Mohon tunggu...
Rizki Insyani
Rizki Insyani Mohon Tunggu... Data Scientist

Green data science

Selanjutnya

Tutup

Parenting Pilihan

Aku Adalah Guru Pertama Anakku

16 Juni 2025   17:30 Diperbarui: 16 Juni 2025   20:41 92
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ibu dan anak sedang bermain boneka di dalam rumah. (Sumber foto: iStock/miniseries)

“Bunda, Ayo Main!” ucap anakku yang berusia 3 tahun menarik lenganku penuh semangat sambil membawa boneka kucing. “Sebentar ya, Nak,” jawabku singkat sambil menatap layar ponsel, sibuk membalas pesan kerja. Ia tak peduli dan terus menarik lenganku sampai akhirnya Ia menyerah dan bermain sendiri dengan boneka kucingnya. Dan, saat itu aku sadar, bahwa aku telah mengabaikan keberadaan anakku.

Mengapa Ibu adalah Guru Pertama yang Paling Krusial?

Di era yang serba cepat, banyak orang tua, khususnya ibu, terjebak dalam dilema antara tuntutan pekerjaan, rumah tangga, dan pendidikan anak. Tak jarang, gadget atau sekolah usia dini dianggap sebagai solusi praktis untuk mengisi waktu anak. Padahal, penelitian neurosains membuktikan bahwa 90% perkembangan otak anak terjadi sebelum usia 5 tahun (Harvard University, 2018). Artinya, setiap interaksi, stimulasi, dan bahkan reaksi emosional ibu di rumah menjadi "materi ajar" yang membentuk dasar pemikiran, karakter, dan kemampuan sosial anak.

Anak usia 3 tahun seperti spons, menyerap segala hal di sekitarnya. Ketika ibu mengajaknya berbicara dengan sabar, ia belajar komunikasi. Ketika ibu membacakan cerita, imajinasinya berkembang. Bahkan ketika ibu menghadapi stres dengan tenang, anak belajar mengelola emosi. Sayangnya, kehadiran fisik saja tak cukup, yang dibutuhkan adalah kehadiran hati. Bukan aktivitas mewah, bukan mainan mahal. Tapi mata yang melihat, telinga yang mendengar, dan hati yang hadir sepenuhnya.

Dari "Cukup Memberi Makan" Menjadi "Memberi Makna"
Hari itu, setelah aku menolak ajakan anakku bermain, aku duduk dalam diam dan memandang anakku yang bermain sendirian. Dalam hati berkata, lelah, ya. Tapi lebih dari itu, aku merasa hampa. Seolah kehilangan momen penting yang tak bisa diulang. 

Aku pun mulai belajar bahwa anak tidak hanya belajar dari buku atau kegiatan belajar formal. Mereka belajar dari setiap interaksi kecil: dari nada bicara, pelukan, senyum, bahkan dari cara kita menanggapi mereka saat mereka hanya ingin menunjukkan gambar coretan mereka. Dari sini aku belajar untuk lebih intentional dalam interaksi sehari-hari:

  • Mengubah rutinitas jadi momen belajar: Memasak bersama jadi ajang mengenali warna dan hitungan, mandi jadi waktu eksperimen sains sederhana ("kenapa sabun licin?").

  • Mendengar, bukan hanya sekedar mendengar: Saat anak bercerita dengan bahasa yang belum sempurna, saya berusaha menatap matanya dan merespons, bukan sekadar mengangguk sambil memegang ponsel. Tapi juga memberikan ekspresi perhatian untuk membangun koneksi tertarik pada apa yang diceritakannya.

  • Memberi ruang untuk emosi: Alih-alih langsung melarang saat ia tantrum, saya pelan-pelan mengajaknya mengenali perasaan, "Kakak sedih karena mainannya rusak, ya?"

Aku juga menyadari bahwa menjadi “guru pertama” tidak berarti harus sempurna. Tapi berarti mau terus hadir, belajar, dan memperbaiki diri. Kini, ketika anakku berkata “Bunda, Ayo Main!” aku belajar menunda balasan pesan, menaruh ponsel, dan berkata, “Ayo, kita main bareng, ya.” Kadang hanya lima belas menit. Tapi baginya, itu berarti dunia. 

Proses ini tidak instan. Ada hari-hari saya gagal, lelah, atau kehilangan kesabaran. Tapi justru di situlah saya belajar: menjadi guru pertama bukan tentang kesempurnaan, tapi tentang keberanian untuk terus hadir dan belajar bersama anak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun