan inovasi, tetapi di sisi lain mereka tidak mendapatkan pelatihan atau dukungan yang memadai.

Bahkan dalam program-program reformasi seperti Guru Penggerak atau Platform Merdeka Mengajar, tidak sedikit guru merasa bingung, terbebani, atau bahkan tertinggal karena keterbatasan akses dan pendampingan.

Kurikulum: Terlalu Ambisius?

Kurikulum Merdeka hadir dengan semangat baik: memberikan keleluasaan kepada sekolah dan guru dalam mengatur pembelajaran. Tapi apakah seluruh satuan pendidikan siap? Banyak guru yang merasa kebingungan karena kurangnya sosialisasi dan tidak adanya waktu cukup untuk adaptasi. Akibatnya, pelaksanaan di lapangan kerap tidak sesuai dengan yang dirancang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun