Mohon tunggu...
Riza Fakhrumi Tahir
Riza Fakhrumi Tahir Mohon Tunggu... wiraswasta -

Pernah menjadi jurnalis di harian Mimbar Umum Medan, terakhir sebagai Wakil Pemimpin Redaksi (2001-2003). Sekarang berwiraswasta dan berpolitik melalui Ormas KOSGORO 1957 dan Partai GOLKAR...

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

2014, Tahun Terburuk Sejarah Golkar

23 Januari 2015   11:18 Diperbarui: 17 Juni 2015   12:32 163
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14219613802022795973

[caption id="attachment_347636" align="aligncenter" width="300" caption="Dok Pribadi"][/caption]

SEPANJANG tahun 1998 – 2004 adalah tahun – tahun sangat mencekam dalam sejarah Partai GOLKAR. Ketika terjadi reformasi 1998, GOLKAR melaksanakan Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub). Munaslub diawali dengan situasi konflik antarfaksi di internal GOLKAR, sampai – sampai pembentukan panitia penyelenggara Munaslub terpaksa diulang hingga dua kali.

Munaslub tidak mengakhiri persiteruan itu. Paska Munaslub, faksi yang yang kalah bertarung memperebutkan jabatan ketua umum, Jenderal Edi Sudradjat dan kawan – kawan, keluar dari Partai GOLKAR (PG) dan membentuk partai baru. Tak sampai setahun usia Munaslub, PG mengikuti Pemilu dengan multi partai. Inilah Pemilu pertama di era reformasi.

Banyak kalangan memprediksi, Pemilu 1999 adalah akhir riwayat PG dalam sejarah politik modern Indonesia. Pertama, PG dianggap bagian pemerintahan Orde Baru yang berkuasa selama 32 tahun dan harus bertanggungjawab atas kriris ekonomi-politik 1997-1998. Makanya, tumbangnya Orde Baru akan diikuti dengan tumbangnya PG. Kedua, hujatan, tekanan dan ancaman pembubaran PG sangat kuat hingga akhirnya Presiden Abdurrahman Wahid mengeluarkan dekrit membubarkan PG pada 2001, meski MA membatalkan dekrit tersebut.

PG lolos Pemilu 1999. Meski jauh berkurang dibanding Pemilu 1997, perolehan suara PG di Pemilu 1999 tidak terlalu mengecewakan karena masih bisa menduduki urutan kedua setelah PDIP. Di tengah ancaman pembubaran dan saat Ketua Umum PG Akbar Tanjung berada di dalam penjara, PG tidak berhenti melakukan konsolidasi. Hasilnya, PG menjadi pemenang pada Pemilu 2004.

Berbagai peristiwa dan tekanan politik yang terjadi antara 1998 – 2004, baik yang datangnya dari internal maupun eksternal PG, saya anggap wajar. Sebab, masa itu memang masa transisi demokrasi, eforia reformasi dan PG sedang membentuk diri sejatinya sebuah partai politik modern. Meski demikian, bagi kader – kadernya, PG masih tetap Parpol yang “seksi”, punya daya tarik luar biasa dan berpotensi untuk menjadi kenderaan politik.

Di masa – masa sulit itu, PG menunjukkan kepada dunia mampu melakukan mekanisme pengambilan keputusan paling demokratis ketika partai ini melaksanakan konvensi calon presiden. Melalui mekanisme ini, Akbar Tanjung, sang Ketua Umum, tersingkir dari pencalonan presiden. Lagi – lagi, di mekanisme demokratis Munas VII, Akbar tak mampu mempertahankan posisinya sebagai ketua umum. Dia kalah bersaing dengan Jusuf Kalla, yang saat itu menjabat wakil presiden.

Sayangnya, ketika dipimpin Kalla, PG tidak mampu mempertahankan posisinya sebagai pemenang Pemilu di 2009. PG kalah dan berada di urutan kedua perolehan suara dan kursi setelah Parai Demokrat. Yang membuat saya menaruh hormat kepada Kalla adalah ketika PG kalah Pemilu legislatif dan pasangan capres-cawapres yang diusung PG, Kalla – Wiranto, juga kalah, Kalla segera memutuskan pelaksanaan Munas VIII, lebih cepat sebulan dari jadwal yang semestinya.

Munas VIII berlangsung secara demokratis, tidak ada intrik, rekayasa, kelicikan, tekanan dan pemaksaan kehendak dari fihak manapun. Kalla yang “tahu diri”, tidak mencalonkan diri lagi sebagai ketua umum. Dia memberi kebebasan kepada Aburizal Bakrie, Surya Paloh, Yudhi Chrisnandi dan Tommy Soeharto untuk bertarung di Munas memperebutkan posisi ketua umum yang bakal ditinggalkannya. Aburizal Bakrie akhirnya terpilih sebagai ketua umum.

Angan – angan dan Mimpi Ical

Sejak Munas VIII di Pekanbaru pada 2009, saya melihat PG berada di bawah kendali angan – angan dan mimpi sang ketua umum, Aburizal Bakrie (Ical). Mimpi itu semakin menjadi – jadi di Rapimnas II dan seterusnya tidak terkendali, ketika PG mencalonkan Ical sebagai presiden di Pemilu 2014.

Slogan “Suara Golkar Suara Rakyat” terbukti tidak ampuh, tidak ada arti dan harga pada Pemilu Legislatif 2014. Berdasarkan perhitungan KPU (real count), secara nasional PG meraih 14,8 persen suara, hanya beda 0,3 persen dibanding hasil Pileg 2009.Kalau demikian halnya, bukan “Suara Golkar Suara Rakyat” yang ada di hati rakyat Indonesia, tapi “Mimpi Ical, Mimpi Golkar.” Dan, rakyat tidak suka dengan mimpi Ical.

Ada dua mimpi Ical menghadapi Pemilu 2014, yang di kemudian hari bakal menjadi mimpi buruk PG. Pertama, Ical menargetkan perolehan suara 30 persen. Target seperti ini sudah digaungkan Ical sejak Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) I tahun 2010. Tidak jelas dasar perkiraannya sehingga akhirnya PG menetapkan target 30 persen suara di Pemilu 2014. Kedua, PG mencalonkan Ical sebagai presiden di Pemilu 2014. Libido untuk mencapreskan Ical muncul di Rapimnas II tahun 2011.

Untuk mewujudkan dua mimpi ini, PG mengeluarkan puluhan bahkan mungkin ratusan miliar rupiah.Dana sebesar itu untuk pelaksanaan enam kali Rapimnas, kemudian Rakernas, Rakornas, pelaksanaan Diklat kader, menerbitkan belasan peraturan organisasi, petunjuk pelaksanaan, surat edaran, menerbitkan kartu anggota bergambar Ical, penerbitan berbagai dokumen dan bahan publikasi internal, melakukan revitalisasi pengurus, memberhentikan pengurus yang dianggap kritis terhadap kebijakan pimpinan, dan memenangkan Pilkada.

Selain itu menyiapkan manajemen pengelolaan partai dengan sistem matriks, membagi wilayah pemenangan (nasional) menjadi lima (dengan lima ketua bidang pemenangan Pemilu), membentuk Posko Aspirasi, Badan Kordinasi Pemenangan Pemilu dan organisasi sayap, intensitas iklan di televisi yang relatif tinggi, membuat slogan “suara Golkar suara rakyat” dan “membangun dari desa”, road show Ical ke berbagai tempat dan daerah, dan lain – lain. Belum terhitung dana yang dikeluarkan dewan pimpinan daerah provinsi, kabupaten dan kota hingga kecamatan, kelurahan/desa. Sungguh mahal biaya yang dikeluarkan untuk mewujudkan dua mimpi itu.

Mimpi Buruk

Berada di angka 14 persen, sesuai perhitungan KPU, berarti PG gagal mendongkrak perolehan kursi dibanding Pemilu 2009. Jangankan mendongkrak, bertahan saja tidak bisa. Malah perolehan kursi berkurang. Dengan situasi politik tanah air menghadapi Pemilu 2014, besarnya ongkos politik yang dikeluarkan dan banyaknya kebijakan yang sudah ditetapkan, 14 persen adalah angka “fantastis” untuk menyatakan PG berada di titik terendah dalam sejarah Pemilu Indonesia.

Sebelum Pemilu, berbagai survei mengungkap elektabilitas PG berada pada kisaran 19-21 persen. Ini angka yang realistis. Di saat citra pemerintah dan Partai Demokrat (pemenang Pemilu 2009) yang terus merosot, jumlah peserta Pemilu (nasional) yang cuma 12 Parpol dan sumber daya yang tersedia relatif besar, PG punya kesempatan untuk meraih 19-21 persen suara dan menjadi pemenang Pemilu.

Nyatanya PG meraih 18,4 juta suara (14,8%), bertambah 3,4 juta suara dibanding perolehan suara di Pemilu 2009 yang berjumlah 15 juta (14,5). Meski secara absolut suara PG bertambah sekitar 3,4 juta, namun perolehan kursi di DPR merosot, dari 105 di Pemilu 2009 menjadi 96 di Pemilu 2014. Padahal, PDIP, PKS, PKB, PAN, dan Gerindra, bisa menambah suaranya. Sedangkan Nasdem, partai yang pertama kali mengikuti Pemilu, sukses meraih enam persen suara. Nasdem bisa meraih enam persen suara, boleh jadi karena Surya Paloh, Ketua Umum Partai Nasdem, adalah pemilik Metro-TV dan Harian Media Indonesia.

Tapi, Ical juga punya TV-One, ANTV dan media on-line, termasuk harian Suara Karya, koran berorientasi ke PG. Kenapa dia tidak bisa menaikkan kursi PG secara signifikan, dan kenapa tidak bisa mendongkrak elektabilitas dirinya sebagai capres ? Pimpinan PDIP, PKS, PAN, PKB, PAN dan Gerindra, tidak punya jaringan media massa, nyatanya bisa mendongkrak perolehan kursinya. Karena fakta – fakta seperti inilah, saya menyebuthasil Pileg2014 sebagai “mimpi buruk di siang bolong” bagi PG.

Lalu, apa yang salah dengan PG sehingga hanya memperoleh 14,8 persen suara dan 96 kursi parlemen ? “Bacaan” apa yang tidak difahami sehingga PG mengalami “mimpi buruk ?” Bukankah seluruh kader punya “buku bacaan” yang sama, yang memandu mereka untuk memenangkan partai ? Bukankah Golkar ini partai tua, berpengalaman, modern, punya jaringan dan infrastruktur keorganisasian dan kepartaian yang luas, sumber daya yang besar, serta berbagai kebijakan dan instrumen pemenangan sudah ditetapkan ?

Pimpinan partai bisa saja menyalahkan para calon anggota legislatif (Caleg) dan mengatakan para Caleg PG tidak pro-aktif, atau hanya memenangkan diri sendiri. Bukankah yang merekrut, menyeleksi dan menetapkan para caleg adalah pimpinan PG ? Kalau para caleg tidak pro-aktif, berarti yang salah adalah pimpinan partai yang menetapkan mereka sebagai caleg.

Ical’s Effect

Dengan pengalaman dan kematangan PG serta kebesaran nama Ical, tidak logis jika PG hanya meraih 96 kursi. Jika perolehan suara PG tidak bertambah, bahkan berkurang, dibanding hasil 2009, berarti keberadaan Ical tidak berpengaruh apapun bagi PG (Ical’s effect), bahkan pengaruhnya negatif. Kesimpulan saya, Ical’s effect adalah negatif. Kalau Ical’s effect adalah negatif, apalagi yang diandalkan dari Ical sebagai Capres ?

Ical muncul dalam wacana pencapresan di Rapimnas II PG pada 26 – 28 Oktober 2011. Saya terkejut saat itu, karena tanpa persiapan apapun tiba – tiba 33 Ketua DPD PG Provinsi menyatakan mencalonkan Ical sebagai presiden. Makanya, paska Rapimnas II saya menulis “Jalan Ical Menuju RI-1” (Harian Waspada, Medan, 5 Desember 2011).

Tulisan ini merupakan “interupsi” saya di tengah “sorak sorai” peserta Rapimnas II, setelah saya menyaksikan ketidakjujuran DPD Partai GOLKAR Provinsi  seluruh Indonesia yang mencalonkan Ical sebagai presiden. Ketika 33 Ketua DPD Partai GOLKAR Provinsi menyatakan mendukung pencalonan Ical, saya mengintrupsi, “tunggu dulu, apa jaminan kalian untuk memenangkan Golkar dan Ical.”

Tanpa analisa strategik dan kalkulasi matang, Rapimnas III pada 2012 mengukuhkan Ical sebagai calon presiden dari PG. Yang mencalonkan hanya PG Provinsi, tanpa melibatkan kekuataan akar rumput, setidaknya DPD PG kabupaten dan kota. Paska Rapimnas, saya menulis lagi di koran lokal, "Rapimnas III, Cek Kosong untuk Ical" (Harian Waspada, Medan, 2 Agustus 2012).

Peringatan saya benar, Ical hanya menerima cek kosong dari para pendukung yang mencalonkannya. Elektabilitas Ical sangat buruk. Berbagai survei yang dilakukan antara Januari 2013 sampai Februari 2014, elektabilitas Ical berkisar 2,4 – 14 persen. Terendah hasil survei Sugeng Saryadi Syndicate pada 29 Agustus s/d 9 September 2013 yang hanya 2,4 persen. Sedangkan tertinggi survei Roy Morgan Research pada Oktober 2013 sebesar 14 persen.

Elektabilitas Ical tidak berbanding lurus dengan survei elektabilitas PG yang berkisar 19 – 21 persen. Berbagai survei menempatkan PG di urutan pertama pemenang Pemilu 2014. Tapi, real count KPU menyatakan PG memperoleh 18,4 juta suara (14,8%), urutan kedua setelah PDI-P. Rupanya, Ical’s effect telah membentuk persepsi publik terhadap PG. Ini terbukti, persentase perolehan suara PG di angka 14 persen, berbanding lurus dengan angka tertinggi elektabilitas Ical 14 persen.Mimpi buruk pertama yang dialami PG.

Karena perolehan suara cuma 14,8 persen, PG tidak bisa mencalonkan Ical sebagai presiden, kecuali berkoalisi dengan Parpol lain. Tapi, koalisi Paprol untuk mendukung Ical sudah tertutup. Satu – satunya harapan untuk berkoalisi dengan Partai Demokrat, pun akhirnya kandas ketika PD mendukung pencalonan Prabowo – Hatta.

Gagal menjadi capres, Rapimnas VI, Rapimnas pertama paska Pemilu legislatif, menganulir keputusan Rapimnas sebelumnya, dari pencalonan Ical sebagai presiden menjadi wakil presiden. Hari – hari akhir menjelang pendaftaran capres/cawapres di KPU, Ical mundar mandir dari satu Parpol ke Parpol lain “menjajakan” diri sebagai cawapres, termasuk ke PDIP, berharap PDIP mencalonkan Ical sebagai wakil presiden mendampingi Capres Joko Widodo. Keputusan RapimnasVI, yang mencawapreskan Ical, pun tidak berharga di mata Parpol – parpol. Ical gagal menjadi calon wakil presiden. Mimpi buruk kedua PG.

Libido berkuasa Ical mencapai puncak dan mengalami antiklimaks ketika di detik – detik akhir menjelang pendaftaran ke KPU, PG mendukung pasangan Prabowo Subianto dan Hatta Rajasa. Rupa-rupanya, Ical mendapat “angin surga”, akan dijadikan menteri utama jika Prabowo-Hatta menang di Pilpres. Ical kemudian “tancap gas” dan acap turut mendampingi Prabowo berkampanye.

Prabowo-Hatta kalah Pilpres. Koalisi pendukung pasangan Prabowo-Hatta bermetamorfosa menjadi koalisi politik di parlemen, Koalisi Merah Putih (KMP), kekuatan untuk menegasi pemerintahan Jokowi-Kalla. Tapi, bukan Ical namanya jika tidak punya ambisi menduduki posisi politik. Tak jadi calon presiden, jadi calon wakil presiden, pun jadi. Tak jadi calon wakil presiden, jadi menteri utama, pun jadi. Ternyata, tak jadi menteri utama, jadi kordinator KMP, pun oke.Jadilah Ical sebagai “relawan” kepentingan politik Prabowo dan Gerindra di parlemen. Rendahnya martabat Ical sebagai pemimpin partai dengan reputasi besar dan panjang.

Munas yang Dipaksakan

Kalah Pemilu legislatif dengan perolehan kursi parlemen yang berkurang, tidak punya capres/cawapres, kekalahan pasangan capres/cawapres yang didukung dan tampilnya Ical sebagai kordinator KMP, merupakan hadiah HUT ke 50 Partai Golkar. Tidak pernah PG mengalami situasi seburuk Pemilu 2014.

Golkar pernah menang dan berkuasa selama 32 tahun. Di Pemilu 1999, PG kalah dan tidak punya capres/cawapres. Saya bisa memaklumi jika di Pemilu 1999 kalah, karena ini Pemilu transisi, Pemilu pertama dilaksanakan di era reformasi dengan puluhan jumlah parpol peserta Pemilu, saat PG menghadapi guncangan luar biasa, dari dalam dan luar partai.

Pada Pemilu 2004, PG menang meskipun punya capres dan kalah di Pilpres. Di Pemilu 2009, PG kalah, hanya pemenang kedua setelah PDIP. Namun, PG punya capres, meskipun kalah di Pilpres. Di Pemilu 2014, PG kalah dengan perolehan kursi di bawah 100, berkurang dibanding Pemilu 2009. Selain itu kegagalan ketua umumnya menjadi capres/cawapres. Parahnya, capres/cawapres yang didukung, pun kalah.

Tahun 2014 adalah tahun terburuk dalam sejarah politik PG, tahun terburuk saat PG memeringati HUT ke 50. Keadaan buruk ini semakin diperburuk lagi dengan pelaksanaan dua Munas (Bali dan Jakarta) pada Desember lalu, yang melahirkan dua kepemimpinan partai. “Biang keladi” lahirnya dualisme kepemimpinan di tubuh PG adalah libido berkuasa Ical yang ternyata tidak pernah padam. Ical memang politisi yang tidak tahu diri. Sudah gagal memimpin PG, gagal mempertahankan suara PG di Pemilu 2014, ternyata masih ingin melanjutkan jabatan ketua umum yang diraihnya di Munas VIII di Pekanbaru pada 2009.

Konflik pertama muncul setelah Ical menunjukkan tanda – tanda ingin mencalonkan lagi sebagai ketua umum adalah soal penetapan jadwal, Oktober 2014 sesuai AD/ART atau pada 2015 sesuai rekomendasi Munas 2009. Ical bersikeras melaksanakan Munas 2015. Karena punya otoritas yang besar untuk “memanggil” DPD PG provinsi, maka Ical meminta justifikasi PG provinsi pelaksanaan Munas tahun 2015. Korban berjatuhan, beberapa pengurus dipecat. Kubu Munas Oktober 2014 yang dipimpin Wakil Ketua Umum, HR. Agung Laksono, akhirnya mengalah. Ical-Agung sepakatMunas pada Januari 2015. Penjadwalan Munas pada Januari 2015 kemudian diformalkan di rapat pleno DPP PG.

Mungkin setelah mengkalkulasi kekuatan dan peta dukungan, rupanya Ical merasa nyaman jika Munas dipercepat, November 2014. Dia kembali memobilisasi DPD provinsi untuk menganulir keputusan rapat pleno DPP PG tentang jadwal Munas Januari 2015. Pertemuan Ical dengan Ketua DPD Provinsi di Bali jelang Rapimnas VII, menjadwalkan Munas 30 November 2014. Pertemuan ini, pun menganulir hasil pertemuan mereka sebelumnya diBali pada Juni 2014, yang menegaskan Munas pada 2015. Tidak heran jika di Rapimnas VII di Yogyakarta pada 17 November, semua PG provinsi serentak dan “koor” mengusulkan Munas pada 30 November dan meminta kesediaan Ical menjabat kembali sebagai ketua umum.

Mestinya, dan ini sudah berlangsung puluhan tahun, Rapimnas menguatkan hasil rapat pleno DPP tentang jadwal Munas IX pada Januari 2015, sesuai rekomendasi Munas VIII di Pekanbaru, bukannya menganulir dan membuat keputusan baru bertentangan dengan keputusan rapat pleno. Tapi, mobilisasi massif yang dilakukan Ical dengan memperalat PG provinsi melalui Rapimnas VII, telah menjustifikasi pelaksanaan Munas XI pada 30 November 2014 di Bandung, Surabaya atau Bali.

Alasan Ical menganulir keputusan rapat pleno tentang Munas pada Januari 2015 karena Rapimnas punya kekuatan tertinggi di bawah Munas sehingga berwenang menganulir keputusan rapat pleno DPP. Menurut AD/ART PG, memang benar kedudukan Rapimnas setingkat di bawah Munas. Tapi, keputusan Rapimnas VII tentang jadwal Munas IX pada 30 November karena alasan bahwa Rapimnas setingkat di bawah Munas berhak menganulir hasil rapat pleno, merupakan keputusan kontraproduktif.

Ical dan 33 PG provinsi lupa yang dimaksud kewenangan Rapimnas hanya terhadap empat hal, pertama, menyusun program kerja san kebijakan strategis sesuai hasil Munas. Kedua, mengevaluasi pelaksanaan hasil – hasil Rapimnas sebelumnya. Ketiga, menyusun kebijakan – kebijakan strategis (khususnya tentang pemenangan Pemilu) untuk dilaksanakan hingga Rapimnas berikutnya atau menghadapi Pemilu. Keempat, mengubah keputusan – keputusan partai, selain keputusan Munas.

Itu artinya, Rapimnas tidak berhak dan berwenang mengubah dan mengutak atik keputusan Munas. Rekomendasi Munas VIII tentang jadwal Munas IX pada 2015 merupakan bagian tidak terpisahkan dari keputusan Munas VIII, sehingga Rapimnas VII tahun 2014 tidak berwenang mengubah jadwal Munas IX, dari 2015 menjadi 2014. Jika Rapimnas mengubah jadwal Munas, maka itu keputusan inkonstitusional. Munas yang dilaksanakan, juga illegal dan inkonstitusional.

Tahun Terburuk di HUT ke 50

Saya berharap, paska Pemilu 2014, harusnya bisa dijadikan momentum evaluasi dan introspeksi terhadap faktor – faktor kegagalan PG di Pemilu Legislatif dan kegagalan pencalonan ketua umumnya sebagai presiden atau wakil presiden.Forum evaluasi itu adalah Rapimnas.

Yang terjadi terbalik, Rapimnas paska Pemilu justru mndagradasi derajat pencalonan Ical dari capres ke cawapres, menjadi forum evaluasi dan pematangan posisi PG di Koalisi Merah Putih (KMP). Apa kepentingan PG berada di KMP ? Justru, di KMP ini PG menjadi subordinasi Partai Gerindra dan Ical hanya memposisikan dirinya sebagai “relawan” untuk memenuhi kehendak politik Prabowo. Yang lebih parah, Rapimnas mendukung tampilnya Ical menjadi ketua umum untuk periode kedua. Orang yang sudah nyata – nyata gagal menjadi ketua umum, malah dipilih lagi. Dimana rasionalitas para pemimpin partai, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten dan kota ?

Kekhawatiran, bahkan ketakutan, loyalitas tanpa rasionalitas telah membawa kondisi PG ke dalam sejarah kelam dan buruk. Syahwat politik Ical dan oligarkinya yang kian tidak terkendali, melahirkan resistensi yang kuat. Pengunduran diri Airlangga Hartarto dari pencalonannya sebagai ketua umum dan menyatakan tidak bertanggungjawab atas hasil – hasil Munas di Bali, penolakan Agung Laksono menghadiri Munas di Bali, gugatan hukum atas hasil Munas di Bali, dan pelaksanaan Munas di Jakarta, adalah antitesa terhadap syahwat dan manuver – manuver politik inkonstitusional dari Ical dan oligarkinya.

Sejarah PG akan mencatat, inilah pengalaman politik terburuk yang pernah dijalani PG sejak berdiri pada 1964. Ical akan dicatat sebagai ketua umum yang paling gagal sepanjang sejarah kepemimpinan PG. Ical telah melahirkan sejarah kelam dan terburuk, ketika dia memaksakan diri untuk memimpin kembali PG. Dan, sejarah terburuk itu berlangsung pada 2014, saat PG memperingati HUT ke 50. (Penulis, Wakil Sekretaris DPD Partai GOLKAR Provinsi Sumatera Utara 1999 – 2012).

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun