Mohon tunggu...
risma zainab
risma zainab Mohon Tunggu... Mahasiswa Universitas Airlangga

just do it

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Membangun Budaya K3 melalui Komunikasi dalam Layanan Kesehatan

24 September 2025   14:47 Diperbarui: 24 September 2025   14:16 26
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: https://pinterest.com

Menjadi tenaga kesehatan bukanlah suatu hal yang mudah. Tenaga kesehatan merupakan individu yang berperan dalam memberikan perawatan dan layanan kepada orang yang sakit atau mengalami gangguan kesehatan, baik secara langsung seperti dokter dan perawat, maupun tidak langsung seperti asisten, teknisi laboratorium, atau bahkan pengelola limbah medis. Tenaga kesehatan seringkali memiliki risiko yang tinggi terhadap penyakit dan kecelakaan kerja. Hal ini lantaran tenaga kesehatan berhadapan langsung dengan potensi kesalahan medis yang dapat membahayakan pasien dan dirinya sendiri. Maka dari itu, Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) sangat penting untuk diterapkan di fasilitas kesehatan.

Keberhasilan K3 tidak hanya ditentukan dari ketersediaan alat pelindung diri atau prosedur kerja yang tepat. Namun, komunikasi yang efektif juga berperan penting untuk menurunkan angka kecelakaan kerja hingga tercapainya zero accident. Komunikasi berperan untuk memastikan setiap informasi dapat tersampaikan dengan jelas dan akurat. Tanpa adanya komunikasi yang baik, instruksi kerja dapat disalahpahami, koordinasi tim terhambat, dan potensi kesalahan medis semakin besar. Sebaliknya, komunikasi terarah akan memperkuat kerja sama antar tenaga kesehatan dan membangun kepercayaan pasien terhadap layanan yang diberikan.

Komunikasi dalam pelayanan kesehatan

Dalam konteks pelayanan kesehatan, komunikasi terbagi menjadi dua, yaitu komunikasi efektif dan komunikasi terapeutik. Komunikasi efektif bertujuan untuk memfasilitasi pemahaman pesan yang disampaikan oleh pengirim kepada penerima sehingga dapat memberikan umpan balik yang seimbang. Komunikasi dibutuhkan di dunia kesehatan dalam meningkatkan pelayanan guna membentuk citra dan reputasi. Dalam praktiknya, berkomunikasi tidak sebatas interaksi antar tenaga kesehatan saja, tetapi juga dengan pasien dan keluarga pasien. Dengan adanya komunikasi yang efektif, lingkungan kerja yang sehat akan tercipta.

Komunikasi terapeutik dapat diartikan sebagai komunikasi pasien dengan tenaga kesehatan menggunakan metode verbal dan non-verbal. Komunikasi terapeutik bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan pasien melalui pendekatan empati. Ada beberapa hal yang harus dipahami, seperti nada bicara, tata bahasa, ekspresi wajah, dan pesan yang disampaikan harus disesuaikan karena komunikasi tidak sekadar berbicara dan menyampaikan pesan. Sejatinya, komunikasi efektif dan komunikasi terapeutik berkaitan erat di pelayanan kesehatan. Komunikasi dapat menghasilkan output yang diharapkan dan berjalan dengan baik ketika tenaga kesehatan memahami dan menguasai komunikasi terapeutik. Komunikasi terapeutik sangat penting guna memberikan afeksi yang dapat memotivasi pasien untuk sembuh.

Metode komunikasi SBAR

Salah satu cara yang mendukung hal ini adalah penerapan metode SBAR (Situation-Background-Assessment-Recommendation), yaitu metode komunikasi terstruktur yang dirancang untuk menyampaikan informasi secara efektif sehingga mengurangi kesalahan yang disebabkan oleh komunikasi. Strategi komunikasi ini dirancang untuk meningkatkan komunikasi antara petugas kesehatan dalam situasi klinis, seperti dari perawat ke dokter, dari dokter ke dokter, dari mahasiswa perawat ke perawat senior, dll. (Sheehan et al., 2021). Metode ini dibuat untuk menyampaikan kekhawatiran mengenai kondisi pasien secara ringkas dan jelas, baik terkait hasil pemeriksaan maupun rekomendasi terapi atau intervensi. Intinya, metode ini berfungsi sebagai sarana komunikasi yang jelas, efektif, dan efisien. SBAR merupakan singkatan dari:

  1. S (Situation): Situasi, memberikan gambaran singkat atau inti masalah mengenai kondisi pasien.

  2. B (Background: Latar belakang, meliputi riwayat penyakit, alergi, tanda-tanda vital, atau data yang mendukung kondisi pasien saat ini.

  3. A (Assessment): Penilaian, memuat hasil analisis pasien dan kemungkinan masalah yang muncul.

  4. R (Recommendation): Rekomendasi, usulan tindakan yang perlu dilakukan, baik berupa intervensi segera maupun rencana tindak lanjut.

Pentingnya edukasi SBAR
Komunikasi juga terintegrasi dengan budaya K3 melalui edukasi pasien dan keluarga. Tenaga kesehatan perlu menjelaskan informasi tentang diagnosis, rencana perawatan, dan prognosis dengan bahasa sederhana kepada keluarga pasien agar keluarga dapat memahami kondisi pasien dan tidak salah dalam mengambil keputusan. Pemahaman yang baik dari keluarga akan mendorong kepatuhan terhadap aturan K3 yang berlaku di fasilitas kesehatan. Peran aktif keluarga juga diperlukan untuk menjaga kesehatan serta keselamatan bersama. Apabila keluarga pasien tidak mematuhi aturan K3, besar kemungkinan menjadi sumber penularan infeksi baik bagi pasien, keluarga pasien lain, maupun tenaga kesehatan.

Komunikasi sebagai fondasi K3

Komunikasi efektif dan komunikasi terapeutik dapat menjadi fondasi budaya K3 di lingkungan fasilitas kesehatan. The Joint Commission on Accreditation of Healthcare Organizations menyebutkan bahwa komunikasi yang buruk adalah faktor penyebab lebih dari 60% dari semua kejadian buruk di rumah sakit yang telah ditinjau. Data tersebut menunjukkan bahwa kualitas komunikasi memiliki peran yang sangat krusial dalam menjamin keselamatan pasien maupun tenaga kesehatan. Komunikasi efektif dapat menyampaikan informasi klinis dengan akurat sehingga ini meminimalkan risiko kesalahan, sedangkan komunikasi terapeutik dapat memberikan hasil positif termasuk penurunan kecemasan, rasa bersalah, rasa sakit, dan gejala penyakit yang dapat memengaruhi kesembuhan. Selain itu, tenaga kesehatan yang telah membangun komunikasi efektif dan terapeutik dapat meningkatkan kepuasan pasien, penerimaan, dan kepatuhan. Hal ini akan sangat membantu mengurangi risiko terjadinya kecelakaan kerja di lingkungan fasilitas kesehatan.

Dalam membangun budaya K3, komunikasi efektif bertujuan untuk mencegah kesalahan teknis, seperti kesalahan diagnosis, kesalahan pengobatan, dan kesalahan prosedur medis dengan menyampaikan informasi yang jelas. Komunikasi efektif tidak hanya ditekankan pada lingkup tenaga kesehatan, tetapi juga melibatkan pasien. Di sisi lain, komunikasi terapeutik bertujuan untuk membangun kepercayaan dan rasa aman bagi pasien serta keluarganya. Komunikasi ini akan membantu keluarga pasien memahami pentingnya aturan K3 di fasilitas kesehatan. Pendekatan empati membantu pasien memperbaiki kondisi emosionalnya sehingga dapat memberikan sugesti positif bahwa kesembuhan bukan suatu hal yang mustahil. Kolaborasi antara komunikasi efektif dan komunikasi terapeutik akan menghasilkan budaya K3 di fasilitas kesehatan yang kuat, menciptakan lingkungan pelayanan yang aman, nyaman, dan berkualitas.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun