Ketika mendapat kabar bahwa penerbangan Jakarta-Mamuju sering delay/cancel, saya dan teman saya yang ditugaskan ke Mamuju memutuskan untuk terbang dari Jakarta ke Makassar, lalu lanjut ke Mamuju jalur darat. Kata teman yang sebelumnya pernah ke sana, perjalanan darat tersebut memerlukan waktu sekitar 10 jam! Wah, lumayan juga, pikir saya. Kami pun mempersiapkan diri dengan berbekal cemilan kering dan siap sedia powerbank yang terisi daya penuh biar nggak mati gaya selama perjalanan.
Kami memulai perjalanan dari bandara Soekarno Hatta, Jakarta, dini hari, pukul 01.35 WIB. Seumur hidup, ini adalah pengalaman penerbangan paling pagi buat saya dan rasanya semua serba nanggung.  Mau tidur sebelum take off nggak bisa, mau tidur di pesawat juga cuma dapat beberapa jam saja. Alhasil, tetap coba curi-curi waktu tidur selama di pesawat. Begitu hampir tertidur lelap, eh ada pramugari datang menawarkan makanan dan minuman. Mau coba tidur lagi, eh ternyata sudah terdengar pengumuman persiapan landing. Pesawat yang diperkirakan tiba di Makassar pukul 05.10 WITA pun sudah mendarat sempurna pukul 04.40 WITA! Asli, mata ini berat banget buat melek, tapi harus tetap semangat menjalankan tugas, hehe. Setelah ambil bagasi, kami janjian bertemu dengan driver yang sudah disewa oleh kantor untuk mengantar kami ke Mamuju, dan.. petualangan perjalanan (yang katanya 10 jam) ini pun dimulai.
Faktanya, Bandara Sultan Hasanuddin Makassar tempat kami mendarat ini ternyata masih berada di Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan. Pantas saja, begitu keluar dari bandara, banyak toko oleh-oleh Bolu Maros yang terkenal itu, tapi pastinya toko masih tutup karena terlalu pagi.
Dari Maros, perjalanan berlanjut ke Pare Pare, Sulawesi Selatan. Kota ini dijuluki sebagai Kota Cinta Habibie Ainun, terbukti dengan pembangunan Monumen Cinta Habibie Ainun yang terletak di Lapangan Andi Makassau. Infonya monumen ini merupakan kado ulang tahun pernikahan dari Bapak Habibie ke Ibu Ainun. So sweet, ya. Di sepanjang jalan sekitar Lapangan Andi Makassau ini, ada banyak sekali kuliner yang dijajakan untuk sarapan. Kami pun mencoba salah satu kuliner khas suku Bugis, Songkolo, sajian unik ketan hitam dan parutan kelapa yang dipadu dengan berbagai lauk pilihan, ada telur asin, udang, ikan asin, ditambah sambal yang menggugah cita rasa. Hmm nyam nyam nikmat!
Setelah menikmati sarapan, kami melanjutkan perjalanan melewati Pinrang, masih di kawasan Sulawesi Selatan. Mata dimanjakan dengan pemandangan pantai dan laut nan cantik serta rumah-rumah panggung di pinggir jalan raya utama.
Beberapa jam kemudian, kami memasuki wilayah Polewali Mandar, yang artinya kami sudah berada di Sulawesi Barat. Di daerah ini, kami menemui banyak sekali penjaja Bolu Paranggi, salah satu makanan khas Sulawesi Barat. Kepulan asap bolu panggang menggoda kami untuk melipir dan singgah sejenak ke ibu-ibu penjual bolu. Kami membeli 1 wadah isi 10 Bolu Paranggi, masih hangat fresh from the oven, dengan harga Rp10.000,00 saja! Murah meriah kan. Bolu Paranggi ini rasanya mirip bolu kukus gula jawa tapi nggak semanis itu. Enak deh, sekaligus bikin kenyang. Kalau kalian menemui penjaja Bolu Paranggi ini, langsung aja beli. Super worth it.
Kendaraan yang kami naiki kembali melaju. Pemandangan pantai dan laut perlahan berganti dengan perbukitan hijau. Tampak pula daun-daun pohon nilam terikat bergantung di samping rumah. Ini lah salah satu tanda bahwa kami sudah mulai memasuki wilayah Mamuju.Â
Terkait dedaunan yang bergantung tadi, awalnya saya penasaran, kenapa sih banyak sekali daun-daun kering yang diikat, ternyata daun tersebut adalah daun nilam yang nantinya dibakar dan dapat menghasilkan minyak nilam/atsiri. Sebagai informasi, minyak ini dapat dimanfaatkan, salah satunya sebagai bahan dasar pembuatan parfum. Harga jual minyak nilam/atsiri ini cukup tinggi, lho, bisa mencapai Rp1.000.000,00 per kg, tapi tentunya proses penyulingan nilam hingga mendapatkan minyak yang siap dijual ini memerlukan waktu yang lama, kurang lebih 2-3 hari sejak proses pengeringan daun dan 8-10 jam untuk proses penyulingannya.Â
Semakin mendekati pusat Mamuju, jalanan semakin ekstrim, banyak tanjakan dan belokan yang tajam. Di titik ini perjalanan mulai menegangkan, badan terhuyung ke kiri, ke kanan. Kalau lagi nggak enak badan, kemungkinan mabuk darat sepertinya cukup tinggi sih ini, untungnya kami berhasil melewati perjalanan berliku itu dengan aman dan sampailah kami di pusat kota Mamuju, eh Kabupaten Mamuju! Sampai dengan kami kesana minggu lalu, ternyata Mamuju masih kabupaten, meskipun statusnya adalah "ibukota" Provinsi Sulawesi Barat.
Nah, berapa total durasi perjalanan kami dari Makassar ke Mamuju? Lebih kurang sekitar 9 jam, termasuk untuk sarapan dan jajan, dengan kondisi jalanan yang sepi. Wah ternyata nggak sampai 10 jam ya. Melelahkan? Jujur, untuk pengalaman pertama ini kami masih excited dan nggak merasa capek, apalagi bosan, pemandangannya bagus banget dan sangat menarik untuk dinikmati. Sebelum berangkat, sempat berpikir, perlu bawa apa aja nih, duh capek nggak ya, duh mau ngapain aja nih 10 jam, eh ternyata semua berjalan dengan lancar, mulus, dan menyenangkan. Ternyata pikiran manusia terlalu banyak mengkhawatirkan sesuatu. Padahal tinggal menyiapkan apa yang diperlukan dan menikmati semua prosesnya. Bikin kapok? Jelas nggak dong!
Sebetulnya, kalau yang sekiranya tidak kuat jalur darat, ada alternatif lain untuk menempuh perjalanan dari Makassar ke Mamuju, yaitu naik pesawat, tapi seperti yang sudah dibahas di awal, pesawat ini sering delay bahkan cancel. Kalau sudah cancel, penerbangan selanjutnya bisa saja baru tersedia 1-3 hari lagi. Alasannya, sering kali karena kurang penumpang. Memang sih, perjalanan via udara akan jauh lebih cepat, tapi kalau sampai cancel, bisa mengganggu jadwal pekerjaaan juga, ya.