Mohon tunggu...
Riski
Riski Mohon Tunggu... Berusaha belajar untuk menjadi pelajar yang mengerti arti belajar

Ada apa dengan berpikir?

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Memahami Etika Deontologis: Kewajiban Moral di Atas Segalanya

1 Juni 2025   18:50 Diperbarui: 2 Juni 2025   10:08 150
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

c. Dua Tipe Utama: Secara umum, etika deontologis dapat dibagi menjadi dua tipe utama:

• Act-Deontology: Pendekatan ini berpendapat bahwa keputusan moral bersifat partikularistik, artinya benar atau salahnya suatu tindakan ditentukan berdasarkan situasi spesifik tanpa harus mengacu pada aturan umum yang kaku. Intuisi moral atau penilaian langsung terhadap situasi menjadi panduan utama.

• Rule-Deontology: Pendekatan ini, yang lebih umum, meyakini adanya prinsip-prinsip atau aturan moral umum yang bersifat universal dan harus diikuti secara konsisten. Tindakan dinilai benar jika sesuai dengan aturan moral yang berlaku.

d. Penolakan Prinsip Utilitas: Berbeda dengan utilitarianisme yang bertujuan memaksimalkan kebahagiaan atau kebaikan bagi jumlah orang terbanyak, etika deontologis menolak gagasan bahwa kebenaran moral suatu tindakan ditentukan oleh jumlah kebaikan (utilitas) yang dihasilkannya.

e. Pengakuan Pertimbangan Moral Lain: Selain fokus pada kewajiban, etika deontologis juga mengakui pentingnya pertimbangan moral lain seperti keadilan, hak-hak individu, otonomi pribadi, dan kesetiaan pada janji atau komitmen.

Immanuel Kant dan Etika Kewajiban: Fondasi Rasionalitas Moral

Dalam sejarah pemikiran etika deontologis, nama Immanuel Kant (1724-1804) menempati posisi sentral. Filsuf Jerman ini memberikan kontribusi monumental dengan mengembangkan sistem etika yang berlandaskan pada akal budi (rasio) murni, bukan pada pengalaman empiris, perasaan, atau tradisi. Kant berargumen bahwa moralitas sejati harus bersifat universal dan niscaya, dan dasar untuk itu hanya dapat ditemukan dalam kapasitas rasional manusia.

Inti dari etika Kant adalah konsep "kewajiban" (Pflicht). Menurutnya, suatu tindakan hanya memiliki nilai moral sejati jika dilakukan demi kewajiban itu sendiri, bukan karena dorongan lain seperti keinginan pribadi, harapan akan imbalan, atau ketakutan akan hukuman. Tindakan yang sesuai dengan kewajiban tetapi didorong oleh motif lain (misalnya, berbuat baik agar dipuji) disebut Kant sebagai tindakan legal, tetapi belum tentu moral.

Untuk membedakan jenis perintah atau tuntutan yang dihadapi manusia, Kant memperkenalkan dua jenis imperatif (perintah):

1. Imperatif Hipotetis: Ini adalah perintah yang bersifat kondisional. Imperatif ini memberitahu kita apa yang harus dilakukan jika kita menginginkan tujuan tertentu. Bentuknya adalah "Jika kamu ingin X, maka lakukanlah Y." Contohnya, "Jika Anda ingin lulus ujian, Anda harus belajar." Kewajiban untuk belajar di sini bergantung pada keinginan untuk lulus ujian. Jika seseorang tidak peduli untuk lulus, perintah ini kehilangan kekuatannya.

2. Imperatif Kategoris: Berbeda dengan imperatif hipotetis, imperatif kategoris bersifat mutlak, tanpa syarat, dan berlaku universal bagi semua makhluk rasional, terlepas dari keinginan atau tujuan pribadi mereka. Inilah inti dari hukum moral menurut Kant. Imperatif ini tidak mengatakan "lakukan Y jika kamu ingin X," melainkan "lakukan Y" (atau "jangan lakukan Z") begitu saja, karena Y adalah kewajiban rasional. Contoh klasik yang diberikan Kant adalah "Jangan berbohong."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun