Bangunan pondok pesantren Al khoziny di buduran sidoarjo, runtuh. Dalam beberapa jam, berita ituÂ
menjadi semakin memilukan korban meninggal dunia melonjak hingga 37 jiwa. Detik per detik,Â
petugas evakuasi mengangkat jenazah dan potongan tubuh yang dari tumpukan puing. BNPBÂ
mencatat bahwa sejak pukul 06.30 hingga 12.00 WIB, ditemukan 12 jenazah lebih berserta duaÂ
potongan tubuh yang terjepit reruntuhan lantai empat musala. Banyak yang masih tertimbun. kataÂ
pejabat BNPB, diduga sekitar 26 orang dalam reruntuhan yang belum berhasil diidentifikasi atauÂ
dikeluarkan, namun data itu belum bisa dipastikan sampai proses pemulihan selesai. Evakuasi penuhÂ
baru bisa dianggap tuntas kalau puing-puing hingga lantai dasar telah diangkat dan seluruh titikÂ
pencarian telah diperiksa, ujar tim BNPB.Â
Suasana di lokasi menjadi saksi penderitaan kolektif. Lokasi runtuhan berada di gedung bertingkatÂ
empat musala, dengan bagian atas yang belum selesai konstruksinya. Puing-puing membentuk labirinÂ
mematikan seperti beton menempel erat, sambungan ke bangunan lain membingungkan, dan timÂ
gabungan dari berbagai lembaga dipanggil untuk menelusuri setiap sudut reruntuhan. ITS (InstitutÂ
Teknologi Surabaya) diminta turun tangan melakukan investigasi forensik struktur, agar prosesÂ
evakuasi lebih aman dan tidak merusak struktur bangunan di sekitar yang masih berdiri.
Para petugas, dalam kondisi fisik tertekan dan mental yang terus diuji, mulai mengalami gejalaÂ
kesehatan seperti gatal hingga kelelahan ekstrim. BNPB menyiapkan perlengkapan tambahan alatÂ
pelindung diri (APD), masker, kacamata google, sarung tangan, sepatu boot dan perlengkapan lainÂ
demi menjaga keselamatan tim di tengah ancaman puing tajam dan kondisi tembok yang rapuh.
tragedi ini bukan sekadar statistik menakutkan, ia adalah panggilan kepada semua pihak pengurusÂ
pondok, pemerintah daerah, ahli bangunan, dan masyarakat untuk tidak menutup mata terhadap risikoÂ
konstruksi. Bahwa niat membangun tempat ibadah atau pendidikan yang mulia tidak bolehÂ
mengabaikan prinsip keselamatan teknis.
Kita tak boleh hanya meratapi korban, tapi juga harus menelaah akar masalah bagaimana sebuahÂ
bangunan setinggi empat lantai bisa runtuh secara dramatis? Bagaimana izin, perencanaan, pengawasan teknis, dan audit struktural bisa terlewatkan dalam proyek pendidikan keagamaan?Â
Bangunan pesantren, meski bersifat keagamaan, adalah fasilitas publik yang menanggung amanahÂ
besar terhadap manusia. Pemerintah daerah perlu mengevaluasi sistem perizinan bangunan pesantrenÂ
agar tidak sekadar formalitas. Setiap pondok pesantren baru harus melewati penilaian teknis olehÂ
insinyur sipil. Audit berkala dan inspeksi struktur wajib diterapkan, terutama di daerah rawan gempaÂ
atau cuaca ekstrem. Tanpa pengawasan, potensi malapraktik konstruksi selalu mengintai.
Di sisi lain, pengasuh dan pengurus pondok pesantren mesti meresapi bahwa membangun bukanÂ
hanya soal mengumpulkan dana dan tenaga kerja. Mereka perlu dibekali pemahaman dasar soalÂ
kualitas bahan, beban struktur, dan risiko teknis. Bekerja sama dengan akademisi, organisasi profesiÂ
teknik, atau lembaga bantuan konstruksi bisa menjadi jalan keluar agar pesantren dapat berdiri kokohÂ
dalam koridor aman. Sebagai masyarakat luas, kita juga punya tanggung jawab moral jangan hanyaÂ
menyumbang berdasar simpati, tetapi pastikan bahwa pembangunan yang kita dukung dibangunÂ
dengan standar minimal keselamatan. Donasi yang disalurkan tanpa pengawasan bisa memperparahÂ
risiko, sama seperti memberi modal pembangunan tanpa pertimbangan teknis.
Tragedi Al Khoziny harus menjadi momentum kebangkitan kesadaran kolektif di seluruh Indonesia.Â
Tidak boleh lagi ada korban jiwa karena kelalaian struktur. Kecuali jika setiap pondok pesantren,Â
sekolah keagamaan, dan fasilitas sosial dibangun dengan pertimbangan mutu dan keselamatan, kitaÂ
terus berada dalam potensi bencana yang menunggu waktu. Mengakhiri opini ini, kita harus melihatÂ
bahwa setiap nyawa yang hilang adalah kegagalan bersama. Kegagalan dalam regulasi, pengawasan,Â
kepedulian teknis, dan kolaborasi antar elemen bangsa. Ke depan, membangun ilmu, iman danÂ
fasilitas keagamaan harus berjalan beriringan agar tidak ada lagi tragedi yang menoreh lukaÂ
mendalam dalam sejarah pendidikan Islam kita.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI