Kopi, Deadline, dan Janji Tuhan
Jam menunjukkan 19.21 malam hari. sebotol kopi Golda ketiga sudah terbuka dari segelnya, menemaniku diatas meja kursi Indomaret terdekat, bersama playlist instrumental yang katanya bisa bikin otak encer. Layar laptop menyala, membuka lembar kosong Word bertuliskan judul tugas: "Analisis Kritis soal Investasi di era Digital." Judulnya keren. Tapi otakku? Masih sibuk mempertanyakan, "Kenapa hidup ini penuh deadline?"
Aku adalah mahasiswa tingkat akhir prodi Bahasa dan Sastra Arab, spesialis menunda dan profesional dalam panik mendadak. Seperti biasa, tugas ini sudah dikasih dua minggu lalu. Tapi jari-jari ini baru mau menyentuh keyboard ketika Google Classroom mengingatkan: "Tugas dikumpulkan maksimal pukul 00.00."
Aku tahu, Tuhan tak akan mengubah nasib suatu kaum kalau kaum itu tidak berusaha. Tapi aku yakin Tuhan juga tahu: kaum mahasiswa memang suka berubah nasibnya di jam-jam terakhir.
Sebelum menulis, tentu saja aku melakukan ritual pemanasan: scroll Instagram. Teman satu jurusan ternyata lagi healing ke puncak. Yang lain? Update story kata-kata hari ini tentang semangat hidup, padahal dia juga belum ngerjain tugas. Solidarity at its finest.
Pukul 20.28 Aku mulai menulis tiga kalimat, lalu mandek. Â
Buka TikTok bentar ah, Ternyata bentarnya 37 menit. Â
Video terakhir yang ku-tonton bilang, "Kamu mampu menyelesaikannya! Jangan takut gagal!"
Aku tutup TikTok, Menatap layar. Â
Masih tiga kalimat.
"Bismillah," kataku lirih. Lalu membuka YouTube.