Mohon tunggu...
ahmad syamsurizal
ahmad syamsurizal Mohon Tunggu... -

orang biasa, melakukan hal hal biasa, ingin nenghasilkan capaian luar biasa.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Indonesiaku, ke Mana Kamu...?

22 Februari 2015   14:00 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:43 23
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Indonesiaku, ijinkan aku tetap mencintaimu walaupun  tak tahu lagi kemana kumuarakan cinta ini,  sebab segala yang menyelubungimu itu palsu. Teramat dalam perih ini menatapi wajahmu yang letih menahan sedih melihat anak anak negri berlomba meriasmu dengan gincu dan benalu. Nasi yang kumakan, air yang kuminum sudah bukan berasal dari rahimmu. Baju yang kupakai, bau yang kucium, warna yang kulihat sudah tak bisa lagi kueja dengan bahasamu. Lagu yang kudengar, mainan yang kukenal, kebiasaan yang kujalani sudah tak disinari lagi oleh purnamamu, sudah tak dihangati lagi oleh suryamu. Aku masuki keramaian dan udara dipenuhi gumaman kegelisahan orang banyak yang ketakutan akan masa depan mereka bukan akan masa depanmu. Aku lari pada kesunyian dan tetap saja cintaku ini padamu Indonesiaku menyayat nyayat perih hatiku, mengingatmu hanya sebatas nama, sebatas lambang, sebatas kenangan tanpa pernah kutemui lagi utuh dirimu seperti yang dulu, sebagaimana yang kutahu. Kini kusadari perjalanan waktu teramat mahal atas berlalunya semua itu..

Dahulu kata orangtuaku, setiap pagi adalah bermulanya keindahan baru, semangat baru, cinta yang bertambah-tambah padamu, Indonesiaku. Matahari yang hangat atau hujan yang lebat adalah nikmat. Segelas teh tubruk atau secangkir kopi kasar dengan harum tanahmu ditemani ubi, ketela , jagung atau ketan yang dilahirkan subur tanahmu lewat keringat anak anak kandungmu cukup untuk memulai hari. Senyum ramah tetangga, wajah sumringah saudara-saudara, sapaan ikhlas teman-teman, hati bersih orang-orang yang kami temui di jalan tanpa prasangka adalah udara dan energi yang melingkupi hari. Sumber nafkah kami adalah kerja keras, cita cita tertinggi kami adalah kehormatan dan hidup mulia dalam pengabdian, kekayaan kami adalah seberapa banyak kami membantu orang lain. Kekuatan kami adalah gotong royong, keputusan kami adalah musyawarah. Kami malu jika kami kenyang dan tetangga kami lapar, kami sedih jika kami senang dan saudara saudara kami susah, kami tidak pernah merasa menang dan pihak lain harus merasa kalah. Desa dan kampung kami itulah bernama Indonesia....

Tapi kini, Indonesiaku.... bahkan hanya untuk seikat daun singkong, segenggam cabe atau seruas jahe kami harus menukarnya dengan uang. Hanya untuk ke tempat saudara atau teman yang berjarak selemparan kolor basah kami harus menempuhnya dengan motor atau mobil. Hanya untuk menunjukkan cinta dan iman kepada Allah dan nabi kami harus adakan upacara upacara yang hanya bisa dilakukan dengan modal uang, bahkan begitu mahal seukuran bisa untuk memberi makan seribu orang kelaparan kami habiskan dalam semalam, bersaing gengsi antara langgar dengan langgar, masjid dengan masjid, diisi dengan khotbah yang menggelegar menebar kebencian pada golongan yang berbeda faham atau lebih sering dengan lawakan dan lelucon, semakin lucu semakin berilmu sang penceramah. Semakin mahal tarif sang dai semakjn bangga panitianya. Dalam kesunyian aku menangis diam-diam.....

Aku merindukan Hatta......

yang melanglang ke jantung Eropa dan menyerap ilmunya lalu kembali tetap sebagai orang yang sederhana.

Aku merindukan Tan Malaka.....

yang menerjuni revolusi-revolusi dunia, belajar pada alam realita dan bersentuhan dengan tokoh-tokoh dunia lalu pulang menjadi dan bergumul dengan rakyat jelata.

Aku merindukan Haji Agus Salim.....

yang mumpuni dalam ilmu bahasa, sholeh dengan kedalaman ilmu agama, pengembara yang mengenal semua budaya dunia. Tapi begitu sederhana dan menolak menjadi kaya dalam lingkungan  masyarakat yang masih miskin papa.

Indonesiaku, sungguh aku merindukan mereka semua dengan kerinduan yang dalam menusuk nusuk hatiku.Sungguh, sekali lagi aku merindukanmu, Indonesiaku seperti yang dulu.  Kapan? di mana ? kepada siapa ? akan kucurahkan rindu dan kekagumanku sebagai anak bangsa pada sosok yang sanggup dan layak mewakili karakter dan keindahanmu. Dalam keterasingan dibekap kerinduan yang menghantam hantam, aku menangis diam diam......

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun