Skalabilitas yang Dibutuhkan: Jika aplikasi memerlukan skalabilitas granular dan elastis, microservices menawarkan solusi yang lebih baik.
Tim dan Sumber Daya: Microservices membutuhkan tim dengan keahlian DevOps dan manajemen layanan yang lebih matang. Monolith cocok untuk tim kecil dengan sumber daya terbatas.
Kecepatan Deployment dan Perubahan: Microservices memungkinkan deployment independen sehingga perubahan dapat dilakukan lebih cepat tanpa mengganggu sistem lain.
Teknologi dan Infrastruktur: Microservices memerlukan infrastruktur yang mendukung containerization, orkestrasi (misal Kubernetes), dan monitoring yang kompleks.
***
Pemilihan arsitektur perangkat lunak, antara monolitik dan microservices, merupakan keputusan strategis yang harus disesuaikan dengan kebutuhan spesifik proyek. Arsitektur monolitik cocok untuk aplikasi berskala kecil hingga menengah karena kesederhanaan dalam pengembangan, debugging, dan deployment. Namun, pendekatan ini memiliki keterbatasan dalam skalabilitas dan pemeliharaan seiring pertumbuhan aplikasi.
Sebaliknya, arsitektur microservices menawarkan fleksibilitas, skalabilitas, dan ketahanan yang lebih tinggi, sangat sesuai untuk sistem kompleks dan dinamis. Meskipun demikian, microservices juga membawa tantangan teknis yang signifikan, seperti manajemen komunikasi antar layanan, orkestrasi, dan kebutuhan akan infrastruktur yang lebih canggih.
Oleh karena itu, keputusan arsitektural harus mempertimbangkan ukuran dan kompleksitas aplikasi, kebutuhan skalabilitas, kapasitas tim, kecepatan pengembangan, serta kesiapan infrastruktur. Dengan pertimbangan yang tepat, organisasi dapat memilih arsitektur yang mendukung pertumbuhan aplikasi secara berkelanjutan dan efisien.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI