Dalam paradigma ekonomi dengan menggunakan model Doughnut Economy yang telah diperkenalkan oleh Kate Raworth, senior Associate di Cambridge Institute For Sustainbility pada tahu 2012 memberikan penawaran pada sebuah pendekatan revolusioner yang menentang paradigma ekonomi konvensional. Model ini menggabungkan pendekatan antara pertumbuhan ekonomi, keadilan sosial, serta kelestarian lingkungan, dan sumber daya alam. Dan disisilain model ini juga dapat dilihat sebagai solusi untuk masalah global seperti kemiskinan, dan perubahan iklim, karena hal tersebut dapat dinilai mampu mendorong kebijakan yang lebih adil dan berkelanjutan dalam jangka panjang. Pendekatan ini mampu memberikan peta jalan yang jelas menuju keberlanjutan jangka panjang, dengan mengadopsi kebijakan yang mendukung regenerasi sumber daya alam dan redistribusi kekayaan, dapat menciptakan sebuah sistem ekonomi yang lebih tangguh dan inklusif. Tidak hanya itu saja melainkan doughnut economy juda mendorong inovasi pada sektor bisnis, mendorong perusahaan untuk bergerak menuju model bisnis yang lebih berkelanjutan dan bertanggung jawab secara sosial. Jika hal ini dilakukan dampaknya dapat memeberikan sebuah peluang baru bagi pertumbuhan ekonomi yang tidak lagi bergantung pada eksploitasi sumber daya alam yang berlebihan.
Dengan tantangan global seperti krisis iklim dan ketidak setaraan yang semakin meningkat model ini menawarkan sebuah kerangka kerja yang tidak hanya relevan namun juga mendesak dan memberikan pemikiran dan bertindak dengan keberanian yang dimana sebuah ekonomi yang adil dan berkelanjutan bukanlah pilihan, namun sebuah keharusan.
Pada sektor ekonomi memiliki peran penting dalam mengatasi dan mencegah dampak lanjutan dari krisis iklim. Aktivitas ekonomi yang lebih ramah lingkungan dapat menjadi sebuah jawaban dalam permasalahan bencana hidrometeorologi yang ditimbulkan akibat krisis iklim yang terjadi sekarang. Aktivitas pada industri ekstrakrif yang lebih berfokus pada pengambilan sumber daya alam secara berlebihan kerap dikatakan sebagai penggerak ekonomi yang memberikan banyak keuntungan dibanyak pihak. Namun dengan adanya industri seperti ini seperti pertambangan atau perkebunan monokultur memberi dampak yang kompleks dalam faktor lingkungan di wilayah sekitarnya. Aktivitas ekstraktif terseb8ut juga belum bisa menjawab masalah pada ketimpangan antara wilayah kota dan perdesaan, dikarenakan 70 persen uang hasil industri tersebut kembali ke para pemilik modal. Dalam Riset Greenpeace Indonesia dan Center Of Economics and Law Studies (CELIOS) menunjukkan bahwa transisi pada ekonomi hijau dapat mengurangi ketimpangan ekonomi dalam waktu kurang lebih 10 tahun penerapannya. Dalam peralihan ini pula dapat menyerap 19,4 juta tenaga kerja disektor green jobs, dapat meningkatkan pendapatan negar hingga tiga kali lipat.
Tujuan utama diterapkannya Doughnut Economy di Indonesia agar dapat menciptakan keseimbangan antara pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat(kesejahteraan sosial) dan pelestarian lingkungan hidup, sehingga pada pembangunan ekonomi tidak lagi berfokus hanya pada pertumbuhan PDB saja melainkan juga memastikan keberlanjutan bagi generasi sekarang dan mendatang.
Pada model ini terdapat lingkaran pertama dibagian dalam yang menunjukkan berbagai sumber daya serta elemen yang bermanfaat bagi kehidupan dan kebaikan untuk isi bumi, terdapat makanan, air bersih, energi, terdapat pula sanitasi, tempat tinggal, pelayanan kesehatan, pendidikan dan sarana demokrasi. Pada lingkaran kedua diartikan keterbatasan alami yang ada didalam bumi, yang akan melemahkan daya dukung bumi bagi kehidupan serta menimbulkan berbagai akibat dan dampak misalnya polusi air, polusi darat, penipisan ozon, pemanasan global, perubahan iklim dan punahnya berbagai macam spesies serta kerusakan lingkungan dan gangguan lainnya. Dan bagian ketiga yang disebut "ruang aman" bagi ekologi dan sosial. Di dalam ruang aman tersebut menjadikan kehidupan terus berjalan baik dimana ekonomi bergerak, situasi ekologi terjaga serta kondisi sosial berkeadilan dan inklusif bagi semua.
 Apakah sudah ada praktik Doughnut Economy di Indonesia dalam perhutanan sosial?
Perhutanan sosial merupakan sebuah sistem dalam pengelolaan hutan lestari yang bisa dilaksanakan dalam kawasan hutan milik negara, hutan hak maupun hutan adat. Tujuan dalam perhutanan sosial agar dapat meningkatkan kesejahteraan pada masyarakat, terutama bagi mereka yang langsung mengelola lahan hutan dengan tidak mengabaikan keseimbangan lingkungan dan dinamika sosial budaya diwilayahnya. Perhutanan sosial berpijak pada tiga pilar yaitu ekologi, sosial- budaya, dan ekonomi. pada awal 2000-an, departermen kehutanan membentuk direktorat jenderal rehabilitasi lahan dan perhutanan sosial (RLPS). Di tahun 2015 kebijakan perhutanan sosial semakin mendapatkan pengakuan dan dukungan oleh pemerintah terutama setelah kementrian lingkungan hidup dan kehutanan (KLHK) membentuk direktorat jenderal perhutanan sosial dan kemitraan lingkungan (PSKL). Â Terdapat beberapa hutan lokal diantaranya hutan karang kitri di jawa tengah dan jawa timur, talun dijawa barat, tembawang di kalimantan barat, dimpunk di kalimantan timur, bahuma di kalimantan tengah, baumo di jambi, bengkulu di sumatera selatan, repong dilampung, hutan kemenyan di sumatera utara, parak disumatera barat, dan kobong di maluku utara.
Dari alokasinya yang sekitar 12,7 juta hektar, lebih dari 5 juta hektar kawasan hutan negara telah dikelola oleh kelompok dan masyarakat yang ada pada wilayah tersebut. Juga telah lebih dari 1 juta keluarga telah memanfaatkan kawasan hutan melalui lima skema perhutanan sosial (hutan desa, hutan kemasyarakatan, hutan tanaman rakyat, kemitraan, dan hutan adat).
Perhutani sosial telah memberikan bukti bahwa praktik mengelola hutan oleh masyarakat yang memiliki tiga pilar kelestarian yaitu lingkungan, sosial-budaya, dan ekonomi. dengan mengelola hutan permasalahan sosial dar perambahan otomatis mereda, Dengan mengelola hutan penduduk sekitar wilayah tersebut mendapatkan peluang ekonomi, dengan mengelola hutan menggunakan teknik agroforesti lahan kritis menjadi hijau kembali.
Dari pelaksanaan yang telah dipaparkan diatas sekarang hanya dapat melanjutkan mengembangkan dan menguatkan perhutanan sosial agar program ini menjadi model ekonomi berkelanjutan dan berkeadilan seperti pada model teori Doughnut Economy.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI