Mohon tunggu...
Riqko Windayanto
Riqko Windayanto Mohon Tunggu... -

Aku adalah seorang pecinta sastra, bahasa, dan seni. Seorang pembelajar yang terkapar oleh takdir. Yang mencoba merengkuh dunia dalam keterbatasanku. Aku adalah aku.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Selayang Pandang Onomastika dalam Sejarah Bumi Arema

21 Agustus 2018   20:25 Diperbarui: 21 Agustus 2018   20:50 242
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Kota Malang merupakan kota metropolitan kedua di Jawa Timur setelah Surabaya. Kota yang terkenal dengan penjulukan 'Bumi Arema' dengan kualifikasi pembangunan infrastruktur yang tak kalah maju dengan kota-kota besar di Indonesia, ternyata memiliki asal-usul tersendiri dalam penyebutan atau onomastika 'Malang'. 

Malang memang terkenal sebagai pusat kota sejarah, sebab, percaturan Hindu-Budha bersumber dari Malang sebagai basis berdirinya kedua agama yang manunggal dalam sejarah Indonesia tersebut. Tercatat sejak era purbakala, Malang telah menjadi pusat permukiman dan penemuan bukti-bukti sejarah.

Hipotesa toponomi Kota Malang berasal dari Prasasti Ukir Negara, berbahasa Jawa Kuno, yang ditemukan awal tahun 1975 di sebuah perkebunan Desa Sirah Kencong, Wlingi, Kab. Blitar. Dalam prasati kelompok kedua tersebut, disebutkan bahwa Sri Digdaya Resi memberikan sebidang tanah kepada Dyah Limpa. Rakriyan Dyah Limpa pun berkedudukan di Gasek (dusun di Karangbesuki, Malang). 

Dalam prasasti itu bertuliskan, "...taning sakrid malang akalihan wacid lawan macu pasabhanira dyah limpa makanagaran i ...", yang artinya "Di sekitar timur tempat berburu sekitar Malang bersama Wacid dan Mancu, persawahan Dyah Limpa yaitu...". Wilayah Malang kala itu meliputi Gadang, Kebalan (Kebalen), Dau, Ayuga, dan Princi. Sehingga, dapat disimpulkan bahwa penggunaan toponomi 'Malang' telah ada sejak abad XII atau 1198 M.

Hipotesa kedua , kata 'Malang' berasal dari nama sebuah bangunan suci yang bernama Malangkucecwara (dibaca Malangkuseswara). Nama bangunan suci itu berasal ditemukan dalam dua prasasti Raja Balitung dari Jawa Tengah, yaitu Prasasti Mantyasih 907 dan satu prasasti di wilayah antara Malang-Surabaya. 'Malangkucecwara' berasal dari tiga kata: 'Mala' yang artinya ketidakbenaran, angkara, dan kebathilan; 'Angkuca' yang berarti menghancurkan atau membinasakan; Icwara (Iswara) yang artinya Tuhan. 

Dengan demikian, bila dirangkai akan bermakna 'Tuhan menghancurkan yang bathil'. Namun, hingga saat ini, ahli sejarah dan arkeolog masih memperdebatkan dimana letak bangunan suci tersebut, ada yang berpendapat berada di Pegunungan Buring dengan 'Malang' sebagai nama puncaknya, dan ada pula pendapat bahwa bangunan tersebut berada di daerah Tumpang yang banyak ditemukan situs-situs purbakala peninggalan Singosari.

Hipotesa toponomi 'Malang' yang terakhir justru berasal dari sebuah kisah kepahlawanan berdasarkan Babad Tanah Jawi Pesisiran. Disebutkan, setelah peristiwa Sandyakala ning Majapahit, Malang merupakan salah satu kantong Hindu yang masih tersisa. 

Pada saat itu, wilayah ini bernama Sengguruh dan berada di wilayah Brang Wetan (wilayah yang tergabung dalam satu kesatuan, mencakup Kadipaten Sengguruh (Kota Malang), Ngrawa (Tulungagung), Caruban (Madiun), Blitar, Lumajang, dan Surabaya). 

Pada tahun 1614, Sultan Agung ingin menguasai Surabaya sebagai basis Jawa Timur. Namun, untuk menguasainya, beliau harus menundukkan Kadipaten Sengguruh sebagai pintu gerbangnya. Dengan ekspansi 8000 pasukan di bawah pimpinan Tumenggung Surontani, Kesultanan Mataram mencoba menaklukkan Sengguruh. Namun, pasukan tersebut mengalami kesulitan sebab melewati medan alam yang sangat berat, seperti Gunung Penanggungan, Arjuno, Anjasmoro, Kawi, Kelud, Sungai Brantas, Sungai Metro.

Bahkan, mereka mendapat perlawanan yang sangat hebat dari masyarakat Sengguruh di bawah kepemimpinan senapati putri Proboretno, putri  Adipati Ronggo Toh Jiwo. Dengan pasukan yang sedikit, Sengguruh mampu mempertahankan wilayah. Sejak itulah, Sultan Mataram menganggap wilayah itu 'malang' atau 'menghalangi' sehingga timbulah onomastika 'Malang'. 

Sampai saat ini, masyarakat Kota Malang masih beranggapan bahwa toponomi kota berasal dari kisah yang melegenda tersebut. Hal ini didasarkan pada watak masyarakat Kota Malang yang cenderung keras, lugas, dan tidak mudah tunduk pada penaklukkan atau sesuatu yang tidak sesuai dengan nurani dan kepribadian.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun