Ada hal yang lebih menyakitkan daripada ditolak: tidak tahu apa-apa.
Begitulah kira-kira perasaan banyak pencari kerja hari ini. Setelah melamar ke banyak tempat, mengikuti tes ini itu, bahkan sampai tahap wawancara, yang mereka dapatkan justru... keheningan. Tidak ada email. Tidak ada pesan. Tidak ada kabar. Hanya asumsi yang menggerogoti rasa percaya diri hari demi hari. Mereka di-ghosting.
Fenomena ghosting bukan lagi hal baru dalam dunia kerja. Sudah lama kandidat mengalami "ditelan bumi" oleh proses rekrutmen. Tapi entah kenapa, sampai sekarang pun praktik ini tetap dianggap wajar. Bahkan seolah menjadi bagian dari SOP tak tertulis: "Jika tidak diterima, ya biarkan saja. Nanti juga hilang sendiri." Padahal, ini bukan soal diterima atau tidak. Ini soal manusia memperlakukan manusia lain dengan rasa hormat.
Bukan Tentang Penolakan, Tapi Ketidakjelasan
Kandidat yang mencari kerja bukan hanya sekadar mencari penghasilan. Mereka sedang mempertaruhkan harga diri, rasa percaya diri, dan kadang bahkan kondisi mentalnya. Setiap melamar kerja, mereka menaruh harapan, dan setiap tidak mendapatkan kabar, harapan itu perlahan runtuh. Tapi jika ada HRD yang hanya berkata, "Maaf, Anda belum lolos," mereka akan tetap menghormati keputusan itu.
Karena pada dasarnya, yang dibutuhkan hanyalah kepastian. Penolakan yang jelas lebih menyembuhkan daripada harapan yang digantung di udara.
Ghosting adalah Bentuk Kekerasan Psikologis Mikro
Terdengar berlebihan? Coba bayangkan ini: kamu sudah interview dua kali, ditanya soal gaji, soal ketersediaan mulai kerja, dan kamu merasa performamu cukup baik. Kamu menunggu kabar selama seminggu, dua minggu, lalu sebulan. Kamu mulai mempertanyakan dirimu sendiri. Apa salahmu? Apa kekuranganmu? Kenapa kamu tidak cukup baik?
Dalam dunia psikologi kerja, ini bisa memicu overthinking akut, kehilangan motivasi, bahkan stres jangka panjang. Kandidat yang di-ghosting berulang kali bisa merasa tidak layak, tidak punya arah, dan akhirnya menyerah. Ghosting bukan cuma buruk untuk mereka secara profesional, tapi juga mental.
Buat Apa Employer Branding Kalau Komunikasi Saja Gagal?
Banyak perusahaan besar bangga dengan employer branding-nya. Mereka membuat konten LinkedIn inspiratif, mengadakan webinar pengembangan karier, bahkan memberi kesan bahwa mereka peduli pada talent pool. Tapi saat proses seleksi berlangsung, satu hal paling dasar justru diabaikan: komunikasi.
Apa gunanya branding sebagai "tempat kerja impian" kalau kenyataannya proses rekrutmennya dingin dan tanpa empati?
Kandidat yang merasa dihargai, bahkan saat ditolak, akan tetap membawa citra baik perusahaan. Mereka bisa jadi konsumen, bisa jadi karyawan di masa depan, bahkan bisa merekomendasikan orang lain. Tapi jika kesannya adalah: "Oh, di sana HRD-nya ghosting," maka branding sehebat apa pun tak akan cukup menutupinya.