Di tengah hutan perbatasan yang sunyi, Letnan Ari melangkah mantap melewati jalan berlumpur. Hujan baru saja reda, menyisakan kabut tipis dan aroma tanah basah. Di belakangnya, belasan prajurit muda mengikutinya dalam diam. Bagi mereka, Ari bukan sekedar atasan, tetapi juga panutan yang selalu hadir paling depan.
Hari itu, mereka mendapat perintah untuk mengecek pos pantau yang diduga telah ditinggalkan. Medannya berat, jaraknya jauh, dan waktu hampir memasuki malam. Beberapa prajurit muda tampak ragu. Tapi tidak dengan Ari. Tanpa banyak bicara, ia mengambil ranselnya dan mulai berjalan. "Kalau kalian ragu, lihat aku," katanya singkat.
Di sebuah tanjakan curam, seorang prajurit tergelincir. Ari segera turun tangan, membantunya naik kembali. Ia tidak menyuruh, ia langsung bertindak. Peluh di dahinya tak menyembunyikan senyumnya. "Prajurit sejati bukan yang tak pernah jatuh, tapi yang tahu cara bangkit dan membantu yang lain," katanya sambil menepuk bahu anak buahnya.
Keteladanan itu sudah ia tunjukkan sejak awal. Di barak, ia tidur di tikar yang sama dengan anak buahnya. Saat makan, ia antre di belakang, menunggu giliran terakhir. Ketika latihan fisik, ia tak pernah absen, bahkan selalu paling depan. Baginya, seorang pemimpin harus menjadi contoh, bukan hanya memberi perintah, tapi menunjukkan jalan.
Malam mulai turun. Mereka tiba di pos yang dimaksud. Benar, pos itu kosong dan sunyi. Tanpa komando, Ari mulai membersihkan sekitar dan menyalakan api unggun kecil. "Kita hidupkan tempat ini. Jangan biarkan jadi simbol kekalahan," ucapnya. Prajurit lain ikut bergerak, semangatnya terangkat oleh sikap sang komandan.
Di sela tugas, Ari tak jarang mendengar keluhan. Ada yang rindu rumah, ada yang ingin menyerah. Ia tidak marah. Ia dengarkan, lalu bercerita tentang masa-masa sulit saat menjadi prajurit muda. Ia pernah lapar, pernah tersesat, pernah nyaris kehilangan arah. Tapi ia tetap bertahan karena satu hal: teladan dari pemimpinnya dulu.
Suatu malam, seorang prajurit muda menghampirinya. "Pak, kenapa Bapak selalu di depan? Bukankah lebih aman di belakang?" Ari tersenyum, lalu menjawab pelan, "Karena seorang pemimpin harus menjadi cahaya, bukan bayangan. Kalau aku ingin kalian kuat, aku harus lebih kuat. Kalau aku ingin kalian jujur, aku harus lebih jujur."
Waktu berlalu, misi selesai. Pasukan kembali ke markas dengan semangat yang berbeda. Mereka tak hanya membawa hasil laporan, tapi juga pelajaran hidup. Ari, dengan segala sikap dan keteladanannya, telah menanamkan nilai yang tak bisa dilupakan begitu saja: menjadi pemimpin bukan tentang pangkat, tapi tentang memberi contoh nyata.
Bertahun-tahun kemudian, beberapa dari mereka naik pangkat dan memimpin regunya sendiri. Mereka masih mengingat satu hal: cara Letnan Ari menapaki tanah merah itu dengan pasti, tanpa banyak bicara, tapi penuh makna. Karena jejak pemimpin sejati tidak akan pernah hilang, bahkan ketika ia telah jauh melangkah.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI