Undang-Undang Cipta Kerja yang disahkan melalui mekanisme omnibus law menjadi salah satu kebijakan reformasi regulasi terbesar dalam sejarah Indonesia, dengan tujuan utama mendorong investasi, menciptakan lapangan kerja, dan mempercepat pembangunan ekonomi. UU Cipta Kerja merupakan undang-undang sapu jagat yang disahkan pemerintah untuk menyederhanakan, menyinkronkan, dan memangkas regulasi di berbagai sektor, dengan tujuan utama meningkatkan investasi, menciptakan lapangan kerja, dan mempercepat pertumbuhan ekonomi. Undang-undang ini mengubah dan menghapus ketentuan dari puluhan UU sebelumnya melalui mekanisme omnibus law, mencakup bidang ketenagakerjaan, kemudahan berusaha, perpajakan, pengadaan lahan, hingga pengelolaan lingkungan hidup.
Namun, di balik manfaat yang diklaim pemerintah, UU ini menuai kritik tajam, terutama pada klaster lingkungan yang dinilai melemahkan perlindungan ekosistem dan partisipasi publik. Perubahan seperti penghapusan izin lingkungan, pembatasan peran masyarakat, serta pelonggaran sanksi terhadap pelanggaran lingkungan memicu kekhawatiran akan terjadinya degradasi sumber daya alam yang berdampak pada keberlanjutan hidup generasi mendatang. Meski dimaksudkan untuk memperbaiki iklim investasi dan mengurangi hambatan birokrasi, UU ini juga menuai pro dan kontra di masyarakat pendukung menilai UU ini mampu mendorong pertumbuhan ekonomi dan daya saing, sementara pihak yang kritis menilai adanya potensi pelemahan perlindungan pekerja, lingkungan, dan partisipasi publik jika implementasinya tidak diawasi secara ketat.
Hal diatas menjadi masuk akal Ketika pada tahun 2025, Wahli menggugat 13 ketentuan klaster lingkungan dalam UU Cipta Kerja (UU No. 6/2023) ke Mahkamah Konstitusi karena dianggap melemahkan perlindungan lingkungan dan mengancam keberlanjutan masyarakat. Gugatan ini menyoroti perubahan seperti penghapusan izin lingkungan menjadi persetujuan lingkungan, pembatasan partisipasi publik, pengurangan kewenangan Komisi AMDAL, dan pelonggaran sanksi dalam UU No. 32/2009 dan berpotensi mempermudah pelaku usaha merusak lingkungan, mengurangi akuntabilitas pemerintah, serta membuka celah impunitas bagi pelanggaran kehutanan dan eksploitasi sumber daya alam. Menurut Walhi, ketentuan-ketentuan ini berpotensi memberi karpet merah bagi pelaku usaha yang merusak lingkungan, mengurangi akuntabilitas pemerintah, serta membuka celah impunitas bagi pelanggaran kehutanan dan eksploitasi sumber daya alam, sehingga bertentangan dengan prinsip pembangunan berkelanjutan dan hak masyarakat atas lingkungan hidup yang baik.
Dari kasus diatas pandangan objektif dari sisi pemerintah selaku pembuat peraturan UU Cipta Kerja perlu dibuat untuk memangkas tumpang tindih regulasi, menyederhanakan perizinan, dan memperbaiki iklim investasi agar Indonesia lebih kompetitif di tingkat global. Pemerintah menilai aturan sebelumnya terlalu birokratis dan menghambat masuknya modal, sehingga perlu reformasi hukum yang terintegrasi untuk mempercepat proses perizinan usaha, menciptakan lapangan kerja, serta mendorong pertumbuhan ekonomi. Melalui mekanisme omnibus law, pemerintah berharap dapat menarik investor, mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya, dan mempercepat pembangunan infrastruktur serta sektor strategis lainnya secara lebih efisien.
Namun tentunya pada kenyataannya terdapat kekurangan pada peraturan ini dimana Kerugian dari UU Cipta Kerja terkait lingkungan terutama terletak pada melemahnya instrumen perlindungan dan pengawasan. Penyederhanaan "izin lingkungan" menjadi "persetujuan lingkungan" berpotensi mengurangi ketatnya proses penilaian dan membuka celah lolosnya proyek yang berisiko tinggi terhadap ekosistem. Pembatasan partisipasi publik hanya bagi pihak yang terdampak langsung dapat mengecilkan ruang kontrol sosial dan mengabaikan suara komunitas yang terdampak tidak langsung. Selain itu, pengurangan sanksi pidana terhadap pelanggaran lingkungan menjadi hanya sanksi administratif dapat menurunkan efek jera bagi perusahaan yang merusak lingkungan. Secara keseluruhan, perubahan ini berisiko meningkatkan degradasi hutan, pencemaran, dan eksploitasi sumber daya alam tanpa pengendalian yang memadai.
Dari hal positif dan negatif dari topik diatas penulis berpendapat bahwa Solusi terbaik yang bisa menguntungkan pemerintah dan pihak pemerhati lingkungan adalah menerapkan regulasi adaptif yang tetap menyederhanakan proses perizinan untuk mendorong investasi, namun tidak mengurangi standar perlindungan lingkungan. Pemerintah dapat mempertahankan persetujuan lingkungan sebagai mekanisme cepat, tetapi dilengkapi uji kelayakan berbasis risiko dengan pengawasan ketat dan keterlibatan publik yang inklusif, tidak hanya terbatas pada pihak terdampak langsung. Sanksi pidana terhadap pelanggaran serius perlu tetap dipertahankan untuk menjaga efek jera, sementara sanksi administratif dapat digunakan untuk pelanggaran ringan dengan mekanisme perbaikan cepat. Selain itu, pemerintah dan pelaku usaha dapat menggandeng LSM lingkungan, akademisi, dan masyarakat lokal dalam pemantauan proyek secara transparan, sehingga kepastian usaha dan kelestarian lingkungan dapat berjalan beriringan.
Dari kasus penulis berharap bahwa pemerintah harus bisa lebih bijak dalam membuat peraturan agar output dari peraturan tersebut bisa lebih banyak memberikan hal positif bagi negara khususnya dalam jangka panjang. Dalam mewujudkan hal tersebut, salah satu caranya adalah dengan melibatkan masyarakat dan para ahli yang sudah terpercaya dalam proses penyusunan peraturan, agar hasil peraturan yang dibuat bisa optimal dan merupakan hasil kesepakatan bersama yang membawa dampak positif bagi seluruh pihak.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI