Mohon tunggu...
Rizka Rhamadanti
Rizka Rhamadanti Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

traveller

Selanjutnya

Tutup

Seni

Mengenal Kisah Bersejarah Candi Jago Melalui Kegiatan Pertukaran Mahasiswa Merdeka

13 Mei 2024   12:03 Diperbarui: 13 Mei 2024   12:07 48
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
tim gajayana (Dokpri)

Pada tanggal 23 Maret 2024, kelompok Gajayana menyelenggarakan kegiatan Modul Nusantara dengan fokus pada tema "Mendalami Warisan Sejarah melalui Perjalanan Wisata di Candi Jago". Dalam kegiatan ini, mereka melakukan eksplorasi mendalam terhadap sejarah Candi Jago, termasuk aspek-aspek seperti latar belakang historis, detail relief, dan keberadaan arca di sekitar kompleks candi. Candi Jago buka setiap hari dari pukul 07.00 hingga 18.00 WIB dan tidak memerlukan tiket masuk. Fasilitas yang disediakan di Candi Jago meliputi toilet, warung makan, tempat parkir, dan penginapan.

Dengan bimbingan Bapak Mulyanto, juru pelihara Candi Jago, kelompok gajayana menjelajahi berbagai aspek candi, mulai dari sejarahnya, relief, hingga arca yang ada di area candi. Candi Jago, yang dibangun dari batu pegunungan yang dikenal sebagai batu andesit, memiliki dua motif relief yang berbeda, masing-masing mewakili ajaran Hindu dan Buddha.

Sejarah Candi Jago berawal dari masa pemerintahan Kerajaan Singosari. Dikenal juga sebagai Candi Tumpang karena lokasinya di kecamatan yang sama, yaitu Tumpang, Kabupaten Malang, Jawa Timur. Warga setempat sering menyebutnya sebagai Cungkup. Nama "Jago" berasal dari kata "jajago", yang berarti keagungan atau tempat. Candi ini awalnya dibangun untuk menghormati Sri Jaya Wisnuwardhana, raja keempat Kerajaan Singosari, oleh putranya, Raja Kertanegara. Pembangunan Candi Jago memakan waktu 12 tahun, dari 1268 hingga 1280 Masehi. Pada tahun 1343, di bawah pemerintahan Kerajaan Majapahit, Candi Jago direnovasi oleh Raja Adityawarman dari Kerajaan Mataram Kuno. Candi Jago memiliki aliran kepercayaan Syiwa Buddha Tantrayana, yang terbukti dari keberadaan Arca Amoghapasa, dewa tertinggi dalam ajaran Buddha Tantrayana, yang merupakan perwujudan dari Wisnuwardhana yang meninggal pada tahun 1268 M.

Pahatan padma atau teratai di Candi Jago mencerminkan hubungannya dengan Kerajaan Singasari. Candi ini memiliki bentuk segi empat dengan ukuran 23x14 meter tanpa atap. Struktur candi mengecil ke atas dan memiliki selasar di lantai pertama dan kedua yang mengelilingi candi. Garba ghra (ruang utama) terletak sedikit ke belakang.

Bentuk seperti ini biasanya digunakan untuk bangunan yang didedikasikan untuk memuja arwah leluhur. Candi Jago dihiasi dengan panel relief yang mengisahkan cerita-cerita cinta dan perpisahan. Relief-relief tersebut menggambarkan cerita Tantri Kamandaka dan Kunjarakarna.

Pada dinding teras kedua, terdapat kelanjutan cerita Kunjarakarna dan petikan kisah Mahabarata seperti Parthayajna dan Arjuna Wiwaha. Sedangkan pada dinding tubuh candi, terdapat relief-relief yang mengisahkan peperangan antara Krisna dan Kalayawana menurut ajaran Hindu.

Candi Jago buka setiap hari dari pukul 07.00 hingga 18.00 WIB dan tidak memerlukan tiket masuk. Fasilitas yang disediakan di Candi Jago meliputi toilet, warung makan, tempat parkir, dan penginapan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Seni Selengkapnya
Lihat Seni Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun