Mohon tunggu...
Riyan Azrul Ananda
Riyan Azrul Ananda Mohon Tunggu... Mahasiswa - Intelektual Muslim

Blog Pribadi

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Review Buku "Dualisme Hukum Perkawinan Islam di Indonesia" Karya Saiful Millah, Asep Saepudin Jahar

11 Maret 2024   22:37 Diperbarui: 13 Maret 2024   11:08 106
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Abstrak:

Dualisme hukum perkawinan Islam di Indonesia merupakan fenomena yang kompleks, mencerminkan perpaduan antara fiqh tradisional dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang modern. Artikel ini menjelajahi dinamika dualisme tersebut, memperdebatkan implikasi hukum, sosial, dan budaya yang berkaitan. Dengan merujuk pada pandangan fiqh dan interpretasi KHI, kita menggali konflik, kesinambungan, dan tantangan dalam upaya menyelaraskan dua paradigma hukum yang berbeda tersebut.

Katakunci: Hukum, Dualisme, Perkawinan, Harmonisasi

Latar belakang

Sejak awal abad ke-20, Indonesia telah mengalami perubahan signifikan dalam bidang hukum perkawinan Islam. Dualisme hukum perkawinan muncul sebagai hasil dari pengaruh kolonialisme dan upaya negara untuk menyesuaikan prinsip-prinsip hukum Islam dengan sistem hukum sekuler yang diterapkan secara umum. Hal ini tercermin dalam adopsi hukum kolonial Belanda dan upaya untuk mengintegrasikan aspek-aspek hukum Islam ke dalam sistem hukum nasional.

Ketika Indonesia merdeka pada tahun 1945, dualisme hukum perkawinan semakin nyata dengan adanya dua sistem hukum yang berlaku secara paralel: hukum perkawinan sipil yang diatur oleh pemerintah Indonesia dan hukum perkawinan Islam yang diatur oleh lembaga keagamaan, terutama Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Departemen Agama.


Namun, dualisme ini telah menimbulkan berbagai konflik dan kontroversi dalam praktiknya. Misalnya, perbedaan dalam proses perceraian antara hukum sipil dan hukum Islam sering kali menciptakan kebingungan dan ketidakpastian bagi para pihak yang terlibat. Selain itu, perbedaan pandangan antara otoritas agama dan negara mengenai isu-isu seperti poligami, penyelesaian harta bersama, dan hak asuh anak juga seringkali menimbulkan ketegangan.

Pada tahun 1974, upaya untuk mengatasi dualisme hukum perkawinan ini dilakukan melalui pengesahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang mengharmonisasi hukum sipil dan hukum Islam. Namun, implementasi undang-undang ini tidak selalu berjalan lancar karena masih terdapat perbedaan interpretasi dan penerapan di tingkat lokal. Kemudian, pada tahun 2004, pemerintah Indonesia mengeluarkan Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang mencoba untuk mengintegrasikan hukum Islam ke dalam sistem hukum nasional secara menyeluruh. Namun, KHI juga mengakui keberadaan hukum adat dan hukum lokal dalam pengaturan perkawinan, yang pada akhirnya masih mempertahankan beberapa bentuk dualisme hukum.

Sejak itu, upaya terus dilakukan untuk menyeimbangkan antara prinsip-prinsip hukum Islam dengan prinsip-prinsip hukum sekuler dalam konteks perkawinan di Indonesia. Meskipun dualisme hukum masih ada, langkah-langkah menuju harmonisasi dan integrasi terus dilakukan untuk menciptakan kerangka hukum yang lebih konsisten dan adil bagi semua pihak yang terlibat dalam perkawinan, baik dari segi agama maupun hukum sekuler.

Pembahasan

Bab 1 (Dinamika Hukum Islam Di Indonesia)

Pada bab pertama dalam buku ini bercerita bahwasannya hukum islam yang ada diindonesia saat ini ialah telah ada sejak orang islam datang dan berukim di nusantara. Sebut saja kerajaan samudra pasai, yang bertempat di aceh utara berdiri sekitar tahun ke 13 M, pada masa ini kerajaan ini telah menganut faham madzhab syafi'i yang kemudian menyebar keseluruh pelosok negeri. Selanjutnya saat ini hukum islam diindonesia terbagi menjadi 2, yaitu (1) hukum islam berlaku secara yuridis, artinya hubungan manusia dengan manusia lainnya. (2) hukum islam berlaku normative, artinya hubungan mansuia dengan tuhannya seperti shalat, puasa, zakat dll. Disini didasaran atas pemahaman dari imam madzhab (abu hanifah, malik bin anas, Muhammad idris asy syafi'i dan ahmad bin hanbal), juga madzab syafi'i yang besar pengaruhnya untuk islam di nusantara.

Kemudian terait Kompilasi Hukum Islam (KHI) merupakan sebuah rangkuman dari berbagai pendapat hukum yang diambil dari beberapa kitab yang ditulis oleh para ulama/imam mazhab fiqh yang biasa digunakan sebagai referensi pada Pengadilan Agama untuk diolah dan dikembangkan serta dihimpun ke dalam satu himpunan. Kompilasi Hukum Islam ini diharapkan dapat menyatukan wawasan para hakim Peradilan Agama di Indonesia dalam memecahkan berbagai masalah yang diusulkan kepada mereka. Wasit Aulawi berharap agar Kompilasi Hukum Islam ini dapat (1) memenuhi asas manfaat dan keadilan yang berimbang dan terdapat dalam hukum Islam. (2) mengatasi berbagai masalah khilafiyah untuk menjamin kepastian hukum. dan (3) mampu menjadi bahan baku serta berperan aktif dalam pembinaan hukum nasional.

Namun yang amat disayangkan adalah bahwa sejak diinstruksikan pada tahun 1991, Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang diharapkan bisa dijadikan bahan rujukan utama bagi para hakim dan pihak yang bersengketa dirasakan baru diterapkan di wilayah Pengadilan Agama saja dan belum diterapkan oleh instansi lain, seperti KUA dan juga para tokoh agama atau ulama di tengah masyarakat. Hal ini mungkin disebabkan karena (1) kurangnya sosialisasi sehingga mereka masih merasa lebih aman menggunakan fiqh mazhab, padahal KHI juga merupakan intisari dari fiqh madzhab yang disesuaikan dengan kondisi ke Indonesiaan. (2) atau juga KHI sudah diterapkan oleh mereka namun tidak secara menyeluruh sehingga mengambil sebagian dan menolaknya sebagian, dimana keadaan ini dirasakan makin memperkuat dominasi fiqh madzhab di kalangan para tokoh agama atau kyai yang mana mereka seringkali dimintai keputusannya dalam menyelesaikan permasalahan masyarakat awam. (3) atau juga bahwa dalam menyelesaikan persoalan-persoalan yang sering terjadi di tengah masyarakat, KHI sudah memiliki aturannya namun masih dirasakan berbeda dengan keputusan dari para ulama di masyarakat yang bersumber dari fiqh madzhab dalam memutuskan persoalan yang sama, apalagi kalau hasil keputusan para ulama tersebut sudah menjadi nilai yang dipegang erat (living law) oleh masyarakat.

Di sinilah timbul kesan adanya dualisme antara menerapkan fiqh mazhab ataukah KHI sehingga terlihat adanya ketidakseragaman dalam mengambil aturan hukum pada satu permasalahan yang sama karena menggunakan istinbath hukum yang berbeda berdasarkan fiqh madzhab tadi.

Bab 2 (Fiqh dan Kompilasi Hukum Islam)

A. Fiqh

1. Fiqh dan Perkembangannya

Masih membahas fiqh, fiqh secara bahasa al-fahmu yang berarti pemahaman, bisa juga didapati 2 pengertian, yaitu al-ilmu bi asy-syay'I wa al fahmu lahu artinya "mengetahui seseuatu dan memahaminya", dan al fathonah artinya "kecerdasan". Dikatakan pula bahwa kata fiqh secara bahasa mempunyai dua makna yaitu (a) memahami mengerti secara langsung atau sekadar mengerti saja. dan (b) memahami atau mengerti secara lebih luas dan mendalam, bukan sekadar paham terhadap hal-hal yang dapat dimengerti dengan mudah saja sehingga orang yang mengerti dan memahami bahwa es itu dingin, api itu panas, malam itu gelap, dan lain sejenisnya, belumlah dapat dikatakan sebagai orang yang mengerti secara mendalam karena pengetahuan tentang sifat es, api, dan malam itu adalah mudah dipahami dan mudah dimengerti, sedangkan yang dimaksud dengan memahami atau mengerti secara mendalam adalah benar-benar memahami sesuatu yang sulit.

Dalam perkembangannya, istilah fiqh mengalami tiga fase penting. Fase pertama identik dengan istilah syariah, yang mencakup semua ajaran Allah, termasuk akidah, akhlak, dan tingkah laku manusia. Fase kedua memisahkan fiqh dari persoalan akidah, menetapkan fiqh sebagai ilmu tentang hukum syariah yang fur'iyyah. Fase ketiga, yang kita kenal saat ini, memandang fiqh sebagai disiplin ilmu yang khusus membahas hukum-hukum yang berkaitan dengan perilaku manusia, terlepas dari aspek akhlak dan hati.

2. Syariah dan Fiqh

Pada masa-masa awal Islam, syariah dan fiqh adalah istilah yang dianggap sama, walaupun fokusnya berbeda antara keduanya. Fiqh itu difokuskan pada pe- mahaman yang mendalam terhadap wahyu, sedangkan syariah fokusnya adalah sumber-sumber pokok dalam Islam yang dianggap sebagai wahyu Ilahi. Ruang lingkup keduanya adalah sama, yaitu seluruh ajaran Islam yang mencakup bidang akidah, akhlak, dan hukum Islam.

Objek dari hukum Islam kategori fiqh adalah perbuatan mukallaf dan bukan zat (benda) sehingga lima atribut hukum, (yaitu wajib, sunah, mubah, makruh, dan haram) hanya dapat diterapkan pada perbuatan individu yang nyata, bukan pada zat. Misalnya, Alquran mengharamkan ibu kandung dan anak perempuan maka maksudnya yang diharamkan adalah menikahi ibu kandung dan anak perempuan. Begitu juga jika dikatakan bahwa "uang ini halal" atau "uang ini haram" maka yang dimaksudkan adalah cara memperoleh uang tersebut, baik dengan cara-cara yang halal ataupun cara-cara yang haram

3. Fiqh sebagai Disiplin Ilmu

Dalam prosesnya, untuk menjadi salah satu disiplin ilmu dalam Islam, fiqh telah melalui beberapa tahapan," yaitu sebagai berikut.

Pertama, seperti maknanya secara bahasa bahwa fiqh adalah pemahaman yang mendalam untuk menyimpulkan perkara hukum yang mengacu pada nash. Kedua, fiqh yang merupakan pendapat pribadi seorang fakih tadi mulai berkembang pada bidang hukum yang merupakan panduan praktis dalam menjalankan syariat Islam. Ketiga, fiqh identik dengan produk para mujtahid dalam perkara hukum Islam, di mana hasil ijtihad tersebut sudah mulai terkodifikasi dalam kitab-kitab karya para ulama. Keempat, jika pada awalnya fiqh hanyalah merupakan penalaran dan pen- dapat pribadi untuk memahami nash.

Berkaitan dengan fiqh sebagai produk dari ijtihad, ada yang mengelompok- kan fiqh dalam dua bentuk: (a) Figh Nabawi, yaitu materi hukum Islam yang diperoleh dari nash (Alquran dan sunah Rasulullah) yang memuat ketentuan hukum secara terperinci dan mudah untuk dipahami, namun ketentuan jenis ini jumlahnya terbatas dan terkadang tidak selalu persis dengan yang tercantum secara tekstual dalam nash. dan (b) Fiqh Ijtihadi, yaitu materi hukum Islam yang lahir dari proses ijtihad para mujtahid terhadap hukum-hukum yang belum dinyatakan secara tegas dalam nash.

4. Karakteristik Fiqh

a. Fiqh adalah hukum Islam yang memiliki ciri intelektual manusia karena proses kelahirannya sangat bergantung pada nalar dan pemahaman manusia terhadap dalil-dalil syara.

b. Fiqh membahas hal-hal yang spesifik, terperinci, dan praktis yang ber kaitan dengan perbuatan nyata seorang muslim mukallaf secara individual.

c. Fiqh adalah produk dari penalaran manusia terhadap dalil syara' sehingga kualitas kepastiannya berada di bawah syariah, atau dengan kata lain karena penalaran manusia itu sifatnya adalah zhanni berdasarkan pada pemahaman masing-masing mujtahid terhadap dalil syara'.

d. Fiqh sebagai sebuah disiplin ilmu pengetahuan yang statusnya zhan mengandung arti bahwa kebenarannya itu tidak bersifat mutlak.

e. Fiqh dapat berkembang, berubah, bervariasi, sesuai dengan tingkat pe mahaman dan daya nalar para mujtahid sehingga sangat dimungkinkan jika terjadi perbedaan hasil ijtihad antara para ulama fiqh.

f. Fiqh dalam posisinya sebagai formula untuk menjalankan syariat Islam- sifatnya elastis dan fleksibel, di mana sifat ini merupakan anugerah agar dapat dirasakan sebagai rahmat bagi pemeluknya.

5. Perbedaan Pendapat dalam fiqh

Mahmud Syaltout dalam bukunya Muqaranat Al-Madzahib ft Al-Fiqh, mengemukakan enam hal yang menjadi sebab terjadinya perbedaan pendapat tersebut, yaitu karena adanya:

  • Perbedaan pengertian dalam memahami kata-kata atau istilah-istilah (dalam nash) yang jarang dipakai yang ternyata mempunyai arti lebih dari satu yang mengandung makna majazi (kiasan atau lafadz yang digunakan bukan untuk arti yang sebenarnya) maupun hakiki serta perbedaan kebiasaan dalam mengartikan suatu kata tertentu.
  • Perbedaan riwayat hadis yang diterima, mutawatir atau tidak, dapat dijadi kan hujah ataupun tidak, status perawinya dapat diterima ataupun tidak, dan sebagainya.
  • Perbedaan dalam pengambilan dalil yang bersumber dari kaidah ushul figh yang memang banyak diperselisihkan.
  •  Paham yang berlawanan (mafhm mukhalajah) dan pilihan terhadap dalil yang lebih kuat (tarjih).
  • Perbedaan dalam melakukan qiys.
  • Penggunaan dalil-dalil yang diperselisihkan dalam mengambil keputusan hukum, seperti istihsn, istushhb, mashlahah al-mursalah, al-'urf, syar'un man qablana, dan qaul shahabi.

 

B. KOMPILASI HUKUM ISLAM (KHI)

1. Tujuan dan Fungsi Kompilasi Hukum Islam (KHI)

Penyusunan KHI diharapkan dapat menyatukan wawasan para hakim Peradilan Agama di Indonesia dalam memecahkan berbagai masalah yang diajukan kepada mereka. Wasit Aulawi berharap agar KHI ini dapat: (a) memenuhi asas manfaat dan keadilan yang berimbang dan terdapat dalam hukum Islam: (b) mengatasi berbagai masalah khilafiyah untuk menjamin kepastian hukum, dan (c) mampu menjadi bahan baku untuk berperan aktif dalam pembinaan hukum nasional.

Dari urraian diatas dapatlah disimpulkan bahwa KHI berfungsi sebagai berikut.

a. Langkah awal atau sasaran untuk mewujudkan kodifikasi dan unifikasi hukum nasional yang berlaku untuk warga masyarakat, mengingat mayoritas penduduk Indonesia adalah umat Islam sehingga aturan-aturan dalam KHI yang sudah dirumuskan dapat diangkat sebagai bahan materi hukum nasional yang nanti akan diberlakukan.

b. Pegangan bagi para hakim Pengadilan Agama dalam memeriksa dan meng- adili perkara-perkara yang menjadi kewenangannya.

c. Pegangan bagi warga masyarakat mengenai hukum Islam yang berlaku baginya yang sudah merupakan hasil rumusan yang diambil dari berbagai kitab kuning (fiqh mazhab) yang sebelumnya tidak dapat dibaca langsung oleh mereka.

2. Kompilasi Hukum Islam (KHI) sebagai Fiqh Madzhab Indonesia

Kompilasi Hukum Islam (KHI) merupakan hasil dari proses ijtihad kolektif yang melibatkan para ulama dan pakar hukum Islam Indonesia, dengan memperhatikan kebutuhan hukum umat Islam di Indonesia. KHI memadukan sumber-sumber hukum Islam tradisional dengan peraturan perundang-undangan nasional, serta mempertimbangkan perkembangan global dan hukum adat lokal. Meskipun KHI memiliki beberapa inkonsistensi teknis, namun secara keseluruhan, KHI dianggap sebagai Fiqh Mazhab Indonesia yang mencerminkan kekhasan hukum Islam di Indonesia.

3. Kedudukan Kompilasi Hukum Islam (KHI) dalam Tata Hukum Nasional

Kompilasi Hukum Islam (KHI) disahkan melalui Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 dan Keputusan Menteri Agama No. 154 Tahun 1991. Meskipun KHI memiliki kelemahan dalam hierarki peraturan perundang-undangan nasional, namun secara substansial KHI memuat hukum-hukum perdata Islam yang mengandung norma hukum perundang-undangan. Meskipun demikian, status keberlakuan KHI masih menjadi perdebatan akademis karena diterapkan melalui instrumen Inpres, yang memiliki kekuatan hukum yang terbatas. Namun, norma hukum dalam KHI bersifat umum, abstrak, dan berlaku terus-menerus, menunjukkan bahwa KHI dapat dianggap sebagai norma hukum yang bersifat perundang-undangan.

4. Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan Undang-Undang Perkawinan

Kompilasi Hukum Islam (KHI) merupakan pelengkap Undang-Undang Perkawinan, dengan sebagian besar materinya merujuk pada peraturan perundang-undangan terkait. Meskipun demikian, KHI juga mencakup aturan-aturan yang bersumber dari fiqh munakahat, dengan beberapa penambahan dan penegasan untuk aplikasi yang lebih terperinci.

C. PERSAMAAN DAN PERBEDAAN ANTARA FIQH DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM (KHI)

Setelah mencermati uraian tentang fiqh dan KHI di atas, maka dapatlah diuraikan sisi persamaan dan perbedaan antara keduanya.

Persamaannya adalah sebagai berikut.

1. Figh dan KHI merupakan hasil pendapat dan pemikiran manusia melalui lembaga ijtihad, sifatnya zhanni, memiliki kemungkinan benar ataupun salah, dinamis, dan masih bisa berkembang sesuai situasi atau kondisinya.

2. Fiqh dan KHI termasuk aturan hukum yang sifatnya fakultatif dalam artian tidak mengikat dan tidak memaksa, berbeda dengan syariah yang sifatnya imperatif, yaitu mengikat dan wajib untuk diikuti.

3. Fiqh dan KHI memiliki sumber hukum utama, yaitu Alquran dan sunah Rasulullah.

4. Fiqh dan KHI mengatur bidang muamalah yang selalu berkaitan dengan dinamika perkembangan di masyarakat.

Sedangkan perbedaannya adalah sebagai berikut.

1. Fiqh mazhab adalah hasil dari proses ijtihad yang sifatnya fardi (ijtihad perorangan) secara muthlaq (mandiri dari independen), sedangkan KHI adalah hasil dari proses ijtihad secara jama'? (ijtihad kolektif) yang merangkum dari beberapa mazhab fiqh.

2. Fiqh mazhab bercorak masyarakat muslim di wilayah Timur Tengah, sedangkan KHI bercorak ke-Indonesiaan.

3. Fiqh mazhab disusun pada awal abad II Hijriyah sehingga pengaruh budaya masyarakat saat itu juga terakomodir, sedangkan KHI disusun di abad modern yang sudah berkembang sangat jauh dibandingkan masa- masa sebelumnya.

4. Para imam mazhab secara pribadi menolak jika mazhab fiqhnya dijadikan mazhab resmi bagi pemerintah, walaupun pada akhirnya oleh para murid- nya disebarluaskan dan menjadi mazhab pemerintah juga; sedangkan KHI adalah produk pemerintah melalui Instruksi Presiden sehingga bisa dikatakan sebagai Mazhab Resmi Pemerintah Indonesia.

5. Fiqh mazhab dijadikan sebagai rujukan utama dalam bidang fiqh bagi seluruh masyarakat muslim secara luas di seluruh dunia, sedangkan KHI sudah menjadi Fiqh Indonesia melalui Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 sehingga memiliki legalitas formal hanya bagi masyarakat muslim Indonesia saja.

 

BAB 3 PERBEDAAN PANDANGAN FIQH DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM (KHI)

A. PERNIKAHAN WANITA HAMIL KARENA ZINA

1. Pengertian Nikah

Terminologi "nikah" memiliki tiga makna, yaitu menurut bahasa, menurut ahli ushul figh, dan menurut ulama fiqh, yang dapat diuraikan sebagai berikut.

Pertama, nikah menurut bahasa artinya adalah "Al-Wath'u" ) ( yaitu "persetubuhan" dan "Adh-Dhammu" )(, yaitu "bergabung, berkumpul, atau menyatu""; terkadang diartikan pula dengan "akad perkawinan" secara majati karena akad tersebut merupakan sebab diperbolehkannya persetubuhan.

2. Pengertian Hamil

Lafadz hamil diambil dari kata dalam bahasa Arab, yaitu "hamiem" )( yang artinya mengangkat sesuatu dengan tangan, atau membawa barang di atas pundak, atay membawa suatu dalam perut berupa janin seorang anak.

3. Pengertian Zina

Ada perbedaan pandangan yang sangat mendasar mengenai pengertian zina menurut fiqh dan hukum positif Indonesia; karena itu perlu dibahas dahulu mengenai pengertian zina menurut masing-masingnya.

A. Zina Menurut Fiqh

Secara bahasa (etimologis) kata zina adalah bentuk mashdar dari kata kerja - yang berarti : " ) berbuat jahat.

'Abdul Qadir 'Audah mengemukakan perbedaan pendapat yang terjadi di kalangan ulama fiqh tentang pengertian zina sebagai berikut.

1) Mazhab Hanafi mendefinisikan zina sebagai hubungan seksual antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang bukan miliknya dan bukan syubhat.

2) Mazhab Maliki mendefinisikan zina sebagai hubungan badan yang di lakukan oleh seseorang yang sudah dewasa pada kemaluan manusia yang bukan miliknya dalam keadaan sadar.

3) Mazhab Syafi'i mendefinisikan zina adalah memasukkan zakar ke dalam kemaluan wanita yang haram baginya tanpa adanya unsur syubhat dan disertai adanya nafsu (syahwat).

4) Mazhab Hanbali mendefinisikan zina sebagai perbuatan keji yang di lakukan oleh seseorang pada vagina atau anus.

5) Zaidiyah mendefinisikan zina adalah bertemunya kemaluan seseorang dengan kemaluan orang lain yang masih hidup dan diharamkan, baik melalui vagina maupun anus dengan tanpa adanya unsur syubhat.

Dari berbagai pengertian di atas dapatlah disimpulkan bahwa zina adalah semua jenis hubungan seksual yang dilakukan bukan atas dasar syariat Islam, dan dilakukan dalam keadaan sadar.

B. Zina Menurut Hukum Positif Indonesia

Bahwa definisi zina dalam pasal 284 KUHP Indonesia membatasi pada pelaku yang telah menikah, sementara pelaku yang belum menikah hanya dikategorikan sebagai "perbuatan cabul". Terdapat perbedaan interpretasi antara istilah "kawin" dalam KUHP dan dalam opini masyarakat, dimana KUHP memahami "kawin" sebagai berada dalam ikatan pernikahan, sedangkan masyarakat memahaminya sebagai telah melakukan hubungan seksual layaknya suami-istri. Hal ini menyebabkan kriteria zina yang dapat dijerat dengan hukuman pidana menjadi lebih sempit menurut KUHP daripada apa yang dipahami dalam masyarakat umum.

Berdasarkan uraian di atas tentang pengertian "nikah", "hamil", dan juga "zina", taka dapatlah disimpulkan bahwa pengertian "nikah hamil karena zina" adalah akad nikah yang dilakukan oleh seorang wanita pada saat ia sedang dalam keadaan hamil (mengandung janin dalam perutnya) sebagai akibat dari telah terjadinya hubungan kelamin antara dirinya dengan seorang lelaki, di mana hubungan kelamin tersebut dilakukan dengan cara zina atau di luar ikatan akad nikah.

4. Pengertian Nikah Hamil karena Zina

Bahwa "nikah hamil karena zina" merujuk pada akad nikah yang dilakukan oleh seorang wanita saat ia sedang hamil sebagai akibat dari hubungan seksual diluar ikatan pernikahan. Kasus ini banyak terjadi karena pergaulan bebas, penolakan orang tua terhadap hubungan asmara, perkosaan, atau kehamilan yang diakibatkan oleh laki-laki yang tidak mau bertanggung jawab dan kabur. Tujuan dari "nikah hamil karena zina" seringkali untuk memberikan status ayah kepada bayi yang dikandung oleh wanita tersebut.

B. NASAB ANAK YANG LAHIR DARI PERNIKAHAN WANITA HAMIL KARENA ZINA

1. Pengertian Nasab

Nasab atau keturunan merupakan hubungan kekeluargaan yang berdasarkan darah atau akad perkawinan yang sah. Sistem keturunan dapat beragam, termasuk sistem bilateral, patrilineal, dan matrilineal. Dalam Islam, nasab memiliki peran penting dalam membentuk struktur keluarga dan menentukan hak-hak seseorang dalam hukum perkawinan, kewarisan, dan keperdataan. Pernikahan dipandang sebagai cara yang sah untuk menjaga dan memelihara kemurnian nasab, sementara perzinaan dilarang karena dapat mengaburkan kemurnian nasab.

2. Sebab Terbentuknya Nasab

Nasab atau keturunan seseorang terhadap ibunya dapat terjadi baik melalui perkawinan yang sah maupun melalui hubungan zina. Namun, nasab anak terhadap ayah kandungnya hanya dapat terbentuk melalui tiga cara: melalui perkawinan yang sah, perkawinan yang fasid, atau melalui hubungan badan secara syubhat. Penetapan nasab melalui perkawinan yang sah memiliki syarat-syarat tertentu, termasuk bahwa suami harus dapat memberikan keturunan, anak dilahirkan tidak kurang dari enam bulan setelah akad nikah atau hubungan badan, dan minimal ada satu kali pertemuan fisik yang memungkinkan terjadinya hubungan badan setelah sahnya akad nikah. Jika syarat-syarat ini tidak terpenuhi, maka anak yang dilahirkan tidak dapat dinasabkan kepada suami ibunya meskipun telah terjadi perkawinan yang sah.

3. Nasab Anak yang Lahir dari Pernikahan Wanita Hamil karena Zina

a. menurut fiqh

Dari kedua kelompok ini dapatlah kita simpulkan bahwa hanya ulama kalangan Hanafiyah dan Syafi'iyah saja yang mengakui adanya hubungan nasab bagi anak yang dilahirkan dari wanita yang menikah dalam keadaan hamil karena zina, tentunya hubungan nasab tersebut adalah dengan lelaki yang menzinai ibunya si anak, dengan syarat apabila kelahirannya telah melewati masa enam bulan sejak akad nikah orangtuanya.

b. Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI)

Menurut KHI (Kompilasi Hukum Islam), anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dari perkawinan yang sah, meskipun akad nikahnya dilaksanakan dalam keadaan ibu hamil karena zina, asalkan lelaki yang menikahinya adalah lelaki yang menghamilinya. KHI mengenal istilah anak luar kawin yang dapat dibedakan menjadi anak zina dan anak luar kawin yang lainnya. Anak zina adalah anak yang dilahirkan ketika salah satu atau kedua orangtuanya masih terikat perkawinan dengan pihak lain dan melakukan hubungan seksual di luar ikatan perkawinan tersebut, sementara anak luar kawin lainnya adalah anak yang lahir dari orangtua yang masih lajang. Persoalan ini menimbulkan banyak perdebatan di kalangan para pemerhati hukum Islam. Kesimpulannya, KHI mengakui anak yang lahir dari perkawinan yang sah, bahkan jika akad nikah dilaksanakan dalam keadaan ibu hamil karena zina, asalkan lelaki yang menikahinya adalah lelaki yang menghamilinya.

 

C. TALAK DILUAR PENGADILAN

1. Pengertian Talak

Lafadz "talak" secara bahasa artinya terbebas dari ikatan, atau terlepas dan menghilangkan ikatan;" atau lepas dan bebas. 14 Dihubungkannya kata talak dalam arti kata "lepas dan bebas" ini dengan putusnya perkawinan adalah karena antara suami dan istri sudah lepas hubungannya atau masing-masing sudah bebas. Sedangkan menurut istilah dari para ahli fiqh, terminologi "talak" diartikan dalam beberapa definisi, yaitu sebagai berikut.

Menurut Al-Hashkafi dari ulama Hanafiyah dalam kitabuya Ad-Durra Al Mukhtar, talak adalah.

"Menghilangkan ikatan pemikahan pada saat sekarang ataupun nanti degun lafadz yang khusus."

Ulama Syafi'iyah mendefinisikan talak dengan pernyatman:

"Melepaskan ikatan pernikahan dengan lafadz talak dan sejenisnya."

2. Jenis Lafadz Talak

Para ulama fiqh sepakat bahwa lafadz talak yang digunakan oleh suami itu terbagi dalam dua jenis, yaitu sebagai berikut.

a. Jelas (Sharih

b. Kiasan/Sindiran (Kinayah)

3. Rukun Talak

a. Suarni yang menalak

b. Istri yang ditalak

c. Lafadz talak, yaitu lafadz yang dipahami sebagai ucapan yang mengandung makna perceraian yang memutuskan ikatan perkawinan antara suami dan istri, baik lafadz tersebut dalam bentuk yang jelas (sharih) maupun dalam bentuk kiasan/sindiran (kinayah).

d. Adanya kesengajaan dalam mengucapkan lafadz talak. Maka tidak sah talak yang terucap dari suami karena salah ucap atau salah 'ngomong'.

4. Hal-Hal Lain yang Perlu Dipertimbangkan dalam Talak

a. Persetujuan Istri yang Ditalak

b. Adanya Alasan kuat untuk menjatuhkan Talak

c. Keberadaan Saksi dalam Talak

5. Talak dalam Beberapa Kondisi Tertentu

a. Talak dalam Keadaan Mabuk

b. Talak dalam Keadaan Marah

c. Talak dalam Keadaan Dipaksa

d. Talak dalam Keadaan Main-main

e. Talak Tiga Sekaligus

BAB 4 ANALISIS TERHADAP PERBEDAAN PANDANGAN FIQH DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM (KHI)

A.PERBEDAAN PANDANGAN FIQH DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM (KHI) SERTA DAMPAKNYA

1. Perkara Pernikahan Wanita Hamil karena Zina

Perbedaan antara fiqh dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) dalam perkara menikahkan wanita hamil karena zina adalah bahwa fiqh mazhab Hanafiyah dan Syafi'iyah membolehkan menikahkan wanita tersebut dengan lelaki lain yang bukan menghamilinya, sedangkan KHI hanya membolehkannya dengan lelaki yang menghamilinya. Penafsiran terhadap pasal 53 KHI menghasilkan beberapa opsi, tetapi prinsipnya adalah untuk mencegah mudharat (kerugian) lebih lanjut dan memastikan kedudukan legalitas anak yang akan dilahirkan. Pasal ini hanya berlaku untuk wanita hamil yang tidak dalam ikatan perkawinan dengan lelaki lain pada saat kehamilannya.

2. Perkara Nasab Anak dari Pernikahan Wanita Hamil karena Zina

Perbedaan antara fiqh dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) terletak pada penanganan status nasab anak yang dilahirkan dari perkawinan wanita hamil karena zina. Fiqh mazhab Hanafiyah dan Syafi'iyah meniadakan hubungan nasab jika kelahiran anak terjadi kurang dari enam bulan setelah perkawinan, sementara KHI memberikan status anak sah tanpa memperhatikan jarak waktu antara perkawinan dan kelahiran. Pendapat fiqh bertujuan untuk memberikan efek jera kepada pelaku zina, sementara KHI bertujuan memberikan kemaslahatan bagi wanita dan anaknya. Meskipun berbeda pendekatan, kedua pendapat ini dapat digunakan dalam konteks yang berbeda untuk mencapai tujuan hukum yang sama, yaitu memberikan kemaslahatan bagi manusia.

3. Perkara Talak di Luar Pengadilan

Perbedaan antara fiqh dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) terletak pada keabsahan talak yang diucapkan oleh suami kepada istrinya di luar sidang Pengadilan. Fiqh menganggap talak sah jika diucapkan oleh suami tanpa memperhatikan waktu, tempat, atau kehadiran saksi, sementara KHI menyatakan bahwa perceraian harus dilaksanakan di hadapan sidang Pengadilan Agama untuk dianggap sah. Pendapat fiqh memberikan kekuasaan penuh kepada suami dalam hal talak tanpa perlu pertimbangan lain, sementara KHI memberikan perlindungan kepada istri untuk memastikan keabsahan talak dan hak-haknya setelah perceraian. Meskipun tujuan keduanya berbeda, yaitu memberikan peringatan kepada suami agar berhati-hati dalam mengucapkan talak (fiqh) dan memberikan perlindungan hukum bagi istri (KHI), keduanya memiliki implikasi yang kompleks dalam praktik perkawinan dan perceraian di masyarakat.

Kesimpulan

bahwa terdapat dualisme dalam penerapan hukum antara fiqh mazhab dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) dalam menyelesaikan permasalahan sosial yang sama di masyarakat. Hal ini mengakibatkan kebingungan dan ketidakpastian di kalangan para pakar hukum Islam, serta memicu perdebatan tentang keberadaan hukum Islam di Indonesia. Meskipun demikian, materi tersebut menunjukkan bahwa fiqh dan KHI merupakan produk manusia berdasarkan hasil ijtihad yang bertujuan menciptakan kemaslahatan bagi masyarakat luas. Namun, keduanya bersifat relatif dan dapat berubah sesuai dengan kondisi tertentu.

Perbedaan pandangan antara fiqh dan KHI tercermin dalam beberapa kasus, seperti pernikahan wanita hamil karena zina, nasab anak yang dilahirkan dari pernikahan tersebut, dan status talak di luar sidang Pengadilan Agama. Perbedaan ini menimbulkan dampak serius, termasuk ketidakpastian hukum dan konsekuensi hukum yang berbeda antara fiqh dan KHI.

Penyelesaian dualisme antara fiqh dan KHI memerlukan pengkajian kembali serta evaluasi terhadap beberapa pasal kontroversial dalam KHI dengan melibatkan pihak-pihak yang berkompeten di bidang hukum Islam. Saran-saran yang diajukan antara lain melibatkan Kementerian Agama, ormas Islam, Mahkamah Agung, dan proses penyempurnaan KHI. Hal ini bertujuan untuk menciptakan harmonisasi antara fiqh dan KHI serta meminimalisir perbedaan pandangan yang dapat merugikan masyarakat.

Kritik dan Saran

Perlunya evaluasi dan penyempurnaan terhadap Kitab Hukum Islam (KHI) dengan melibatkan berbagai pihak terkait, seperti ulama, ormas Islam, dan Mahkamah Agung. Selain itu, pembahasan juga mencakup pentingnya pembaharuan terkait dengan RUU Hukum Materiil Peradilan Agama (RUU HMPA) yang telah diajukan tetapi belum disidangkan oleh DPR RI, serta usulan penyempurnaan terhadap beberapa rumusan aturan dalam RUU HMPA terkait pernikahan, nasab anak, dan talak. Ini semua bertujuan untuk meminimalisir perbedaan KHI dengan aturan fiqh mazhab yang sudah menjadi norma dalam masyarakat.

Tentang Penulis 

Saiful Millah, M.Ag., dilahirkan di Jakarta pada tanggal 14 Desember 1974. Sejak kecil, orangtuanya sudah sangat memperhatikan pendidikan agama bagi anakanaknya, termasuk penulis sendiri. Tidak heran jika sejak duduk di Sekolah Dasar Pondok Petir 1 di daerah Sawangan/Bojongsari, Depok, penulis pun disekolahkan juga pada sore harinya di Madrasah Ibtidaiyah Assa'adatain, Serua, Bojongsari, Depok sehingga sejak kecil penulis memiliki dasar agama yang cukup. Setelah lulus dari SD/MI, penulis pun melanjutkan pendidikannya di Pondok Pesantren Darunnajah, Ulujami, Jakarta Selatan dari tahun 1987 sampai dengan 1993, dari mulai jenjang Madrasah Tsanawiyah (lulus 1990) sampai Madrasah Aliyah (lulus 1993), kemudian melanjutkan pendidikan Strata 1 di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta, pada Fakultas Syariah, Jurusan Mu'amalat/Jinayah (Perdata/Pidana Islam) dan lulus pada Februari tahun 1999. 

Asep Saepudin Jahar menyelesaikan studi S3 di Institut Oriental dan Kajian Bahasa Arab di Universitas Leipzig, Jerman tahun 2005. Masternya diselesaikan di The Institute of Islamic Studies McGill University, Kanada. SI dalam Hukum Islam diselesaikan tahun 1995 di IAIN (sekarang) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dalam bidang Ilmu Perbandingan Mazhab dan Hukum. Keahliannya dalam bidang Hukum Islam, sementara fokus kajian utamanya, yaitu Filantropi Islam. Ia banyak mendalami kajian dan riset dalam hukum keluarga, zakat, wakaf, dan gerakan ekonomi Islam. Ia sering menjadi pembicara dalam kajian sosiologi hukum Islam dan metodologi penelitian. Sekarang ini menjabat sebagai Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2015-2019.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun