Mohon tunggu...
Rivana Cahyani
Rivana Cahyani Mohon Tunggu... Mahasiswa Administrasi Publik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa

Public Relation | Manajemen SDM | Administrasi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Pemimpin Perempuan Bukan Lagi Tambahan, Melainkan Kebutuhan. Apakah Setara Bukan Berarti Sama?

24 April 2025   09:40 Diperbarui: 24 April 2025   09:37 115
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
 (Sumber: Buku, Kepemimpinan Perempuan di Era Digitalisasi) 

Kita sering mendengar bahwa perempuan bisa menjadi pemimpin. Faktanya banyak perempuan sudah membuktikan kapasitas mereka dalam posisi kepemimpinan. Tapi, mengapa masih ada tembok tidak terlihat yang menghalangi para perempuan mencapai posisi puncak?   

Data dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) tahun 2024 menunjukkan bahwa hanya 24 kepala daerah perempuan dari seluruh wilayah Indonesia. Angka ini setara dengan sekitar 4% dari total daerah. Rendahnya partisipasi ini mencerminkan kenyataan bahwa hanya setengah dari jumlah perempuan usia kerja yang aktif dalam angkatan kerja, dibandingkan dengan sekitar 80% laki-laki. Di tingkat regional, partisipasi perempuan di pasar kerja Asia Timur dan Pasifik mencapai 60%, sedangkan di Indonesia, angka itu stagnan di kisaran 50% selama dua dekade terakhir. Padahal dari sisi pendidikan dan kesehatan, perempuan Indonesia menunjukkan kemajuan pesat, termasuk penurunan angka kelahiran dan kesetaraan gender di sektor pendidikan dasar dan menengah.

Sayangnya, kemajuan itu belum sepenuhnya tercermin di dunia kerja dan kepemimpinan. Laporan Grant Thornton Indonesia tahun 2025, keterwakilan perempuan di posisi manajerial senior justru turun dari 37,4% menjadi 36,3%. Meskipun begitu, ada secercah harapan di sektor keuangan, di mana hampir 59% posisi Chief Financial Officer (CFO) diisi oleh Perempuan. Hal ini sebuah pencapaian yang patut diapresiasikan.

Stereotip sebagai hambatan tak terlihat? 

Namun, tantangan terbesar bukan hanya soal angka. Perempuan pemimpin sering kali menghadapi rintangan yang tak terlihat, seperti stereotip negatif yang menyudutkan mereka sebagai terlalu emosional atau tidak logis dalam pengambilan keputusan. Pandangan ini tidak hanya merendahkan kapasitas mereka, tetapi juga membuat sebagian perempuan di posisi penting hanya dijadikan pelengkap formal untuk memenuhi kuota kesetaraan, tanpa diberi ruang untuk berkontribusi nyata.

Selain stereotip, isu ketimpangan gender juga masih kental. Perempuan sering menerima upah lebih rendah dibanding rekan laki-laki, meskipun memiliki jabatan dan tanggung jawab yang sama. Suara mereka pun kerap dianggap kurang penting, dan mereka masih terbebani peran domestic seolah-olah itu adalah kodrat yang tidak bisa berubah.

Padahal, kepemimpinan perempuan bukan hanya tentang kesetaraan, tetapi juga tentang perubahan yang nyata. Perempuan di posisi kepemimpinan dapat memberikan inovasi kebijakan yang lebih adil dan inklusif, dan memastikan suara perempuan didengar dan diperhitungkan. Lebih dari itu, perempuan tanah air memiliki potensi besar jika diberikan ruang yang layak dan setara. Mereka dapat menjadi penggerak dalam berbagai bidang kehidupan dengan menciptakan masa depan yang lebih baik bagi generasi selanjutnya.

Maka, saya menyetujui sudah saatnya kita melihat kepemimpinan perempuan sebagai kebutuhan mutlak yang tidak bisa ditunda lagi. Mereka hadir dengan pendekatan kepemimpinan yang kolaboratif, berorientasi pada keadilan sosial, dan mampu menjawab tantangan zaman. Baik di sektor publik, swasta, maupun komunitas, pemimpin perempuan bukan lagi sekadar pelengkap, melainkan aktor utama yang membawa harapan bagi masa depan yang lebih adil dan berkelanjutan.

Referensi

Nurmayanti, P., Suryawati, E., Firzal, Y., Ramaiyanti, S., & Maulida, Y. (2021). Model konseptual kepemimpinan, gender, dan diversitas. Jurnal El-Riyasah, 12(1), 1-25.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun