Mohon tunggu...
Risma Indah L
Risma Indah L Mohon Tunggu... Guru - Pendidik dan penikmat hobi

Menulis mencoba menginspirasi Mendidik mencoba memberdayakan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Orangtua, Sudahkah Anda Memenuhi Hak-hak Anak Anda?

12 Desember 2019   12:22 Diperbarui: 13 Desember 2019   01:55 542
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi remaja (Foto: Huffingtonpost)

Saya cukup dipusingkan dengan perilaku seorang siswa, sebut saja namanya Maulana. Jumah angka ketidakhadirannya cukup fantastis. Usut punya usut ternyata Maulana sering memberikan surat keterangan palsu yang ditulis dan ditanda tanganinya sendiri. 

Surat tersebut diakuinya sebagai surat izin yang dibuat oleh orangtuanya. Isinya menerangkan bahwa pada hari tertentu ia tidak masuk karena sakit atau ada acara keluarga. Lebih memperihatinkan lagi, ia juga "merekayasa" surat keterangan dokter dengan mengganti tanggal yang tertera di surat dengan tulisan tanganya sendiri.

Kecurigaan yang berawal dari surat keterangan dokter tersebut, lalu mendorong saya untuk menghubungi kembali orangtuanya. Kali ini Ibunya menyempatkan waktu untuk menemui saya dan berkenan membuka sebuah cerita. 

Setelah saya memperlihatkan lembarat surat izin palsu dan surat dokter hasil rekayasa anaknya, ibunya pun terkejut dan mulai menceritakan bahwa Maulana mendaftar di SMK tersebut bukan sama sekali keinginannya, semua itu karena paksaan dari ayahnya. Begitupun soal jurusan yang dipilihnya, semua adalah pilihan ayahnya. 

Sebenarnya Maulana sejak lulus SMP lebih ingin melajutkan ke SMA. Tetapi karena menuruti keinginan sang ayah, ia pun tak kuasa menolak. Sang Ibu pun tak mampu berbicara banyak. 

Penuturan sang Ibu memberi jawaban atas naik turunnya prestasi belajar Maulana selama 2 tahun lebih di sekolah kami. Di kelas XI, saya sudah dua kali mengundangnya untuk bimbingan konseling. Maulana sama sekali menutup cerita soal paksaan ayahnya. Ia hanya mengatakan terkadang ia merasa malas dan ingin memperbaiki diri. 

Setelah konseling, biasanya ia akan membaik, tetapi sebenarnya ia hanya mencoba menghibur diri. Untung saja teman sekelas dirasa sangat cocok dan bersahabat. 

Selama ini ia bertahan karena teman-temannya yang mencegahnya untuk tidak pindah. "Kita bersama-sama sampai lulus". Itu kata mereka. Tetapi kenyataan membuktikan bahwa motivasi ekstrinsik tidak bertahan lama. 

Di awal kelas XII, keadaan semakin memburuk. Cukup banyak waktu yang telah ia habiskan untuk bergulat dengan dirinya sendiri dan hal-hal yang sebenarnya bukan menjadi keinginannya. 

Selain Maulana, saya pun menemukan beberapa permasalahan sama yang dialami beberapa murid di luar sana. Menjalani keputusan yang bukan pilihannya sendiri, tetapi tidak mampu menolak. Meskipun saya menawarkan bantuan untuk memberikan layanan mediasi dengan orangtua, beberapa di antaranya lebih berusaha"menerima" keadaan . 

"Biarlah saya jalani bu. Karena ibu saya orangnya sangat keras". Sebagian juga menyadari kalau keadaan ekonomi seakan mengharuskan mereka memilih bersekolah di SMK. Supaya segera bekerja seperti keinginan orangtua. 

Kenyataannya tidak banyak juga yang tetap bertahan. Sebagian memutuskan mundur di pertengahan jalan dan memilih menjalani passion-nya sendiri, meski terpaksa menentang orangtua. 

Dalam beberapa keluarga, anak remaja rentang usia 15-16 tahun (lulusan SMP) nampaknya belum memegang kendali penuh akan penentuan masa depan, khususnya soal pilihan studi. 

Mereka dianggap masih bergantung dalam banyak hal dan orangtua merasa berhak untuk menentukan segala-galanya untuk anak mereka. Bahkan Soal pilihan sekolah hingga jurusan yang harus ditekuninya, orangtua yang memilih tanpa mempedulikan minat sang anak. 

Alasannya klise, takut salah pilih dan gagal di masa depan. Atau uniknya lagi jika orangtua ingin mengobati keinginannya yang tidak tercapai di masa lalu dan mencoba menjadikan anaknya sebagai representasi keinginannya tersebut.

Sebenarnya, apa saja hak asasi anak atau remaja (yang menurut Undang-Undang Perlindungan Anak di negara ini sebelum berusia 18 tahun masih masuk dalam kategori anak)?

Kebebasan anak dalam memperoleh pendidikan dan pengajaran sesuai tingkat kecerdasan, minat, dan bakatnya dijamin oleh Undang-Undang. Dalam hal ini tentunya orangtua wajib menjamin, melindungi, dan memenuhi hak-hak tersebut. 

Bentuk yang dapat diberikan orangtua adalah memfasilitasi dan mengarahkan (baca : bukan memaksakan). Sehingga sebenarnya dengan alasan apapun selain keselamatan dan keamanan anak, perilaku orangtua yang menentukan pilihan sekolah hingga pilihan jurusan telah dapat dikatakan melanggar hak asasi anak. 

Mirisnya, masih ada orangtua yang belum menyadari pemenuhan hak-hak anak mereka. Sejauh pengalaman saya berhadapan dengan siswa yang tergolong remaja, beberapa fakta membuktikan bahwa permasalahan pada anak remaja kerap muncul akibat orangtua terlalu abaik terhadap hak-hak anak mereka. 

Hal-hal demikian memang dianggap bukan menjadi sebuah isu yang penting. Tetapi akibat yang ditimbulkan cukup membuat remaja mengalami masalah yang bisa jadi menghambat perkembangan dirinya yang mestinya berlangsung secara optimal.

Keutuhan keluarga juga menjadi masalah yang cukup mengganggu. Memang saya belum mengadakan survei resmi mengenai hal ini, tetapi paling tidak dalam satu kelas yang saya asuh, ada satu sampai dua siswa yang tidak mengetahui keberadaan ayah kandungnya, akibat sejak kecil entah bercerai secara resmi atau meninggalkan ibunya begitu saja. Tentunya permasalahan tersebut, membuat siswa kesulitan saat akan mengisi sebuah formulir biodata yang mana mengharuskan mengisi juga data orangtua. 

Meskipun siswa dengan kondisi seperti itu tidak semata-mata selalu menunjukkan perilaku bermasalah. Tetapi sejujurnya melalui perbincangan dengan mereka, kita akan menangkap ada luka kesedihan. 

Saya ingin mengatakan bahwa ada hak-hak anak yang tidak penuhi. Sosok yang mestinya memberikan perlindungan, jaminan akan penyediaan kebutuhan sehari-hari, memfasilitasi dan memberi motivasi menghilang entah ke mana. 

Meski ada yang masih dapat dilacak keberadaannya tetapi memilih untuk sulit dihubungi, sulit ditemui karena sudah "membangun" kehidupannya sendiri bersama keluarga barunya di kota yang berbeda.  

Menghadapi situasi seperti ini, banyak ibu lebih memilih mengalah untuk memperjuangkan hak-hak anak mereka. Mereka lebih memilih menerima keadaan daripada mesti berhadapan dengan persoalan yang nantinya akan lebih rumit. 

Abai terhadap hak-hak anak terkadang juga sering tidak disadari oleh orangtua yang memutuskan untuk menyerahkan pengasuhan anak pada kerabat lain dalam hal ini nenek atau kakek.

Banyak hal yang melatarbelakanginya. Misalnya karena situasi orangtua tunggal, harus sibuk bekerja (kadang di kota lain) sehingga sejak kecil anak tumbuh dan dibesarkan bersama nenek dan kakeknya. Dapat juga karena alasan bersekolah di daerah daripada di kota besar dirasa lebih aman. Sehingga memilih sekolah yang sekota dengan tempat tinggal nenek dan kakek. Jadilah anak tinggal bersama kakek dan nenek selama ia bersekolah, berbeda kota dengan orangtuanya.

Ada juga yang memang tinggal satu kota, bahkan satu kelurahan tetapi anak memilih tinggal satu rumah dengan nenek dan kakeknya daripada dengan orangtuanya. 

Situasi ini terkadang membuat orangtua seolah lepas kewajiban. Bukan melulu soal materi sebenarnya, tetapi soal perhatian dan kepedulian terhadap anak. 

Seringkali nenek atau kakek usianya sudah cukup lanjut untuk mendampingi seorang anak remaja. Sayangnya orangtua, merasa semua baik-baik saja, yang penting membayar uang sekolah.

Saya kerap menemukan permasalahan yang timbul karena kondisi seperti ini. Orangtua jarang menengok keberadaan anak yang tinggal di lain kota. 

Pernah ada siswa yang cukup bermasalah di sekolah kami, yang sangat kesulitan untuk menghadirkan orangtuanya yang bekerja di kota lain. Sehingga dalam pengambilan keputusan-keputusan penting yang datang hanya pak de, oom, sementara si mbah sudah sangat lanjut usia sehingga hampir tidak paham apa yang terjadi. Orangtua hanya dapat dihubungi melalui telepon. Tidak pernah bisa hadir dengan alasan pekerjaan yang tidak mungkinkan untuk ditinggalkan. 

Kepedulian orangtua dalam memperhatikan apa yang menjadi hak-hak anak ternyata dalam perjalanannya masih ditemukan cukup banyak permasalahan. Meskipun bukanlah dapat dikatakan dalam angka mayoritas. Tetapi secara individu bagi anak itu sendiri menimbulkan hambatan yang berarti bagi perkembangan dirinya. Sayangnya abainya orangtua terhadap hak anak sering tidak disadari. Di sinilah pentingnya guru untuk berperan membangkitkan kesadaran itu. 

Referensi: kpai.go.id

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun