Mohon tunggu...
Riva Julianto
Riva Julianto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas

Alumnus FIB dan FH UI, Praktisi Periklanan

Selanjutnya

Tutup

Politik

Politik Dinasti Merenggut Demokrasi: Menghidupkan Etika di Panggung Publik, Politik dan Kenegaraan

25 Oktober 2023   13:56 Diperbarui: 25 Oktober 2023   14:07 87
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Demokrasi adalah pilar utama kehidupan politik dan bernegara yang sehat dan berkeadilan. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, dan yang masih hangat di panggung politik dan kenegaraan tanah air saat ini, kita menyaksikan matinya demokrasi di berbagai sudut kehidupan. Salah satu kunci penyebab kematian demokrasi ini adalah politik dinasti yang menguat, dan hilangnya penghargaan terhadap etika yang berlaku dalam arena publik dan politik. Semua demi untuk mendapatkan kekuasaan dan kepentingan masing-masing. 

Banyak kata-kata bijak dari berbagai tokoh dunia dan nasional telah sejak lama menjadi sumber inspirasi bagi kita semua. Di antara kata-kata bijak tersebut, ada yang dengan lugas memperingatkan tentang bahaya politik dinasti, yang cenderung menggerogoti prinsip-prinsip demokrasi. Salah satu contoh yang relevan adalah kata-kata bijak mantan Presiden Amerika Serikat, Abraham Lincoln: "Demokrasi adalah pemerintahan rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat."

Namun, di berbagai tempat, politik dinasti telah menggantikan pemerintahan yang seharusnya melayani rakyat menjadi alat untuk mempertahankan kekuasaan dalam satu keluarga. Dalih bahwa politik dinasti juga bertujuan untuk melayani rakyat terdengar seolah-olah membenarkannya, yang padahal sejatinya mengaburkan inti dari makna demokrasi. Demikian pula legitimasi dari pemilihan langsung oleh rakyat seakan-akan memberikan legitimasi kepada politik dinasti, yang pada intinya berakar dari popularitas figur tanpa melihat prestasi dan catatan perjalanan seseorang. Hal ini menghancurkan prinsip-prinsip demokrasi yang seharusnya memastikan partisipasi yang merata dan kesetaraan dalam pengambilan keputusan.

Politik dinasti bukan hanya soal masalah internal sebuah negara atau partai politik, tetapi juga mempengaruhi citra negara di mata dunia. Ada pepatah bijak dari Nelson Mandela, salah satu tokoh besar dalam sejarah demokrasi dan penentang Apartheid, yang mengatakan, "Pendidikan adalah senjata paling kuat yang bisa kita gunakan untuk mengubah dunia." Bagaimana kita bisa memberikan pendidikan dan contoh yang baik bagi dunia ketika politik dinasti merajalela?

Selain politik dinasti, hilangnya etika dalam politik dan kehidupan bernegara juga berkontribusi besar terhadap matinya demokrasi. Seharusnya, politik adalah panggung di mana pemimpin memimpin dengan teladan, dengan menghormati prinsip-prinsip moral dan etika yang tinggi. Namun, kita sering kali menyaksikan pemimpin yang mempermainkan etika demi keuntungan pribadi dan politik.

Kata-kata bijak Mahatma Gandhi, tokoh pergerakan kemerdekaan India yang terkenal, menjadi relevan dalam konteks ini: "Kehidupan yang tidak dihiasi dengan etika adalah hampa." Demokrasi yang sehat memerlukan pemimpin yang menghargai etika sebagai panduan dalam mengambil keputusan yang berdampak pada banyak orang.

Dalam konteks Indonesia, kita tidak kekurangan kata-kata bijak yang relevan. Kata-kata bijak dari Najwa Shihab, salah seorang presenter terkemuka yang kritis mungkin bisa menyadarkan kita betapa pentingnya sebuah etika untuk mengerem nafsu berkuasa dan ambisi politik yang abai terhadap etika. Menurutnya "Ambisi politik tentu wajar saja, selama pandai menginsyafi batasan etika." Namun, rupanya kekuasaan bisa membutakan dan menggoyahkan integritas siapa saja, bahkan seorang pemimpin sekalipun. Tanpa etika yang kuat dalam politik, bagaimana kita bisa mempercayakan nasib bangsa ini kepada para pemimpin yang kita pilih?

Jika kita ingin menghidupkan kembali demokrasi yang mati, kita perlu kembali kepada prinsip-prinsip dasar demokrasi: partisipasi yang adil, kesetaraan, dan penghormatan terhadap etika dalam politik dan kehidupan bernegara. Sebagaimana yang dikatakan oleh Thomas Jefferson, salah seorang Bapak Pendiri Amerika Serikat, "Demokrasi membutuhkan pendidikan, dan pendidikan membutuhkan demokrasi." Dengan menerapkan prinsip-prinsip demokrasi dan menghargai etika, kita dapat menghidupkan kembali semangat demokrasi yang sejati, bahkan di tengah badai politik dinasti yang kehilangan etika. Seorang pemimpin akan menjadi negarawan jika ia dapat menunjukkan integritasnya dalam menjunjung tinggi etika di dalam berdemokrasi, termasuk menghindari dan mencegah bertumbuhnya politik dinasti. 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun