Etika merupakan bagian dari filsafat, nilai dan moral. Etika bersifat abstrak dan berkenaan dengan persoalan "baik" dan "buruk". Dalam dunia administrasi publik atau pelayanan publik, etika diartikan sebagai filsafat dan "professional standards" (kode etik), atau "right rules of conduct" (aturan berperilaku yang benar) yang seharusnya dipatuhi oleh pemberi pelayanan publik atau administrasi publik Denhardt (1988:17), etika didefinisikan sebagai cabang filsafat yang berkenaan dengan nilai-nilai yang berhubungan dengan perilaku manusia, dalam kaitannya dengan benar atau salah suatu perbuatan, dan baik atau buruk motif dari tujuan perbuatan tersebut. Sedangkan administrasi publik bersifat konkrit dan harus mewujudkan apa yang diinginkan publik.
Secara umum nilai-nilai moral nampak dari enam nilai besar atau yang dikenal dengan "six great ideas" Denhardt (1988), yaitu nilai kebenaran (truth), kebaikan (goodness), keindahan (beauty), kebebasan (liberty), kesetaraan (equality), dan keadilan (justice). Selanjutnya yang dapat digunakan untuk menilai baik buruknya suatu pelayanan publik yang diberikan oleh birokrasi publik dapat dilihat dari baik buruknya penerapan nilai-nilai efisiensi, efektivitas, kualitas layanan, responsivitas, dan akuntabilitas.
Dalam kehidupan bermasyarakat, seseorang sering dinilai apakah tutur kata, sikap dan perilaku sejalan dengan nilai-nilai tersebut atau tidak. Begitu pula dalam pemberian pelayanan publik, tutur kata, sikap, dan perilaku para pemberi pelayanan sering dijadikan objek penilaian dimana nilai-nilai besar tersebut dijadikan ukurannya.
Implementasi etika dan moral dalam praktik dapat dilihat dari kode etik yang dimiliki oleh administrator publik. Kode etik tidak hanya sekedar bacaan, tetapi juga diimplementasikan dalam melakukan pekerjaan, dinilai tingkat implementasinya melalui mekanisme monitoring, kemudian dievaluasi dan diupayakan perbaikan melalui consensus. Komitmen terhadap perbaikan etika ini perlu ditunjukkan, agar publik mendapatkan kepercayaan dari pihak pemberi pelayanan sungguh-sungguh akuntabel dalam melaksanakan kegiatan pelayanan publik.
Untuk membantu menerapkan prinsip-prinsip etika dan moral di Indonesia, pengalaman negara-negara lain perlu diadopsi. Tidak dapat disangkal bahwa pada saat ini Indonesia yang dikenal sebagai negara koruptor nomor muda atau paling muda di dunia, perlu berupaya keras menerapkan prinsip-prinsip etika dan moral. Etika perumus kebijakan, etika pelaksana kebijakan, etika evaluator kebijakan, etika administrasi publik atau birokrat publik, etika perencana publik, etika PNS, dan sebagainya, harus diprakarsai dan mulai diterapkan sebelum berkembangnya budaya yang bertentangan dengan moral dan etika.
Etika administrasi publik belum cukup menjamin untuk menghapus perilaku korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) pada birokrasi publik. Ada beberapa hal yang terpenting yaitu tergantung pada karakter dari masing-masing pelaku atau orangnya masing-masing. Dengan kata lain kesadaran melalui keimanan dan ketakwaan yang melekat pada diri orang tersebut.
Menurut Widodo (2006:74), mengatakan bahwa tindakan KKN pada dasarnya terjadi karena hasil pertemuan antara "niat" dengan "kesempatan" yang terbuka. Tindakan KKN bisa terjadi, baik pada birokrasi publik tingkat tinggi, menengah, maupun rendahan. Karena itu, untuk mencegah KKN menurut Widodo adalah diupayakan untuk tidak mempertemukan antara "niat" dan "kesempatan", melalui mekanisme akuntabilitas publik, menjunjung tinggi dan menegakkan etika administrasi publik pada jajaran birokrasi publik.
Suap termasuk dalam tindak pidana korupsi. Korupsi secara umum dianggap melanggar etika administrasi. Praktik korupsi melibatkan penyalahgunaan kekuasaan atau posisi dalam pemerintahan untuk memperoleh keuntungan pribadi secara ilegal. Praktik korupsi tidak hanya merugikan secara finansial, tetapi juga merusak kepercayaan masyarakat pada pemerintahan dan lembaga administrasi. Etika administrasi menuntut integritas, transparansi, dan akuntabilitas, sementara korupsi bertentangan dengan nilai-nilai tersebut.
Seperti tindakan korupsi yang dilakukan oleh Gubernur Maluku Utara Abdul Gani Kasuba (kanan) yang diduga sebagai tersangka kasus dugaan korupsi terkait proyek infrastruktur. Gani berperan menentukan pihak kontraktor yang dimenangkan dalam lelang. Abdul Gani Kasuba ditetapkan sebagai tersangka suap karena duga menerima suap Rp 2,2 miliar.
Gubernur Maluku Utara, Abdul Gani Kasuba mengatakan, kasus dugaan suap yang membuatnya ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) adalah risiko menjadi pejabat.
Hal itu disampaikan Abdul Gani Kasuba usai KPK secara resmi mengumumkan tersangka dugaan suap jual beli jabatan dan proyek pengadaan barang dan jasa di lingkungan Pemerintah Provinsi (Pemprov) Maluku Utara.
"Bukti permulaan awal terdapat uang yang masuk ke rekening penampung sejumlah Rp 2,2 miliar yang digunakan untuk kepentingan pribadi AGK, berupa penginapan di hotel dan membayar kesehatan yang bersangkutan," ucap Wakil Ketua KPK Alexander Marwata
"AGK (Abdul Gani Kasuba) dalam jabatannya sebagai Gubernur Maluku Utara menentukan siapa saja dari pihak kontraktor yang dimenangkan dalam lelang proyek dimaksud," ucap Wakil Ketua KPK Alexander Marwata dalam konferensi pers di gedung KPK, Jakarta Selatan, Rabu (20/12).
Alexander mengatakan nilai berbagai proyek infrastruktur di Malut itu mencapai Rp 500 miliar, yang bersumber dari APBN. Gani diduga memerintahkan bawahannya untuk memanipulasi progres proyek seolah sudah selesai di atas 50 persen agar pencairan anggaran bisa dilakukan.
Abdul Gani diduga memerintahkan Kadis Perumahan dan Permukiman Malut Adnan Hasanudin, Kadis PUPR Malut Daud Ismail, dan Kepala BPPBJ Malut Ridwan Arsan untuk menyampaikan proyek di Malut. Besaran nilai proyek jalan dan jembatan di Malut mencapai Rp 500 miliar dari APBN.
"Adapun besaran berbagai nilai proyek infrastruktur jalan dan jembatan di Pemprov Maluku Utara mencapai pagu anggaran lebih dari Rp 500 miliar, di antaranya pembangunan jalan dan jembatan ruas Matuting-Rangaranga, pembangunan jalan dan jembatan ruas Saketa-Dehepodo," ujar Alex.
Abdul Gani diduga menentukan besaran setoran setiap proyek. Abdul Gani juga diduga memerintahkan agar progres pekerjaan dimanipulasi seolah telah selesai 50 persen agar anggaran bisa segera dicairkan.
Selain itu Gani juga diduga menerima setoran dari para ASN di Malut. Abdul Gani mengatakan menjadi pejabat sering mendapat tekanan dari masyarakat. Dia mengaku menerima penetapan tersangka ini. "Apalagi dengan kadang-kadang tekanan masyarakat, kebutuhan masyarakat, jadi saya kira harus kita terima sebagai pejabat ya, dipercayakan," kata Abdul Gani.
Dari kasus tersebut kita juga bisa melihat bahwa Gubernur Maluku Utara tersebut mengabaikan keutaamaan karakter tanggung jawab, melanggar norma etika dan kode etik. Dalam kasus korupsi ini Gubernur Maluku Utara juga sadar akan perbuatannya karena kasus korupsi penerimaan suap yang didapat sebagai tangan kanan yang dipercaya untuk membangun proyek infrastruktur. Tindakan ini seharusnya tidak dilakukan dan tidak dibenarkan karena sangat merugikan dan berdampak besar kepada masyarakat.
Untuk mengatasi pelanggaran etika administrasi publik seperti korupsi, langkah-langkah yang dapat dilakukan seperti meningkatkan transparansi dalam pengelolaan keuangan dan kebijakan publik untuk meminimalkan celah bagi tindakan korupsi. Memberikan pendidikan dan pelatihan etika kepada pejabat publik untuk membangun kesadaran akan konsekuensi pelanggaran etika. Memperkuat penegakan hukum terhadap pelanggaran etika, termasuk penyelidikan dan penuntutan yang tegas terhadap pelaku korupsi. Serta Ajak masyarakat berpartisipasi dalam pemantauan dan evaluasi kebijakan publik untuk mengurangi risiko korupsi.
Sumber :
Pasolong Harbani. (2019: 226-237) Teori Administrasi Publik. Bandung: Alfabeta
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI