Resume jurnalÂ
Diskursus penyatuatapan peradilan agama dibawah mahkamah agungÂ
Permasalahan satu atap dalam duduk perkara independensi kekuasaan kehakiman (kekuasaan yudikatif). Ajaran (Montesquieu) pada dasarnya berintikan independensi masing-masing indera kelengkapan Negara (legislative, eksekutif, serta yudikatif). Montesquieu beropini bahwa setiap percampuran (di satu tangan) antara legislative, eksekutif, serta yudikatif (seluruh atau dua pada antara 3), dipastikan akan menyebabkan kekuasaan atau pemerintahan yang sewenang-wenang. buat mencegah kesewenang-wenangan, badan (alat kelengkapan) organisasi Negara wajib dipisahkan satu sama lain
sebenarnya penerapan peradilan satu atap di Indonesia, dimaksudkan buat membuahkan sistem hukum menjadi subjek reformasi.
Hal ini berdasarkan di hipotesis bahwa, hukum menjadi sarana pengintegrasi, yang didayagunakan menjadi indera buat mempercepat evolusi (accelerated evolution vehicle) berupa transisi dari tertib aturan yg bernuansa refresif dan otoriter kearah kehidupan warga yang demokratis-responsif
peradilan agama sebagai sistem peradilan yg diakui sebagai sistem peradilan nasional di Indonesia berada pada sistem kekuasaan pemerintahan pada sektor kekuasaan yudikatif atau kehakiman yang eksistensinya Bila dilihat sebagaimana ketentuan Pasal dua Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat angka III/MPR/2000 tentang sumber aturan serta tata Urutan Peraturan Perundang- undangan
Peradilan agama, keberadaannya telah terdapat jauh sebelum kemerdekaan Negara Republik Indonesia. ia sudah mengalami pasang surut baik dari segi penamaan, status serta kedudukan, maupun kewenangannya. sampai pada masa Orde Baru, peradilan agama belum sebagai peradilan yang mandiri.
Selain masih berada di bawah bayang-bayang kekuatan eksekutif, yakni Departemen agama (Kementerian agama), belum mampu secara eksklusif menetapkan kasus (incrach) melainkan harus menerima putusan peradilan umum (executoir for claring) untuk perkara-perkara eksklusif
Peradilan agama memiliki keterbatasan yang sudah seharusnya dimiliki lembaga peradilan. syarat yang sangat sulit bagi lembaga Peradilan agama buat memfungsikan diri menjadi forum kekuasaan kehakiman yg berdikari serta otonom sejajar menggunakan lingkungan peradilan lain, sebagai akibatnya tuntutan terhadap penyatuatapan adalah suatu keharusan. artinya bisa merespon banyak sekali kebutuhan-kebutuhan yg terkait menggunakan kepentingan forum Peradilan agama. Â
Proses penerapan peradilan satu atap pada Indonesia, dimaksudkan buat membuahkan sistem hukum menjadi subjek reformasi (variable independen). Hal ini berdasarkan di hipotesis bahwa hukum menjadi sarana pengintegrasi, yang didayagunakan menjadi indera buat meningkatkan kecepatan evolusi (accelerated evolution vehicle) berupa tansisi dari tertib hukum yg bernuansa represif serta otoriterÂ
UU No.14 Tahun 1970 tersebut menganut sistem 2 atap (double roof system). ialah masuknya pihak eksekutif pada kekuasaan kehakiman disinyalir sebagai salah satu sebab mengapa kekuasaan pada negeri ini tdk independen. sebab itu, kompleksitas perseteruan di seputar sektor peradilan di awal reformasi ialah berkaitan menggunakan format yuridis formal pemisahan yg tegas antara fungsi yudikatif serta eksekutif