Mohon tunggu...
Matnur Ritonga
Matnur Ritonga Mohon Tunggu... Dosen - Dosen Universitas Darunnajah Jakarta - Mahasiswa Doktoral Universitas Muhammadiyah Jakarta

Matnur Ritonga berasal dari keluarga yang sederhana karena memang Ayah saya Abdul Hasan Ritonga dan Ibu saya Siti Rahma Pane (Almh.) hanya seorang petani, pada awalnya menjadi petani karet, namun ternyata bertani karet tak luput dari musibah kebakaran yang masih marak kala itu sekitar tahun 1980-an di daerah kami di Kabupaten Tapanuli Selatan di Desa Jambu Tonang Kecamatan Ujung Batu Kabupaten Padang Lawas Utara. Kami delapan bersaudara yang masih hidup hingga saat ini, tiga meninggal dunia di masa kecilnya belum sampai usia sekolah, jadi total kami kakak beradik pada awalnya merupakan kesebelasan seperti tim sepakbola. Sejak kecil saya sudah diungsikan ke rumah paman di Desa Bangai Kecamatan Torgamba Kabupaten Labusel untuk bersekolah di kelas 1 SDN Rasau, karena di Desa saya belum ada sekolah sama sekali pada Tahun 1990. Naik ke kelas 2 saya pindah ke Sekolah Dasar PT Aanglo Eastern Plantation (AEP) Tasik Raja di mana jaraknya dari rumah kami sejauh 10 kilo meter, maka selepas sholat subuh saya dan kakak harus sudah berangkat berjalan kaki sejauh 2 kilo meter ke LC Atas, nama Barak Pekerja, sampai di sana kami menumpang truk John Deere (merek truk angkutan di perkebunan dengan ban yang cukup besar) yang mengangkut para pekerja perkebunan kelapa sawit dan juga dipergunakan untuk mengangkut bibit dan buah kelapa sawit. kemudian pada Tahun 1993 barulah ada SD filial dari SDN Jambu Tonang di Desa saya maka sayapun pindah ke SD Filial di Desa saya tersebut kelas 4 hingga kelas 5. Adapun kelas 6 karena harus menghadapi Evaluasi Belajar Tahap Akhis Nasional (EBTANAS) maka saya harus pindah lagi dan berdiam di rumah bibi saya di Desa Huta Raja yang jaraknya 8 KM ke SD Negri Jambu Tonang. Setiap hari bolak balik naik sepeda. Pelaksanaan EBTANAS sendiri saat itu bukan di SDN Jambu Tonang tapi di SDN Ujung Batu Tahun 1996. Setamat pendidikan Sekolah Dasar saya melanjutkan ke MTs Darussalam Simpang Limun Desa Bangai Kec. Torgamba Kab. Labuhan Batu Selatan. Setamat MTs memberanikan diri merantau ke Jawa ikut kakak kelas yang sudah nyantri di Gontor, tanpa diantar Orang Tua mendaftar ke Pondok Modern Darussalam Gontor masuk awal Tahun 1999 selesai Tahun 2003. Pengalaman pertama merantau jauh dari kedua Orang Tua, banyak yang sangat asing bagi saya diantaranya makanannya, budayanya dan juga tingkat pendidikan di Jawa yang lebih tinggi daripada pendidikan di Sumatera. Namun dengan ketekunan saya mampu menuntaskan pendidikan selama empat tahun di Gontor tidak sekalipun dijenguk oleh kedua Orang Tua. Pengembaraan selanjutnya ialah saat mendapat tugas dari Kiai Abdullah Syukri Zarkasi, Kiai Hasan Abdullah Sahal dan Direktur KMI Pondok Modern Darussalam Gontor yaitu melaksanakan pengabdian di Pondok Pesantren Ulul Albab Palas Rumbai Pekanbaru Riau Tahun 2004. Di mana kami, khususnya saya benar-benar diuji; kemampuan, kapasitas, dan kapabilitasnya karena selama satu tahun mengabdi kami diberi amanat yang tidak sedikit mulai dari menjadi pembimbing santri di asrama, menjadi wali kelas dua Sekolah Menengah Pertama (SMP), juga menjadi penggerak bahasa di pondok. Pengabdian tersebut merupakan pengalaman hidup yang teramat berharga bagi saya. Setelah menyelesaikan pengabdian di Pones Ulul Albab Riau saya melanjutkan pendidikan Strata 1 di Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Darunnajah Jakarta, sembari mengajar di Pondok Pesantren Darunnajah Jakarta. Karena prinsip yang ditanamkan oleh Kiai dan para Guru kepada kami ialah sebaik-baik belajar ialah dengan mengajar-khairu atta’allumi atta’limu. Alhamdulillah saya mulai kuliah Tahun 2005 selesai tepat waktu Tahun 2009. Setelah sarjana Tahun 2009 saya diajak oleh Kiai Hadiyanto Arief dan ditugaskan untuk ikut andil mengembangkan Pondok Pesantren Annur Darunnajah 8 di Desa Cidokom Kec. Gunungsindur Kab. Bogor Jawa Barat yang saat itu baru berupa tanah wakaf kurang lebih seluas 5 hektar dengan beberapa bangunan dan tiga santri mukim, di mana saat ini santrinya sudah mencapai 1200 an. Pada saat berjuang mengembangkan lembaga pendidikan ini pula saya menemukan tambatan hati saya, akhirnya saya menikah dengannya di Tahun 2010 silam; Hakim Ratih Luftikasari yang saat itu baru selesai menjadi guru pengabdian. Jadi setelah menikah dia baru berkuliah di Universitas Muhammadiyah Jakarta Tahun 2010 hingga 2013. Selesai tepat waktu dan menjadi wisudawati terbaik di Fakultas Agama Islam UMJ. Setelah saya merampungkan kuliah Strata 2 di Universitas Ibn Khaldun Bogor atas beasiswa Yayasan Darunnajah Tahun 2017 hingga 2019, istri saya pun saat ini sedang menempuh Strata 2 di almamaternya yaitu UMJ semester III jurusan Teknologi Pendidikan. Pada Tahun 2023 ini saya coba untuk melanjutkan studi ke jenjang Strata tiga (S3) di Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Islam Nusantara

6 Agustus 2018   21:19 Diperbarui: 6 Agustus 2018   21:27 445
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Islam Nusantara yang kaya akan warisan Islam (Islam Legacy) menjadi harapan renaisans peradaban Islam global." Penulis buku Islam Nusantara (2002) ini juga mengatakan bahwa cara pandang normative dan idealistis atas Islam itu sebagai tidak historis.

Sedangkan Habib Luthfi bin Yahya yang juga Rasi Aam Jatman mengibaratkan Islam Nusantara seperti cara masyarakat di berbagai penjuru dunia menikmati makanan dengan berbagai alat masing-masing yang menunjukkan perbedaan budaya. Lanjut beliau bahwa Islam Nusantara adalah sebuah spirit penghargaan terhadap tradisi local yang tidak dipertentangkan dengan nilai-nilai agama.

Perumpamaan lain tentang konsep Islam Nusantara juga pernah disampaikan oleh Nadirsyah Hosen. Ia member contoh Islam seperti perusahaan makanan dari Amerika yang memiliki cirri khas menjual ayam goreng, namun disetiap Negara cara menikmatinya berbeda, ada yang menikmati dengan nasi, ada yang menikmati bersama kentang, dan sebagainya.

Seorang Peneliti dari Universitas Victoria, Faried F Saeong, mengatakan "Perlu Etnograf. Perlu masuk ke NU dulu untuk melihat praktik itu baru kemudian Anda kritik kalau mau. Kalau yang dipakai definisinya NU, mau mengritik NU silakan. Berarti dia paham." pungkasnya. 

Mengutip perkataan KH Ali Musthafa Ya'kub, Ust. Abdul Somad menjelaskan Islam Nusantara adalah Islam yang ada di Nusantara, maksudnya Asia Tenggara, Islam yang dibawa dari Arab, semuanya pakai sorban, pakai jenggot, demikian Syaikh Achmad Dahlan dan Syaikh Hasyim Asy'ari. Intinya Islam itu Agama, dan Nusantara itu Budya.

Sedangkan Habib Taufiq Assegaf Pasuruan, mengatakan dengan lantang bahwa Islam Nusantara itu mengakibatkan paham yang menjurus kearah Fasadul  Qabilah wa Ta'assub Qabilah (fanatik kesukuan). Islam itu Dunia-Akhirat satu. Beliau juga mengutip Ayat Al-Qur'an yang berkenaan dengan Hamiyyatal Jahiliyah. Hati-hati, kita disatukan oleh Islam dan dengan Iman. Habib Rizieq Shihab memaparkan bahwa Penganut paham Liberal ganti nama Islam Inklusif, ditolak, ganti nama Islam Multikulturalisme, tlagi-lagi tidak laku, maka saat ini muncul Islam Nusantara.


Mereka mau masuk lewat budaya, mereka bungkus dengan budaya, Islamnya kita terima, Arabnya buang. Jilbab itu budaya Arab, Assalamu'alaikum diganti dengan Salam Sejahtera, selesai! Termasuk baca al-Qur'an, ngapain pakai langgam Arab? Kita punya banyak langgam, langgam jawa, sunda, Batak, Dst. Mereka bilang Islam itu pendatang, maka harus tunduk kepada adat istiadat, harus diindonesiakan. HRS memberi nama Islam Nusantara dengan Jama'ah Islam Nusantara (JIN).

Cak Nun ketika ditanya soal Islam nusantara dan Syi'ah, beliau malah menyuruh yang bertanya mencari tahu apa latar belakang dari Islam Nusantara itu? Apa hubungannya dengan Muktamar Jombang, hubungannya dengan beasiswa Iran, hubungannya dengan Mesir yang dihancurkan Arab Spring. Pelaku nya tidak hebat-hebat amat yang didalam Negri. Buya Yahya menjelaskan bahwa Islam Nusantara adalah istilah, maka tergantung siapa yang menjelaskannya.

Kalau Islam Nusantara kembali kepada Islam yang dibawa Salafus Salih yaitu rahmah, lembut, maka itu baik, sebagaimana yang dianut oleh Wali Songo. Dakwah Wali Songo lemah lembut, sehingga mampu menikahi anak-anak  raja. Islam Nusantara ini digaungkan untuk mengkounter paham yang gampang membid'ahkan. Tetapi kalau yang digaungkan oleh anak-anak muda liberal sekarang ya salah kaprah.

KH Maimun Zubair dalam pengajian beliau memaparkan, Ummat Islam di Indonesia jangan karena golongan, tapi harus bersatu, yaitu Islam Nusantara; bedo tapi podo, podo tapi bedo. Penceramah Mamah dedeh dalam video kontroversinya menyinggung jangan hanya baca Surat Yasin! Berapa kali khatam dalam sebulan?

Jangan hanya bangga mengaji Yasin. Harus dirobah. Dalam video lainnya juga dikatakan bahwa Islam adalah rahmatan lil'alamin, yang ama Islam mencakup semuanya. Maka tidak ada Islam Nusantara. Akan tetapi dalam ceramah live di televise Ia kemudian meralat ucapannya sebelumnya. Entah atas dasar aap Ia meralatnya. Dan Ustadz Abdul Somad pun sudah mengomentari ceramah mamah dedeh tersebut dengan penjelasan panjang lebar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun