Akhir tahun 2015 menjadi musim baru dalam perjalanan kami sebagai mahasiswa. Aku dan Shinta baru saja menyelesaikan semester kelima kami di UIN Malang. Rasanya seperti baru kemarin kami masuk kuliah, tapi waktu terus melaju. Alhamdulillah, semua mata kuliah di semester itu kami lewati dengan nilai memuaskan. Tak ada yang lebih melegakan daripada melihat hasil kerja keras berbuah manis.
Semester enam bukanlah tentang duduk di kelas dan mendengar dosen bicara. Maka dari itu, saat libur semester 5 untuk menuju semester 6, waktunya kami turun langsung ke dunia kerja, menjalani PKL (Praktik Kerja Lapangan). Aku memilih instansi pemerintah di Kota Pasuruan sebagai tempat magangku. Sementara Shinta lebih memilih tetap di Kota Malang, di sebuah perusahaan BUMN ternama. Meski kami tidak satu lokasi, semangat kami tetap sama: belajar dari kenyataan dunia kerja yang sebenarnya.
Hari-hari magang berjalan cepat. Di Pasuruan, aku belajar banyak hal, dari pekerjaan administratif hingga interaksi langsung dengan masyarakat. Rasanya seperti menjadi bagian dari sistem pemerintahan, meski hanya sementara. Di sisi lain, Shinta sering mengirim pesan tentang betapa padatnya pekerjaannya di kantor, namun selalu ada semangat dalam setiap kata yang ia tulis.
Kami sibuk dengan rutinitas masing-masing, tapi komunikasi tak pernah putus. Kadang lewat pesan singkat, kadang lewat telepon malam sebelum tidur. Kami berbagi cerita, keluh kesah, juga mimpi-mimpi masa depan. Walau raga kami terpisah jarak, hati kami selalu saling menyemangati.
Waktu magang akhirnya usai. Kami kembali ke kampus dengan wajah sedikit lebih dewasa dan cerita yang bertumpuk. Sore itu, kami bertemu di perpustakaan kampus. Tempat yang selama ini jadi saksi perjalanan akademik kami, juga tempat di mana banyak kenangan kami tercipta. Duduk bersebelahan di sudut baca, kami membuka laptop masing-masing, menatap lembar kosong laporan PKL yang harus segera diisi.
Tapi tentu saja, obrolan kami tak hanya soal laporan. Perlahan, topik berubah menjadi sesuatu yang lebih besar: skripsi. Kami berdiskusi tentang ide-ide awal, dosen pembimbing, dan strategi agar bisa maju seminar proposal di semester tujuh. Ada sinar optimisme di mata kami saat itu, bahwa kami bisa menyelesaikan semua ini tepat waktu, lulus dalam delapan semester.
"Aku pengin sempro secepatnya, biar nggak nunda-nunda," ucapku sambil menatap Shinta. Ia mengangguk, senyumnya mengembang. "Kita sama-sama ya, Zal. Jangan sampai salah satu dari kita tertinggal."
Sore itu, kami menandatangani janji tak tertulis. Janji yang hanya dimengerti oleh dua anak muda yang sedang memperjuangkan masa depan mereka. Bahwa apapun rintangan yang akan datang, kami akan terus berjalan, berdampingan, dan saling mendorong untuk maju.
Langit di luar perpustakaan mulai gelap. Kami menutup laptop, membereskan buku, dan keluar dari ruangan itu dengan semangat yang baru. Perjalanan belum selesai, tapi kami tahu satu hal: sejauh apapun arah magang membawa kami, tujuan kami tetap sama, menyelesaikan apa yang telah kami mulai, bersama.
Dan di bawah lampu-lampu taman kampus yang mulai menyala, aku menggenggam erat harapan yang tumbuh di hati kami: bahwa perjuangan ini akan menjadi kisah indah yang kelak kami kenang, bukan hanya sebagai mahasiswa, tapi sebagai dua insan yang berjuang dalam satu irama.