Mohon tunggu...
rizal malaka
rizal malaka Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Bisma Rizal

Seorang ingin mecoba merangkai kata

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Diagnosa Penyakit NKRI

19 Juli 2014   23:32 Diperbarui: 18 Juni 2015   05:52 141
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sudah berlama kah kita hidup di negara ini? Lalu, sudah tahu kah kita akan penyakit yang mendera negara yang kita tinggali ini? Sebab, bagaimanapun juga, sebagai anak bangsa yang terlahir di negeri ini kita sudah dilimpahkan sebuah tanggung jawab besar oleh para pendiri bangsa (founding father) untuk meneruskan perjuangan  dari proklamasi kemerdekaan. Yakni, membuat kehidupan bangsa yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Sebagaimana Alinea kedua Preambule UUD 1945. Kita tahu Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia dengan jumlah pulau 13.466, luas daratan 1.922.570 km2 dan luas perairan 3.257.483 km2. Namun, sejak awal merdeka hingga saat ini tujuan dari kita bernegara untuk menciptakan keadilan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia belum juga tercipta. Pastinya, ada yang salah dalam tatanan kebangsaan kita. Kesalahan  Filosofis Layaknya seorang dokter dalam mengobati pasien, pastinya harus tahu secara pasti apa penyakit yang diderita sang pasien. Karena, tidak mungkin jika sang pasien yang sakit jantung tetapi obat yang berikan untuk menyembuhkan sakit flu. Atau sebalikannya, sakit flu diberikan obat penyakit jantung. Untuk mengetahui, hal tersebut. Dokter harus melakukan serangkaian diagnosa. Begitu juga dengan kita yang ingin menyembuhkan republik  telah berdiri 68 tahun lebih ini. Diawali dengan bentuk negara Indonesia berdasarkan Pasal 1 ayat 1 Undang-undang Dasar 1945 yang belum di amandemen. "Negara Indonesia ialah negara kesatuan yang berbentuk Republik" Atau yang biasa kita kenal, dengan sebutan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Singkatan NKRI ini terdapat empat suku kata dan dua kalimat, yakni, NK-RI. NK mengartikan Negara Kesatuan. Dan RI mengartikan Republik Indonesia. Kemudian, pertanyaannya apa yang disatukan, mengapa musti negara kesatuan? Dalam buku "Tujuh Bahan Pokok Indoktrinisasi" Presiden pertama Ir Soekarno menegaskan, bahwa negara kesatuan adalah negara kebangsaan. Mengapa demikian, karena secara sejarah pada tanggal 28 Oktober 1928 para pendahulu kita yang merupakan suku-suku bangsa yang berbeda-beda menyatakan satu sumpah kesatuan, yakni, Bertanah Air Satu,  Berbahasa Satu dan Berbangsa Satu Indonesia. Kemudian, atas perjuangan pergerakan yang tak kenal lelah mereka dapat mengantarkan kita kedepan pintu gerbang kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945 dan membentuk Negara Republik pada tanggal 18 Agustus 1945. Dari sini bisa kita simpulkan, bahwa secara sejarah makna, negara kesatuan atau negara kebangsaan adalah negara yang diawali terbentuknya bangsa dulu lahir kemudian negara dibentuk. Jika kita bandingkan, dengan negara-negara lain di dunia. Sejarah Indonesia  sangatlah unik. Karena, hanya satu-satunya negara yang dibentuk dari bangsanya dulu lahir kemudian negara. Contohnya saja, Amerika Serikat yang dimulai pada tahun 1492, dimana, akibat keberhasilan Christopher Columbus mencapai sebuah daratan baru, membuat para koloni-koloni Inggris eksodus ke sana. Dimulai di daerah Jamestown, Virginia pada tahun 1607. Yang  dianggap sebagai permukiman pertama di Amerika Serikat. Selanjutnya, eksodus tersebut diikuti oleh koloni-koloni dari negara lain seperti Perancis, Spanyol, dan Belanda. Kemudian, para koloni ini tidak mau membayar pajak terhadap Inggris. Kemudian mereka menyuarakan sebuah  Revolusi dan mendeklarasi kemerdekaan pada tanggal 4 Juli 1776. Yang akhirnya membentuk sebuah negara baru Amerika. Saya kasih contoh yang lain Negara Jerman. Berdasarkan catatan sejarawan, Jerman baru dianggap sebagai  negara modern semenjak terbentuknya Konfederasi Jerman pada tahun 1915 yang dimotori oleh Kerajaan Prusia. Pada abad pertengahan, Jerman hanyalah bagian sebuah federasi longgar dari berbagai kaum feodal  Kekaisaran Suci Romawi. Sebab, hampir 10 abad, dari abad ke-9 sampai tahun 1806. Pada masa kejayaannya, teritori kekaisaran Romawi mencakup wilayah modern Jerman, Austria, Slovenia, Ceko, Polandia Barat, Perancis timur, Swiss, dan Italia utara modern. Pada pertengahan abad ke-16, kekaisaran Romawi  banyak kehilangan teritori. Namun, hanya Jerman yang masih bertahan sehingga, kekaisaran ini disebut sebagai "Kekaisaran Romawi Suci Bangsa Jerman". Akibat terjadi perang Napoleon para penguasa merubah orientasi dari feodalisme menjadi negara militeristik, dengan terbentuknya Konfederasi Jerman tahun 1815–1866, Kekaisaran Jerman tahun 1871–1918, dan Republik Weimar tahun 1919–1933. Setelah itu munculah pemerintahan Jerman Nazi Adolf Hitler pada tahun 1933–1945 yang membawa kehancuran bangsa ini dalam Perang Dunia II. Akibat kehancuran tersebut, Jerman terbagi dua yakni, Republik Federal Jerman (Jerman Barat) dan Republik Demokratik Jerman (Jerman Timur) sebagai simbol Perang Dingin, hingga pada tahun 1990 Jerman bersatu. Dari sini kita bisa lihat, bahwa kebanyak negara di dunia terbentuk dari negara dulu lahir kemudian bangsa dibentuk. Kembali lagi soal sejarah NKRI. Pada tanggal 28 Oktober 1928 bersatunya para pendahulu kita pastinya punya maksud dan tujuan. Tidak mungkin, mereka yang dari Sabang hingga Mareuke berkumpul di Gedung Djuang, Cikini, Jakarta, hanya untuk ngopi-ngopi dan bersenda gurau semata. Sebab, saat itu transportasi dan komunikasi masih sangat sulit. Apalagi, hidup di zaman kolonial yang setiap pergerakan selalu diawasi. Namun, apa tujuannya para pedahulu kita berkumpul? Jawabannya mereka hanya ingin mengangkat harkat dan martabat hidup bangsa Indonesia. Sebab, ketika itu Belanda melakukan politik Divide at Impera (Politik Adu Domba) yang menetapkan tiga golongan untuk menentukan strata sosial. Strata pertama, adalah kaum-kaum Eropa, kemudian Cina dan Arab.  Terakhir kaum-kaum pribumi yang selalu mengalami penidasan. Atas kesamaan nasib dan mengakui adanya hubungan persaudara. Sebagaimana, peninggalan kerajaan Sriwijaya dan Majapahit. Kata mengangkat harkat dan martabat hidup bangsa Indonesia adalah bentuk dari Kedaulatan Rakyat Indonesia. Sedangkan, negara sendiri secara arti luas berbicara kekuasaan. Karena, kita terbentuk dari bangsa dulu lahir kemudian negara. Maka, jalannya  kekuasaan negara harus berdasarkan kedaulatan rakyat. Yakni, mengangkat harkat dan martabat hidup bangsa Indonesia. Kedaulatan Rakyat baru sebatas kata dan angan-angan belaka jika tidak dibentuk dalam sebuah lembaga. Untuk itu, pada Pasal 1 Ayat 2 UUD 1945 yang Asli disebutkan, "Kedaulatan tertinggi adalah di tangan rakyat, dan dijalankan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)." Makna, lembaga MPR disini mengartikan bahwa ia adalah lembaga kedaulatan yang berada di wilayah bangsa. Sesuai dengan perjalanan sejarah, bahwa MPR lah yang sepantasnya membentuk lembaga negara yang terdiri dari Eksekutif (Presiden), Legislatif (DPR) dan Yudikatif (Mahkamah Agung). Namun, di dalam Pasal 2 Ayat 1 UUD 1945 yang Asli disebutkan "Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat, ditambah dengan utusan-utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan, menurut aturan yang ditetapkan dengan undang-undang." Pasal ini sebetulnya layak menjadi pertanyaan, sebab, keberadaan DPR yang seharus menjadi lembaga negara dibidang legislasi mengapa bisa berada di lembaga Bangsa yang tugasnya menjalankan kedaulatan Rakyat dalam bentuk GBHN (Garis-garis Besar Haluan Negara). Kemudian, keberadaan Pasal ini juga mengakibatkan adanya dikooptasi (pencaplokan) lembaga negara kepada lembaga bangsa. Yang lebih parahnya lagi, ini seperti menafikan sebuah perjalanan sejarah bangsa Indonesia yang merupakan satu-satunya di dunia. Yang dimulai dari bangsa terlahir dahulu kemudian negara dibentuk. Mengapa hal ini penting dipersoalkan? Sebab, keberadaan Pasal ini melegalitimasikan kekuasaan absolut seorang kepala negara. Buktinya Soeharto yang merupakan Presiden kedua Republik Indonesia (RI) bisa melenggang berkuasa hingga 32 tahun. Bagaimana tidak, Soeharto yang merupakan Ketua Dewan Pembina Golkar menjabat sebagai Presiden. Karena, Golkar adalah pemenang Pemilu maka anggota DPR Golkar terbanyak di DPR. Pastinya, mereka semua ikut apa perintah Soeharto. Sehingga, Soeharto pun menguasai DPR. Karena, anggota DPR otomatis MPR pastinya Soeharto menguasai MPR juga. Jadi Pasal ini melegaltimasikan satu orang menguasai tiga lembaga fundamental. Hebat!!!! Lalu, bagaimana dengan keadaan sekarang, sebab, UUD sudah di Amandemen? Rasa-rasanya tidak jauh berbeda. Jika kita mau jujur ada berapa orang yang secara riil menguasai republik ini? Kekuasaan ketua Umum Partai di republik ini terhadap anggotanya di parlemen boleh dibilang absolute. Apa yang mereka instruksikan pasti tidak boleh dilanggar oleh anggotanya jika tidak yang terjadi adalah PAW (Pergantian Antar Waktu). Jumlah ketua umum Partai yang menduduki parlemen sebanyak sembilan orang tambah satu di Pileg 2014. Bisa dikatakan, bahwa mereka lah yang memegang kekuasaan di republik ini. Sebab, berdasarkan UUD Amandemen semua kebijakan untuk rakyat harus sesuai dengan suara parlemen. Itu juga belum tentu menguntungkan rakyat. Boleh dichek ketika sedang ramai-ramainya kita mempersoalkan kenaikan harga BBM. Partai Golkar yang merupakan, runner up Pileg 2009 dengan seenaknya menyetujui kenaikan BBM karena mendapat jaminan biaya ganti rugi korban Lumpur Lapindo. Hal inilah yang patut kita pertanyakan dan membawanya ke ruang-ruang publik untuk dibicarakan. Sebab, bukan sesuatu hal yang bermasalah juga jika MPR dipisah dengan DPR. Sebab, bentuk kedaulatan rakyat di Indonesia yang dirumuskan oleh pendiri bangsa kita bukanlah suara. Melainkan, GBHN sebab keberadaan GBHN merupakan arah kompas jalannya sebuah pemerintahan. Jika saja MPR dengan dibantu instalansi rakyat seperti Lumbung Desa, Rukun Warga (RW) dan Rukun Tetangga (RT) dalam menampung aspirasi kita yang nantinya akan rampung dalam GBHN. Bukan hal yang mustahil kita akan menjadi mercusuar dunia. Karena, hanya Indonesia sajalah yang mampu merumuskan aspirasi rakyat dalam bentuk GBHN. Pastinya, jauh lebih adil ketimbang aspirasi kita dibawa partai dengan bentuk yang tidak pasti. Kemudian, dalam menjalankan kehidupan berbangsa kita memiliki falsafah yang dikenal dengan Pancasila. Jika dibawa keranah negara Pancasila harus menjadi Ideologi. Dimana, Ideologi merupakan keyakinan standar yang akan membentuk nilai-nilai kehidupan masyarakat dalam bentuk norma (Undang-undang). Namun, sampai saat ini negara tidak pernah menjalankan Ideologi Pancasila secara konsekuen. Buktinya, dilegalkannya proses pemilu dengan penetapan jumlah suara terbanyak. Padahal, dalam Pancasila tidak ada satu pun sila yang melegalkan proses pemilu. Karena, menyerupai perjudian. Seharus, untuk menjalankan nilai dinamika politik. Negara harusnya melegalkan, proses musyawarah yang dilaksanakan secara berjenjang ke atas.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun