BAB I (PENDAHULUAN)
Islam dalam bentuknya lengkap dengan segala pedoman beramal bagi manusia dan kehidupan beragama yang dijalaninya. Al-Quran sebagai acuan dan sumber primer banyak menjadikanyna pemerhati yang senantiasa terkesima dengan dimensi pembahasan yang dimiliki oleh Al-Quran. Adanya setiap kunci yang dapat dibenarkan dengan bukti dalam kehidupan dan rasa iman yang kuat, menjadi indikasi kuat bahwa Al-Quran adalah dapat dipahami dan diterima oleh seseorang.
Perkembangan cara berpikir manusia dan terapan yang ada banyak menyebabakan kesenjangan dan perbedaan pendapat yang terjadi di kalangan manusia. Baik itu pada kalangan terdidik maupun kalangan masyarakat yang notabennya hanya menerima sekilas mengenal ilmu pendidikan.
Perbedaan pendapat mengenai konsep dan pembahasan mengenai agama islam ini menimbulkan perubahan radikal pada sektor-sektor kehidupan. Tak terkecuali dalam bagaimana suatu kaum memandang suatu kejadian yang ada dan melakukan improvisasi cara pandang tersebut dalam hal beragama dan menyikapi pembahasan mengenai Al-quran sebagai sumber utama.
Menurut Kahar (2019) al-Quran sebagai pusat gravitasi umat manusia pada umumnya. Berbagai pendekatan telah ditawarkan, mulai dari linguistik, ushul fiqh, hermeneutik, sampai pada pendekatan integratif telah mengalami perkembangan signifikan dalam produksi dan reproduksi ide secara berkesinambungan.
Namun tidak dapat disangsikan bahwa al-Quran masih merupakan sebuah teks statis, dan tak mampu berbicara apa-apa tanpa refleksi manusia. Selanjutnya, interpretasi manusia tak berarti apa-apa tanpa aplikasi dan penerjemah dalam realitas objektif dalam lingkup ruang dan waktu yang mengitarinya.
Cara pandang yang diinterpretasikan oleh manusia mengindahkan sebuah informasi yang dapat memecah-belah suatu kaum dan bagaimana strata kaum tersebut didalam aspek sosial dan pemahaman mereka.
Tidak dapat dipungkiri banyaknya perbedaan mengenai cara pandang terhadap agama dan Al-Quran menjadikan suatu kaum menganggap kaumnya menjadi lebih baik dalam artian merendahkan kaum lain tanpa melihat aspek-aspek agama islam lainnya.
Dalam istilah lain mereka dapat menganggap seseorang ataupun kelompok masyarakat sebagai kafir karena tidak sejalan dengan apa yang mereka pahami mengenai persoalan-persoalan agama islam.
BAB II (PEMBAHASAN)
Salah satu persoalan yang cukup krusial dan mendalam dalam sejarah perjalanan pemikiran Islam adalah perihal status keimanan dan kekufuran seorang.
Hal tersebut dalam sejarah kelam umat Muslim, sebagaimana dikemukakan oleh al-Syahrastani dalam al-Milal wa al-Nihal, bahwa sejak akhir masa shahabat pertikaian sengit diantara mereka menjadi buah bibir dan telah tercatat sebagai zaman al-fitan bagi umat Muslim hingga saat ini.
Sebab perdebatan diantara mereka tidak hanya dalam permasalahan halalharam dalam urusan dunia, melainkan sudah pada batas saling mengkafirkan antar sesama Muslim yang tidak jarang berakibat pada pertumpahan darah. Sesuatu Penerapan teks dengan apa adanya tanpa konteks dapat dikatakan merupakan pemerkosaan terhadap teks itu sendiri. Demikian pula, terlalu setia kepada konteks bukannya tidak berbahaya.
Salah-salah, yang terjadi justru adalah akal-akalan, dimana teks diakali agar sesuai dengan nafsu seseorang. Dalam kondisi seperti ini, pola pemikiran dengan memediasi teks yang amat otoritatif dengan konteks yang terus bergerak dinamis perlu terus ditumbuh kembangkan sepanjang sejarah keagamaan.
Dengan demikian, diharapkan akan muncul para pemikir dan ahli-ahli yang moderat, yang tidak terlalu “saklek”, namun tidak pula terlalu “liar” (Yasid, 2010). Sebagai contoh, sebut saja misalnya sekelompok kecil umat Muslim yang tergabung dalam barisan perang Shiffin bersama shahabat Ali bin Abi Thalib, yang membelot dari al-Imam al-Haq dan menyatakan bahwa ia dan para pengikunya akan selamanya di neraka karena menurut pandangan kelompok ini sang Imam dan pengikutnya telah melakukan dosa besar, keluar dari agama Allah Swt. dengan berhukum kepada selain dari hukum al-Qur’an dan Sunnah.1
Adanya sikap mudah mengafirkan pihak lain disebabkan oleh banyak faktor, antara lain, cara pandang keagamaan yang sempit, fanatisme dan keangkuhan dalam beragama, miskin wawasan, kurangnya interaksi keagamaan, pendidikan agama yang eksklusif, politisasi agama, serta pengaruh konflik politik dan keagamaan dari luar negeri, terutama yang terjadi di Timur Tengah.
Hal ini juga dijadikan berita dalam bentuk feature oleh jurnalis Republika (04 Mei 2011). Redaksi tersebut berjudul ―Tak Cukup Terjemah untuk Memahami Alquran “yang antara lain bernada sama yaitu ―…….Bukan terjemahnya yang dipersoalkan, melainkan pemahaman terhadap teks Alquran yang parsial, sempit, dan sikap antipati terhadap perbedaan pandangan keagamaan. Terjemah tidak salah tapi pemahamannya, kata Kepala Balitbang dan Diklat Kemenag Abdul Djamil.
Wakil Ketua Lajnah Tashih Mushaf Alquran Ali Musthafa Ya‘qub berpandangan sama. Ia melihat, munculnya aksi terorisme bukan disebabkan oleh terjemahan Alquran, melainkan akibat nihilnya pemahaman Alquran.
Alquran tidak dipahami secara utuh dan menyeluruh. Berbagai peranti penting menafsirkan Alquran seperti penguasaan bahasa Arab, ilmu tafsir, dan alat berijtihad lainnya, diabaikan. Akibatnya, ayat-ayat Alquran dipahami tidak utuh dan disesuaikan dengan maksud dan tujuan mereka saja. Quran dipahami sepotong-sepotong’’, kata dia.”
2.1 Definisi Takfir
Takfiri merupakan sebutan bagi seorang muslim yang menuduh muslim lainnya sebagai kafir dan murtad. Dalam sejarah perkembangan pemikiran Islam, istilah takfir sudah muncul sejak awal Islam khususnya pada zaman Nabi SAW dan berkembang sampai saat ini. Adapun yang dimaksud dengan istilah takfîr - bentuk mashdar (kata kerja yang dibendakan) dari kata kaffara-yukaffiru-takfîrâ- adalah (menganggap/memandang kafir) mengkufurkan, menuduh kufur atau mengkafirkan (Yunus, 1973 di dalam Sajari, 2015:47).
Secara bahasa kafir yang diambil dari akar kata tersebut menurut Hasan Muhammad Musa (di dalam Azra, 2008:348) di dalam Qamus Qur’ani mempunyai banyak pengertian yang saling berdekatan, seperti: menyembunyikan, menutupi, menghalangi, dinding, selubung, mengingkari dan menentang Takfir merupakan salah satu paket masalah yang pertama kali yang hangat didiskusikan oleh aliran kalam (teologi Islam).
Kekisruhan politik akibat pembunuhan Khalifah Utsman bin Affan (thn 35 H.) hingga masa kekhalifahaan Ali bin Abi Thalib. Konflik ini mencapai klimaksnya dengan meletusnya perang Jamal (thn 35 H/656 M.) antara pasukan Ali dan pasukan yang di pimpin Aisyah, Thalhah, dan Zubair disusul dengan perang Siffin (thn 39 H/657 M.) antara Ali melawan pihak Muawiyah (Muhamad Said, 2015:21 di dalam Republika - Rabu, 29 April 2015). Kedua persitiwa perang ini secara tidak langsung telah melahirkan perpecahan dan pengelompokkan umat Islam menjadi tiga aliran mazhab fikih, kalam, dan tasawuf yaitu Khawarij, Syiah, dan Ahlusunnah.
Ketiga kelompok ini adalah hasil produk politik sejarah awal Islam pasca-wafatnya Nabi SAW, dan mereka tampil dengan argumen-argumen mereka yang kontroversial yang berdampak pada takfiri antara satu dengan lainnya.
Pada hakikat lain lahir beberapa tokoh takfiri yang bertujuan menjaga kemurnian ajaran agam islam yang berdasarkan pada al-Qur’an dan Sunnah, Tauhid. Maka upaya pelayangan dan pelabelan status ‘kafir’ menjadi sesuatu yang layak di kalangan masyarakat pada waktu itu. Salah satu tokoh yang sanga berpengaruh dalam cukup terkenal hingga sekarang dan telah menjadi sebuah paham yang cukup berpengaruh dan terkenal mengenai pemikiran Islam.
Ia adalah Muhammad bin Abdul Wahhab (1703-1792 M). Pada masa mudanya, oleh Fazlurrahman disebutkan, ia adalah seorang yang menggeluti bidang tasawuf. Namun menjelang masa dewasanya, setelah begumul dengan karya-karya Ibnu Taymiyah, ia berubah haluan menjadi seorang puritan, penentang tertinggi bidang tersebut pada saat itu terutama di wilayah Arab. Ia menyerang kepercayaan sebagian masyarakat Muslim tentang karamah dan syafa’at Nabi dan para wali.2
2.2 Biografi Singkat dan Pemahaman Manhaj Takfir Muhammad bin Abdul Wahhab
Ia dilahirkan pada tahun 1115 H (1701 M) di kampung ‘Uyainah yang terletak di wilayah Yamamah dan masih termasuk bagian dari Najd. Ia adalah orang terpandang pada masa itu, Muhammad bin Abdul Wahhab mengajarkan bahwa pemujaan terhadap spapun selain Allah Swt adalah penyembahan berhala, syirik. Muhammad merupakan seorang yang berasal dari kalangan terpelajar di antara masyarakat sekitarnya pada saat itu. Ayahnya, Abdul Wahhab bin Sulaiman, yang merupakan guru pertamanya adalah seorang hakim (al-qadi) bermadzhab Hanbali di wilayah ‘Uyaynah.
Sedangkan saudaranya, Sulaiman bin abdul Wahhab juga merupakan salah seorang ‘alim dan faqih di wilayah tersebut. Sehingga tidak mustahil, sejak usia dini yaitu sepuluh tahun ia telah menghapal al-Qur’an serta mempelajari berbagai bidang keilmuan, baik fiqih, hadis, tafsir, bahkan tasawuf.3
Oleh dari itu, keadaan inilah yang mempengaruhi jalan paham dan pergerakan keagamaan Muhammad bin Abdul Wahhab yang terkenal berwatak keras sebagai salah seorang reformis dalam tanggapan, bahwa apa yang perlu diubah, supaya Islam menjadi maju dan bersih seperti umat terdahulu, bukanlah Islamnya melainkan pemahaman umatnya. Menurutnya, inovasi, perubahan, serta penambahan-penambahan dalam per-ibadatan telah merusak keimanan seorang muslim, sehingga tidak ada lagi yang mempraktikkan Islam yang murni. Apa yang perlu dilakukan kaum muslim adalah menutup rapat pengaruh Barat serta memurnikan ajaran serta ritual peribadatan seperti sedia kala pada masa Nabi Saw dan sahabat-sahabat beliau.
Sebagaimana diketahui bahwa Muhammad bin Abdul Wahhab ialah seorang pendakwah yang senantiasa membawa misi pemurnian ajaran Islam (purifikasi) dengan jargon tauhid. Pengikutnya dinamai (muwahiddin). Ia menjelaskan bahwa hal-hal yang dapat membatalkan keislaman seorang muslim ada sepuluh, yaitu:
a. Mengadakan persekutuan dalam beribadah kepada Allah (syirik).
b. Menjadikan sesuatu atau seseorang sebagai perantara antara seseorang dengan Allah, yang mana ia memohon atau berdoa serta meminta syafa’at kepadanya.
c. Menolak untuk mengkafirkan orang-orang musyrik atau menyangsikan kekafiran mereka, bahkan membenarkan madzhab mereka.
d. Berkeyakinan bahwa petunjuk selain yang datang dari Nabi Saw lebih sempurna dan lebih baik.
e. Membenci sesuatu yang datang dari Nabi Saw. meskipun hal itu telah diamalkannya. Hal ini berdasar firman Allah Swt QS. Muhammad [47]: 9.
f. Mengolok-olok sebagian dari ajaran agama yang dibawa Nabi Saw., misalnya tentang pahala atau balasan (‘iqab) yang akan diterima di akhirat kelak. Hal ini berdasar firman Allah Swt QS. Al-Taubah [9]: 65-66.
g. Melakukan sihir.
h. Mengutamakan orang kafir serta memberikan pertolongan dan bantuan kepada orang musyrik lebih daripada pertolongan dan bantuan yang diberikan kepada umat muslim. Hal ini didasarkan pada firman Allah Swt. QS. Al-Maidah [5]: 51.
i. Berkeyakinan bahwa sebagian muslim tidak harus selalu mengikuti Nabi Saw. serta beranggapan bahwa manusia bisa dengan leluasa keluar dari syariat Nabi Saw. sebagaimana leluasanya Nabi Khidhir dari syari’at Nabi Musa as. Pemahaman ini disandarkan pada firman Allah Swt pada QS. Ali Imran [3]: 85.
j. Berpaling sepenuhnya dari agama Allah, baik karena ia tidak mau mempelajarinya ataupun karena tidak mau mengamalkannya. Hal ini berdasarkan firman Allah Swt. QS. Al-Sajdah [32]: 22 Semua ini berlaku baik bagi setiap muslim, baik yang sekadar bercanda maupun tidak, baik yang dalam keadaan ketakutan ataupun tidak saat melakukannya, kecuali seorang yang tertekan atau terpaksa (mukrah). Selain daripada itu, seperti orang yang bodoh, orang yang melakukan takwil, salah dalam memahami ajaran, selama telah sampai hujjah dan tidak sedang dalam pembahasan permasalahan zahirah, maka tidak dapat selamat dari takfir.4
Paham keagamaann yang Muhammad bin Abdul Wahhab bawa selalu dikaitkan dengan permasalahan syirk dan bid’ah. Makna ibadah yang diusungnya selalu terikat dengan persoalan kufur dan syirik. Beberapa pelaku yang ulama masih berbeda pendapat akan penentuan kekufurannya, atau minimal masih diberi kesempatan untuk bertaubat, seperti pada persoalan penyihir, menurut hemat penulis, perlu dipertimbangkan kembali kemaslahatannya.
Karena dalam hal tertentu tidak selaras dengan prinsipprinsip nilai maslahah yang dijunjung tinggi oleh agama, dan tidak menutup kemungkinan akan terulang kembali sejarah kelam zaman al-fitan. Syari’ah Islam menjunjung tinggi prinsip-prinsip keadilan (al-‘adl) dan kasih sayang (al-rahmah) terhadap ummat (Muslim), bahkan sesama manusia. Dari sini semakin mempertegas jarak antara pola pemikiran Muhammad bin Abdul Wahhab
2.3 Interpretasi dan Larangan Manhaj Takfir di Masa Kini dalam Pandangan Islam
Pada masa kekinian isu takfiri juga bersamaan kuatnya dengan isu kontemperorer yaitu ISIS yang termasuk dalam Hizbut Tahrir Hizbut Tahrir (HT) sendiri ialah gerakan Islam trans-nasional yang bergerak dalam dakwah dan politik. Didirikan oleh Syaikh Taqiyuddin alNabhani pada tahun 1953 di Palestina.
Tujuan utamanya adalah melangsungkan kembali kehidupan Islam dan mengemban kembali dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia, serta mengajak kaum muslim untuk kembali hidup secara islami dalam naungan khilāfah Islamiyah alā minhāj alnubuwwah. Untuk mencapai tujuan tersebut HT menerapkan langkah-langkah dakwahnya dalam tiga tahap:
1. Tatsqif (Pembinaan dan pengkaderan)
2. Tafa‟ul (Interaksi) dengan umat
3. Istilām al-hukmi (Menerima kekuasaan) dari umat.
Di Indonesia sendiri HT mendeklarasikan diri dengan nama Hizbut Tahrir Indonesia atau yang kita kenal sebagai (HTI). HT memandang bahwa penegakan kembali sistem khilafah merupakan kewajiban yang tidak bisa ditawar-menawar. Syaikh Abdul Qadim Zallum, sebagaimana dikutip Media Umat menegaskan bahwa:
“Meng-angkat seorang khalifah adalah wajib atas kaum muslimin seluruhnya di segala penjuru dunia. Melaksanakan kewajiban ini adalah perkara yang pasti, tidak ada pilihan di dalamnya dan tiada toleransi dalam urusannya. Kelalaian dalam melaksanakan kewajiban ini termasuk sebesar-besarnya maksiat yang (pelakunya) akan diazab oleh Allah dengan azab yang sepedih-sepedihnya”.
Di Indonesia, sebagaimana di belahan Dunia Islam lain, dewasa ini masih sering terjadi suatu kelompok umat Islam yang memandang umat Islam lainnya sebagai kafir atau sesat dikarenakan berbeda paham, berbeda aliran atau berbeda amaliahnya. Sejak awal sejarah Islam, pengkafiran (takfîr) atau penyesatan ini terjadi dilatari adanya klaim diri bahwa dirinyalah yang benar dan orang (kelompok) lain tidak benar (telah keluar atau sesat dari jalan yang benar).
Tampaknya, sepanjang klaim diri ini masih terjadi, apalagi kelompok pengklaim diri ini merasa memiliki kewenangan untuk menentukan benarsalahnya kelompok lain, maka pengkafiran atau penyesatan terhadap kelompok lain tidak akan terhindarkan di sepanjang sejarah umat Islam
Akibatnya, klaim kebenaran dan kafir-mengkafirkan atau sesat-menyesatkan tidak dapat dihindarkan, baik dari kelompok mayoritas terhadap kelompok minoritas atau pun, sebaliknya, dari kelompok minoritas kepada kelompok mayoritas. Dalam konteks ke-Indonesiaan, menurut Fatwa Majelis Ulama Indonesia 2010 (di dalam Sajari, 2015:45) menyatakan bahwa:
“―Kafir-mengkafirkan atau sesat-menyesatkan itu terjadi pula di antara dua kelompok. Sesat-menyesatkan dari kelompok minoritas terhadap kelompok mayoritas dapat dilihat di kelompok yang difatwakan sesat oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan dari kelompok mayoritas terhadap kelompok minoritas dapat dilihat dari Fatwa MUI, seperti Fatwa tentang Aliran Ahmadiyah dan Aliran al-Qiyadah al-Islamiyah. Fatwa tentang Ahmadiyah merupakan Fatwa yang ke-13 dan mengenai Aliran al-Qiyadah al-Islamiyah merupakan Fatwa yang ke-14 yang dihimpun dalam Himpunan Fatwa MUI’’
Dalam penelitian ini, yang memandang sesat atau kafir adalah ulamaulama yang bergabung di MUI atau yang berada di Komisi Fatwa MUI dan yang dipandang kafir, sesat, berada di luar Islam dan atau murtad adalah orangorang/aliran yang merupakan kelompok minoritas yang ajarannya telah dipandang menyimpang (sesat) dari ajaran Islam yang sebenarnya.
MUI menetapkan sepuluh indikator/kriteria ajaran atau aliran yang sesat, yang dirumuskan di dalam Rakernas-nya di Hotel Sari Pan Pacific Jakarta Tahun 2007 (Jawapos, 7 November 2007, dalam situs http://www.nu.or.id), yaitu:
(1) Mengingkari salah satu rukun Iman yang enam dan rukun Islam yang lima
(2) Meyakini dan atau mengikuti aqidah yang tidak sesuai dengan al-Qur‘an dan Sunnah
(3) Meyakini turunnya wahyu setelah al-Qur‘an
(4) Mengingkari otensitas dan atau kebenaran isi al-Qur‘an
(5) Melakukan penafsiran al-Qur‘an yang tidak berdasarkan kaidah-kaidah tafsir
(6) Mengingkari kedudukan hadis Nabi SAW sebagai sumber ajaran Islam
(7) Menghina, melecehkan dan atau merendahkan para Nabi dan Rasul
(8) Mengingkari Nabi Muhammad SAW. sebagai nabi dan rasul terakhir
(9) Mengubah, menambah dan atau mengurangi pokok-pokok ibadah yang telah ditetapkan oleh syariah, seperti haji tidak ke Baitullah dan salat wajib tidak lima waktu
10) Mengkafirkan sesama tanpa dalil syar‘i, seperti mengkafirkan Muslim hanya karena bukan kelompoknya
Takfiriyah bukanlah sekadar sikap suka mengafirkan kelompokkelompok Muslim lain yang bukan kelompoknya, melainkan mengembangkan doktrin khusus elaboratif tentang takfir yang cukup sophisticated dan complex berdasar pemahaman mereka tentang ajaran-ajaran agama sebagaimana terbaca dalam teks-teks keagamaan yang ada. Di era globalisasi seperti sekrang ini, bagaimana memahami dan menghargai hubungan sesama muslim sangan memprihatinkan. Akibatnya umat Islam menjadi terpecah belah, bahkan menjadi jauh dari sumber umat Islam sendiri, yaitu al-Qur‘an dan Sunnah (Isa, 1982 di dalam Akbar, 2018:3). Maka dari itu persimpangan yang terjadi antara konsep manhaj takfir dengan ajaran islam sepenuhnya . Praktik menghukumi kafir adalah sesuatu yang masyru’. Namun sayangnya, apabila ‘kufur’ dipahami secara sepihak, kemudian mensifati serta melabeli seorang muslim dengan karakter kekufuran tanpa mempertimbangkan pendapat yang diajukan oleh para pakar agama lain dan tidak berdasar pada batasan dan atau aturan yang tegas akan menimbulkan masalah melihat konsekwensi yang dihasilkan, dimana bertolak belakang dengan kebenaran islam sesungguhnya.
BAB III (PENUTUP)
3.1 Kesimpulan
Ajaran agama islam dalam kehidupan sehari- hari adalah suatu hal yang harus selalu dikaitkan dengan berbagai permasalahan manusia. Perbedaan pendapat yang terjadi adalah susuatu yang normal, namun pemberian jalan keluar atau solusi harus mengedepankan aspek-aspek islam yang terdapat dalam al-Quran sebagai sumber utama, Hadist dan IJtima’ para ulama. Menganggap suatu pemikiran dan pandangan mengenai suatu kaum lebih rendah hingga mengkafirkan karena tidak sejalan degan pemahaman kaum itu sendiri adalah hal yang bertolak belakang degan ajaran islam.
Perlu digaris bawahi bahwa hidup yang memperhatikan konteks islam dalam paradigm qurani memberikan hal yang sejalur denga hakikat manusia sebenarnya. Untuk itu membelakangi takfir atau megkafirkan seseorang agar tidak terjadi perpecahan berlanjut yang menghapus hakikat manusia sebenrnya dalam ajaran agama.
DAFTAR PUSTAKA
Abu al-Fath Muhammad Abdul Karim al-Syahrastani, al-Milal wa al-Nihal (Beirut: Dar al-Fikr, 2005), hlm. 92
Agus, F. (2019). Wacana Takfiri( Kafir-Mengkafirkan) Di Dalam Featiure Jurnalis Harian Umum Republika Periode 2011-2018.
Bani Rakhman, A. (2020). Problematika Manhaj Takfir Muhammad bin Abdul Wahhab (Telaah Kritis dalan Tinjauan Maslahah), 10(2), 32.
Fazlurrahman, Islam (Chicago: The University Chicago Press, 1979), hlm. 207 Kahar. Rohani 1 Paradigma Al - Quran Kuntowijoyo , vol. 5, no. 2, 2019, p. 15.
Muhammad bin Jamil Zainu, Da’wah al-Syaikh Muhammad ibn ‘Abdul Wahhab ..., hlm. 8 Page 15
Muhammad bin Abdul Wahhab, al-Rasail al-Syakhsiyyah al-Risalah al-Saniyah wa al-Salasun …, hlm. 214
Rafiuddin, M. (2015). Mengenal Hizbut Tahrir (Studi Analisis Ideologi Hizbut Tahrir vis a vis NU, 2(1), 27.
Zaenul Fitri, A. (20). Pendidikan Islam Wasathiyah: Melawan Arus Pemikiran Takfiri di Nusantara, 1, 2015.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI