Kenyataannya tidak banyak juga yang tetap bertahan. Sebagian memutuskan mundur di pertengahan jalan dan memilih menjalani passion-nya sendiri, meski terpaksa menentang orangtua.Â
Dalam beberapa keluarga, anak remaja rentang usia 15-16 tahun (lulusan SMP) nampaknya belum memegang kendali penuh akan penentuan masa depan, khususnya soal pilihan studi.Â
Mereka dianggap masih bergantung dalam banyak hal dan orangtua merasa berhak untuk menentukan segala-galanya untuk anak mereka. Bahkan Soal pilihan sekolah hingga jurusan yang harus ditekuninya, orangtua yang memilih tanpa mempedulikan minat sang anak.Â
Alasannya klise, takut salah pilih dan gagal di masa depan. Atau uniknya lagi jika orangtua ingin mengobati keinginannya yang tidak tercapai di masa lalu dan mencoba menjadikan anaknya sebagai representasi keinginannya tersebut.
Sebenarnya, apa saja hak asasi anak atau remaja (yang menurut Undang-Undang Perlindungan Anak di negara ini sebelum berusia 18 tahun masih masuk dalam kategori anak)?
Kebebasan anak dalam memperoleh pendidikan dan pengajaran sesuai tingkat kecerdasan, minat, dan bakatnya dijamin oleh Undang-Undang. Dalam hal ini tentunya orangtua wajib menjamin, melindungi, dan memenuhi hak-hak tersebut.Â
Bentuk yang dapat diberikan orangtua adalah memfasilitasi dan mengarahkan (baca : bukan memaksakan). Sehingga sebenarnya dengan alasan apapun selain keselamatan dan keamanan anak, perilaku orangtua yang menentukan pilihan sekolah hingga pilihan jurusan telah dapat dikatakan melanggar hak asasi anak.Â
Mirisnya, masih ada orangtua yang belum menyadari pemenuhan hak-hak anak mereka. Sejauh pengalaman saya berhadapan dengan siswa yang tergolong remaja, beberapa fakta membuktikan bahwa permasalahan pada anak remaja kerap muncul akibat orangtua terlalu abaik terhadap hak-hak anak mereka.Â
Hal-hal demikian memang dianggap bukan menjadi sebuah isu yang penting. Tetapi akibat yang ditimbulkan cukup membuat remaja mengalami masalah yang bisa jadi menghambat perkembangan dirinya yang mestinya berlangsung secara optimal.
Keutuhan keluarga juga menjadi masalah yang cukup mengganggu. Memang saya belum mengadakan survei resmi mengenai hal ini, tetapi paling tidak dalam satu kelas yang saya asuh, ada satu sampai dua siswa yang tidak mengetahui keberadaan ayah kandungnya, akibat sejak kecil entah bercerai secara resmi atau meninggalkan ibunya begitu saja. Tentunya permasalahan tersebut, membuat siswa kesulitan saat akan mengisi sebuah formulir biodata yang mana mengharuskan mengisi juga data orangtua.Â
Meskipun siswa dengan kondisi seperti itu tidak semata-mata selalu menunjukkan perilaku bermasalah. Tetapi sejujurnya melalui perbincangan dengan mereka, kita akan menangkap ada luka kesedihan.Â