Mohon tunggu...
Rivai Muhamad
Rivai Muhamad Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Gemar menulis fiksi, menggambar, melukis, dan membaca. Mahasiswa jurusan seni rupa di Bandung.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Serigala Tak Pernah Menelan Nenek

7 Desember 2010   06:10 Diperbarui: 26 Juni 2015   10:56 118
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Seorang nenek tiduran di atas kasur yang empuk, namun ia gelisah bukan main. Tubuhnya gemetar, tulangnya remuk, dan lidahnya terasa dingin. Ia telah menulis surat pada cucunya bahwa ia sakit, meskipun ia sadar bahwa itu keputusan yang sulit. Berkat surat itu, cucunya akan menjenguknya malam ini. Padahal bulan purnama akan berada di puncak yang paling tinggi.

Dan datanglah sang cucu, membawa sekeranjang kue dan mengenakan kerudung berwarna merah. Sang Nenek berusaha menyambutnya dengan wajar dan ramah. Namun ternyata, apa yang terjadi tak bisa ditutupi lagi. Sang Cucu sedikit demi sedikit mulai bisa menyadari.

“Nek, kenapa matamu menjadi begitu besar?”

Sang Nenek berkeringat dingin, namun mencoba untuk berkelakar.

“Tak apa, cucuku yang cantik. Mata besar ini bisa menatapmu dengan lebih baik.”

Namun tak juga merasa lega, Sang Cucu kembali bertanya.

“Nek, kenapa hidungmu menjadi begitu besar?”

Sang Nenek bingung, tapi berusaha tetap sabar.

“Tak apa, cucuku yang murah senyum. Hidung besar ini untuk membaui kuemu yang harum.”

Sang Cucu tampak tak puas, ia tak ingin berhenti membahas.

“Nek, kenapa mulutmu menjadi besar, dan gigi-gigimu menjadi tajam?”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun