Namanya Shinta. Dwi Shinta Dharmopadni, nama yang terdengar seperti alunan puisi. Ia adalah sosok yang dulu hanya bisa kupandangi dari kejauhan, seperti puncak gunung yang tak terjamah, hanya bisa dinikmati keindahannya tanpa pernah bisa digapai. Ia baik, cerdas, dan cantik, kombinasi yang membuatnya begitu bersinar di mata siapa pun yang mengenalnya.
Dulu, setiap kali melihatnya berjalan di lorong kampus, hatiku berdebar tanpa alasan. Aku terlalu takut untuk mendekat, terlalu sadar diri untuk sekedar menyapa. Aku bukan siapa-siapa, sementara dia seperti cahaya yang menerangi setiap ruangan yang ia masuki. Aku mengaguminya diam-diam, menjadikannya inspirasi dalam setiap langkahku.
Waktu terus berlalu, dan aku masih tetap menjadi pengagum dalam diam. Tapi diam-diam juga, aku memperbaiki diriku. Aku belajar lebih giat, berani ikut lomba-lomba, aktif di organisasi, semua karena ingin suatu hari pantas berada di sisinya, meskipun itu hanya dalam mimpi. Tidak ada yang tahu, bahwa di balik semangatku, ada satu nama yang selalu menjadi bahan bakar: Shinta.
Hingga pada suatu hari, semesta seolah memberi celah kecil dalam takdir. Kami ditunjuk menjadi satu tim dalam sebuah proyek kampus. Itu kali pertama aku bisa berbicara dengannya tanpa harus mencuri kesempatan. Awalnya canggung, tentu saja. Tapi Shinta ternyata tidak seangkuh yang aku bayangkan. Ia ramah, rendah hati, dan menyenangkan untuk diajak berbicara.
Proyek itu berakhir, tapi percakapan kami tidak. Kami mulai sering bertukar pesan, berbagi cerita, bahkan saling menyemangati saat masa ujian. Aku masih tidak percaya bahwa aku bisa sedekat ini dengannya. Setiap notifikasi dari namanya seperti hadiah kecil yang membuat hariku lebih berwarna.
Hari itu datang, hari saat aku akhirnya mengungkapkan isi hatiku. Dengan tangan gemetar, aku katakan padanya bahwa aku sudah lama mengaguminya. Aku siap dengan segala kemungkinan, termasuk penolakan yang pahit. Tapi Shinta hanya tersenyum, dan dengan suara pelan berkata, "Aku tahu... dan aku juga suka kamu."
Detik itu, dunia seolah berhenti berputar. Puncak gunung yang selama ini hanya bisa kupandangi dari bawah, kini berada di hadapanku, mengulurkan tangan dan mengajakku mendaki bersama. Rasa syukurku tak terucap. Aku merasa menjadi manusia paling beruntung di dunia.
Kini, kami berjalan beriringan. Bukan lagi sekedar pengagum dan yang dikagumi, tapi dua insan yang saling menggenggam harapan. Shinta bukan lagi mimpi, dia adalah kenyataan indah yang kutemui setelah penantian panjang.
Cinta kami bukan sekedar kebetulan. Ini adalah takdir yang pelan-pelan dibentuk dari keberanian, kesetiaan dalam diam, dan harapan yang tak pernah padam. Dan aku akan selalu menjaganya, seperti seseorang yang akhirnya bisa menetap di puncak gunung impiannya, bukan hanya mengaguminya, tapi memilikinya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI