Mohon tunggu...
Nursaripati Risca
Nursaripati Risca Mohon Tunggu... Buruh negara saat jam kerja, penulis keresahan saat jeda, ibu dan istri di sela segala.

Menulis di sela pura-pura sibuk. Dengan logika, literasi, dan hasil amatan ringan yang malu-malu dibahas di forum resmi. Lebih sering baca komentar netizen daripada jurnal ilmiah, namun tetap yakin bahwa ide cemerlang lahir dari kopi dingin dan deadline.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Radio: Gelombang yang Tak Redup, Frekuensi yang Menyambung Ingatan

13 September 2025   02:52 Diperbarui: 13 September 2025   02:52 61
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Siang 11 September, saya menyalakan radio dan memutar Kis 95.1 FM. Dari balik jingle yang familiar, muncul pengumuman spesial Hari Radio Nasional. Studio terdengar riuh tapi hangat, seperti pintu lama yang kembali dibuka. Tema siarannya langsung menempel: "Hari Radio Nasional Bukan Sekadar Seremoni, Ini Pengingat Bahwa Radio Selalu Bersuara." Di momen ini, radio terasa seperti teman lama yang datang membawa kabar baik.

Satu per satu suara yang familiar masuk bergantian selama dua hari itu (11--12 September). Di antaranya: Danang, Imam Darto, Arie Daginkz, Indy Barends, Becky Tumewu, Ivy Batuta, Udjo (Project Pop), Tika Panggabean, Kemal, TJ, Asri Welas, Sogi Indra Dhuaja, Nycta Gina, Rizky Kinos, dan banyak lagi. Mendengar mereka seperti bertemu kawan lama di simpang kota: warna suara yang khas, jeda yang pas, tawa yang tak dibuat-buat. Format relay 22 penyiar kawakan ini membuat ritme siaran hidup sepanjang hari.

Yang menggetarkan bukan sekadar daftar nama, melainkan cara mereka merajut kedekatan. Obrolan kecil tentang belakang layar, trivia radio, hingga selingan jenaka mengalir tanpa gimmick. Kesederhanaan justru terasa mahal; radio memamerkan keahliannya, menghadirkan keintiman melalui suara.

Di telinga, saya kembali ke masa ketika suara adalah segalanya. Dulu, kita hanya bisa menebak ekspresi penyiar dari intonasi; sekarang, beberapa segmen bisa diikuti pula lewat platform sosial. Bukan hanya didengar, kadang juga disaksikan. Parade 22 penyiar kawakan ini jadi jembatan antara dulu dan kini: tradisi yang bertahan, medium yang beradaptasi.

Karena itu temanya terasa sangat tepat: "Hari Radio Nasional Bukan Sekadar Seremoni, Ini Pengingat Bahwa Radio Selalu Bersuara." Radio bertahan bukan pada kerasnya volume, melainkan pada kualitas hadirnya sapaan yang personal, jeda yang manusiawi, dan kepercayaan yang tumbuh dari kebiasaan menyimak. Di tengah banjir konten, ia tetap menjadi penanda ritme harian: teman macet di mobil, latar di dapur saat menyiapkan sarapan, hingga pengawal lembur ketika layar terasa melelahkan. Parade 22 penyiar kawakan itu menegaskan hal yang sama: suara yang terlatih, empati yang tulus, dan kurasi cerita yang cermat masih relevan di mana pun ia mengalun: FM, streaming, atau siaran silang di media sosial. Dari studio Kis siang itu, saya menangkap pesan sederhana: suara tetap bekerja; menautkan jarak, membangunkan memori, dan mengingatkan kita pada alasan mengapa kita jatuh cinta pada radio sejak awal.

Dan memori itu langsung membawa saya ke masa sandiwara radio, kirim-kirim salam, dan momen-momen kecil yang membuat radio pernah dan masih jadi hiburan paling dekat dengan kita.

Radio sebagai Media Nostalgia dan Hiburan

Sulit menyangkal, radio adalah album kenangan yang bisa diputar ulang kapan saja. Ia menjadi ritme; menyapa di awal hari, mengisi jeda perjalanan, dan menemani ujung malam ketika layar diistirahatkan . Dari frekuensi ke frekuensi, suara penyiar mengikat hal-hal kecil yang intim dalam sapaan nama, tawa singkat, hingga jeda yang membuat kita merasa disapa sebagai manusia, bukan sekadar pengguna.

Di masa kejayaannya, sandiwara radio menjadi semesta bersama. Tutur Tinular, Saur Sepuh, hingga Misteri Gunung Merapi membuktikan bahwa tanpa visual pun imajinasi pendengar bisa membangun dunia yang utuh. Kita menunggu jam tayang seperti menanti janji: musik pembuka jadi kode, narasi pembuka jadi undangan. Tokoh-tokoh seperti Arya Kamandanu, Brama Kumbara, Mantili, dan Mak Lampir  seperti hidup di kepala, adegan berkelahi terdengar hanya dari efek suara, dan cliffhanger membuat ruang keluarga hening. Semuanya bertumpu pada kekuatan cerita dan teater suara.

Tradisi kirim-kirim salam dan request lagu juga melengkapi kehangatan itu. Menyebut nama sahabat, menyisipkan pesan, lalu menanti momen ketika penyiar memanggil rasanya seperti merayakan ulang tahun kecil setiap hari. Di balik proses sederhana itu tersimpan keterhubungan: ada komunitas tak kasatmata yang terjalin dari studio ke warung kopi, dari kampus ke asrama putri, dari kota ke desa. Kita mungkin sendirian saat mendengarkan, tetapi jarang merasa sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun