Oleh: Rizal Aufa RafiqiÂ
Jakarta, 25 Juni 2025. Wacana pembangunan Sekolah Menengah Atas (SMA) Unggulan oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) terus memantik perdebatan di kalangan pemerhati pendidikan nasional. Program yang digadang-gadang sebagai terobosan peningkatan mutu pendidikan ini justru dianggap berpotensi menciptakan masalah baru, mulai dari tumpang tindih kewenangan hingga risiko segregasi sosial.Â
Edi Subkhan, pengamat pendidikan dari Universitas Negeri Semarang, mengingatkan bahwa inisiatif ini berisiko berbenturan dengan kewenangan Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah (Ditjen Dikdasmen) yang selama ini menaungi jenjang pendidikan menengah. "Secara struktural, SMA berada di bawah Ditjen Dikdasmen. Jika Kemendikbudristek langsung turun tangan tanpa koordinasi, dikhawatirkan akan muncul kebijakan yang tumpang tindih dan membingungkan pelaksana di lapangan," ujarnya kepada Tempo.co pekan lalu.Â
Kritik serupa disampaikan Darmaningtyas, pemerhati pendidikan dari Pusat Studi Pendidikan dan Kebijakan (PSPK). Ia mengingatkan dampak sosial yang mungkin timbul jika program ini hanya berfokus pada segelintir sekolah. "Kebijakan ini berpotensi memperlebar jurang ketimpangan. Sekolah unggulan akan mendapat fasilitas lengkap, sementara sekolah biasa semakin tertinggal," tegasnya dalam wawancara eksklusif dengan Kemensos.go.id.Â
Â
Masalah Koordinasi dan Duplikasi Program
Analisis kebijakan menunjukkan setidaknya tiga isu krusial dalam rencana ini. Pertama, masalah tata kelola kelembagaan. Sejak reformasi birokrasi 2020, Kemendikbudristek memang diberi mandat untuk inovasi pendidikan, namun implementasinya seringkali tumpang tindih dengan unit kerja lain. Kasus serupa pernah terjadi pada program Sekolah Penggerak tahun 2022 yang sempat memicu polemik antara pemerintah pusat dan daerah.
Kedua, aspek pemerataan pendidikan. Data Kemendikbudristek 2024 menunjukkan, 60% SMA negeri di daerah tertinggal masih kekurangan guru berkompeten dan fasilitas dasar. "Membangun sekolah unggulan di kota besar sementara sekolah di pedesaan kekurangan guru, itu sama saja memperparah ketimpangan," kata Subkhan.Â
Ketiga, dampak psikososial. Penelitian Universitas Indonesia (2023) membuktikan, sistem sekolah unggulan cenderung menciptakan labelling yang memengaruhi motivasi belajar siswa di sekolah reguler. "Anak-anak dari keluarga kurang mampu akan merasa termarjinalkan," ujar Dr. Widodo, psikolog pendidikan UI.Â
Â
Risiko Segregasi dan Solusi Alternatif