Kalimat "namanya juga anak-anak" terdengar akrab di telinga banyak orang Indonesia. Ungkapan ini kerap dilontarkan sebagai bentuk toleransi terhadap perilaku anak yang dianggap nakal, bercanda, atau wajar dalam masa tumbuh kembang. Namun, dalam banyak kasus, frasa yang terlihat santai ini justru menutupi berbagai bentuk kekerasan verbal maupun fisik yang terjadi di lingkungan sekolah, rumah, dan masyarakat. Yang lebih mengkhawatirkan, normalisasi ini menjadi pintu masuk pembiaran terhadap tindakan bullying, kekerasan, hingga trauma masa kecil yang membekas hingga dewasa.
Di banyak sekolah, misalnya, kasus perundungan antar siswa kerap kali dianggap "kenakalan biasa". Ketika seorang anak laki-laki memukul temannya, menyembunyikan barang milik orang lain, atau mengejek secara berulang, guru atau orang dewasa di sekitarnya sering kali menanggapi dengan senyuman dan berkata, "Namanya juga anak-anak." Pernyataan ini secara tidak langsung menoleransi kekerasan dengan dalih keluguan. Padahal, bagi korban, peristiwa itu meninggalkan luka baik secara fisik maupun psikis yang bisa berdampak jangka panjang. Rasa takut datang ke sekolah, penurunan prestasi, bahkan trauma terhadap interaksi sosial menjadi harga yang dibayar dari sebuah pembiaran.
Fenomena serupa juga terlihat dalam lingkungan keluarga. Ketika anak tertua memukul adik atau ketika ada kekerasan antar saudara, sebagian orang tua menganggapnya sebagai dinamika biasa dalam tumbuh kembang anak. Alih-alih menjadi mediator dan pendidik, orang tua memilih untuk tidak ikut campur demi "membiarkan mereka menyelesaikan sendiri". Namun, keputusan ini kadang menjadikan pelaku kekerasan merasa tindakannya benar dan tanpa konsekuensi, sedangkan korban merasa tidak dilindungi. Dalam jangka panjang, pola ini membentuk karakter yang permisif terhadap kekerasan dan mengaburkan batas antara bercanda dan menyakiti.
Tidak berhenti di sana, normalisasi ini juga berdampak pada aspek gender. Ketika anak laki-laki bersikap kasar, masyarakat sering kali memaklumi dan berkata, "Namanya anak cowok, wajar agak keras." Sebaliknya, anak perempuan yang berekspresi lebih tegas justru dianggap "tidak sopan" atau "melawan". Ini menciptakan bias sejak dini tentang bagaimana anak seharusnya bersikap berdasarkan jenis kelamin mereka. Pola pikir seperti ini memperkuat stereotip sosial yang menekan perkembangan anak menjadi pribadi bebas dan sehat secara emosional.
Data dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menunjukkan bahwa kasus kekerasan terhadap anak, termasuk yang terjadi antar-anak, terus meningkat setiap tahun. Ironisnya, sebagian besar kasus tidak dilaporkan karena dianggap bukan masalah serius, atau karena ada anggapan bahwa itu bagian dari fase bermain. Padahal, penelitian psikologi menunjukkan bahwa perundungan yang terjadi di masa kecil dapat menyebabkan gangguan kecemasan, depresi, hingga penurunan kemampuan sosial di masa dewasa. Ini bukan lagi soal "kenakalan kecil", melainkan dinamika kekuasaan dan kekerasan yang terpelihara melalui pembiaran kultural.
Kita perlu secara kolektif menyadari bahwa membiarkan kekerasan dengan dalih "namanya juga anak-anak" adalah bentuk kekeliruan. Anak-anak memang dalam fase belajar memahami norma sosial, tetapi justru karena itulah peran orang dewasa menjadi krusial. Mereka perlu diajarkan batasan yang sehat, empati terhadap orang lain, dan konsekuensi dari tindakan mereka. Menegur anak ketika berbuat salah bukan berarti merampas kebebasan bermain mereka, melainkan memberi mereka kompas moral untuk tumbuh dengan sehat dan berintegritas.
Pendidikan karakter yang sering digaungkan dalam kurikulum sekolah pun seharusnya tidak hanya berfokus pada nilai di atas kertas. Guru, sebagai figur penting dalam pembentukan kepribadian, harus dibekali kemampuan mengenali bentuk-bentuk kekerasan terselubung dan menciptakan ruang aman bagi semua siswa. Demikian pula dengan orang tua, yang perlu diberdayakan melalui pelatihan dan edukasi parenting agar memahami pentingnya peran mereka dalam menciptakan lingkungan keluarga yang tidak hanya nyaman secara fisik, tetapi juga emosional.
Perubahan juga perlu dilakukan di tingkat masyarakat. Media sosial dan tayangan televisi harus berhenti menampilkan kekerasan verbal atau fisik sebagai "komedi anak-anak". Industri hiburan punya tanggung jawab dalam membentuk persepsi publik, terutama anak-anak yang cenderung meniru apa yang mereka lihat. Begitu pula dengan ruang bermain anak, sekolah, taman, atau kegiatan komunitas, semuanya harus diawasi dengan prinsip kesetaraan, anti-diskriminasi, dan non-kekerasan.
Akhirnya, saat kita mendengar atau menyaksikan kekerasan yang dilakukan oleh anak terhadap anak lainnya, mari berhenti bersembunyi di balik kalimat, "Namanya juga anak-anak." Karena di balik kalimat yang terdengar ringan itu, ada luka yang mungkin tidak terlihat tapi terasa. Ada anak-anak yang bertumbuh dengan rasa takut, tidak percaya diri, atau bahkan kehilangan harapan untuk merasa aman di dunia yang seharusnya mendukung pertumbuhan mereka.Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI