Mohon tunggu...
Rio Wibi Sumiyarno
Rio Wibi Sumiyarno Mohon Tunggu... Saya berprofesi sebagai guru

saya memiliki hobi menulis dengan konten bertemakan pendidikan, sejarah, wisata, atau tentang pengalaman pribadi.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Peristiwa Geger Pecinan

9 Juli 2025   23:21 Diperbarui: 9 Juli 2025   23:19 31
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Pada awal abad ke-18 hubungan dagang antara Tiongkok dengan Belanda semakin erat. Belanda dan Tiongkok, dimasa itu saling melakukan kegiatan perdagangan dengan komoditasnya masing-masing di Kota Batavia yang pada masa itu dikuasai oleh Belanda. Tiongkok yang notabenenya adalah penghasil teh, emas, perak, tekstil, sutra, serta barang-barang porselin diangkut dari Tiongkok menuju ke Batavia. Sedangkan dari Batavia, mereka mengangkut barang-barang seperti rempah-rempah, lada, kayu cendana, cula badak, sarang burung walet, dan komoditas lainya untuk dibawa ke Tiongkok. Semakin gencarnya orang-orang Tiongkok yang datang ke Batavia, telah menarik perhatian tersendiri bagi warga Tiongkok untuk datang ke Batavia dan mengadu nasib disana. Hal itu menyebabkan laju pertumbuhan penduduk orang Tionghoa melonjak drastis hingga jumlahnya lebih dari 1000 orang. Pada umumnya mereka banyak yang bekerja di perkebunan dan pabrik gula. Pada tahun 1740, jumlah penduduk Tionghoa didalam tembok Batavia telah mencapai 2.500 orang. Apabila dikalkulasi semuanya, baik orang Tiongkok yang tinggal didalam tembok Batavia maupun diluar tembok Batavia, jumlahnya mencapai 15.000 orang. Hal itu setara dengan 17% dari total penduduk Batavia pada masa itu. Jumlah itu didasarkan pada sensus penduduk pada tahun 1778 yang kemungkinan jumlah orang Tionghoa lebih dari yang disensus.

Ada perbedaan diantara masyarakat Tionghoa yang tinggal didalam tembok Batavia maupun yang tinggal diluar tembok Batavia. Masyarakat Tionghoa yang tinggal didalam tembok Batavia mudah dikendalikan karena mereka tunduk pada pemimpinya. Sedangkan masyarakat Tionghoa yang tinggal di luar tembok Batavia lebih sulit diatur karena mereka tidak terikat dengan institusi manapun. Banyak dari mereka yang sulit untuk mendapatkan pekerjaan.

Ketika wabah menyerang yang disebabkan oleh kondisi kanal yang kotor disekitar bangunan-bangunan Belanda, wabah ini mengakibatkan meninggalnya Gubernur Jenderal Hindia Belanda Dirk Van Cloon (1732-1735). Akibat meninggalnya sang Gubernur Jendral VOC terjadilah perpecahan didalam tubuh VOC. Selanjtnya posisi Gubernur Jendral dijabat oleh Abraham Patas yang merupakan orang Prancis. Usianya sudah sangat tua dan sakit-sakitan hingga meninggal pada tahun 1737. Pada tahun 1738, telah terjadi kerugian pada pihak VOC. Gula yang dikirim ke negeri Belanda telah melebihi batas sedangkan kopi yang diangkut ke negeri Belanda sangat sedikit. Hal ini yang membuat sang Gubernur Jendral dan direktur jendral harus menutup kerugian tersebut. Disisi lain, meningkatnya jumlah masyarakat etnis Tionghoa yang semakin tajam telah menimbulkan masalah tersendiri di Batavia. Perkembangan jumlah etnis Tionghoa di Batavia telah membuat masyarakat dari etnis lainya tidak menyukainya dan merasa curiga.

Pada bulan Desember 1741 di Batavia, VOC mengeluarkan sebuah pengumuman bahwa kelompok Islam yang didukung oleh Banten, Cirebon, Bali, Blambangan, dan Kartasura akan melakukan pemberontakan. Hal ini menyebabkan orang Eropa di Batavia merasa tidak aman. Pemberontakan tersebut diduga dipimpin oleh orang Indo-Eropa yang bernama Pieter Everbeld.

Dengan adanya peristiwa tersebut, pemerintah VOC telah melakukan pembatasan terhadap warga Tionghoa. Atas usulan Wvan Imhoff, gubernur jendral Adrian Valckenier mengeluarkan peraturan surat izin bagi masyarakat Tionghoa. Kemudian pada tanggal 25 Juli 1740 mereka mengeluarkan resolusi "bunuh atau lenyapkan". Dari resolusi ini, orang-orang yang dicurigai oleh Belanda akan dipulangkan ke negerinya atau akan dibuang ke Srilanka dan Tanjung Harapan untuk dijadikan pekerja di pertambangan atau perkebunan.

Pada kenyataanya resolusi itu tidak sesuai dengan apa yang menjadi seharusnya. Banyak warga Tionghoa yang ditangkap tanpa bersalah dipaksa masuk kedalam kapal dan dibawa ke Srilanka dan Tanjung Harapan. Adanya resolusi ini, ternyata juga dimanfaatkan oleh orang Belanda untuk memeras warga Tionghoa yang kaya raya. Akibat keresahan yang terjadi diantara warga Tionghoa, sebagian dari mereka mempersenjatai sendiri untuk melawan Belanda. Pada tanggal 7 Oktober 1740 orang Tionghoa yang terdiri dari ratusan orang melakukan perlawanan terhadap Belanda di Meester Cornelis dan Tanah Abang yang menewaskan 50 orang Belanda. Serangan balasan terhadap warga Tionghoa dilakukan oleh Van Imhoff dengan mengerahkan kekuatan 1.800 pasukan dan 11 batalyon Pennist untuk melakukan pembersihan.

Pada tanggal 8 Oktober 1740, Belanda berhasil memukul mundur masyarakat Tionghoa, dan keesokan harinya VOC mengadakan pertemuan antara Jendral Vilckenier dengan para anggota Dewan Hindia Belanda. Sebelumnya sudah dilakukan jam malam oleh VOC dengan tujuan agar masyarakat Tionghoa tidak bersekutu dengan masyarakat Tionghoa yang lainya. Jalanan pasa masa itu sepi, dan hanya ada orang non Tionghoa yang menunggu tanda.

Mereka mendengar sebuah isu, bahwa orang-orang Tionghoa yang berada di luar tembok akan menyerang mereka dan menjadikan mereka dan anak-anaknya menjadi budak. Oleh karena itulah timbul kebencian dari masyarakat non Tionghoa di Batavia. Persamaan diantara orang-orang non Tionghoa terhadap kecemasan tersebut membuat mereka bersatu untuk melawan Tionghoa. Belandapun berada dibelakang mereka dan mempersenjatai mereka untuk melawan orang Tionghoa.

Sebuah kerusuhan pertama terjadi di dekat sebuah warung komplek orang-orang Tionghoa di kali besar Oost. Dari sinilah awal mula kerusuhan terjadi. Orang-orang non Tionghoa dibantu dengan Belanda menyerbu dan menjarah rumah milik warga Tionghoa. Setiap orang Tionghoa yang mereka jumpai dibunuh dan rumah mereka dibakar. Darah mengalir dimana-mana hingga lokasi itu dinamakan Kali Angke di Batavia yang berarti Kali Merah. Rawa Bangke di Meester Cornelis (Jatinegara) karena banyak bangkai orang-orang Tionghoa yang mengambang area rawa-rawa. Dan Tanah Abang karena disana banyak darah orang-orang Tionghoa yang menjadi korban.

Hari-hari setelah peristiwa tersebut, pembunuhan serta pembakaran masih saja terjadi. Pada hari Senin, telah keluar keputusan untuk memindahkan orang-orang Tionghoa yang perlu perawatan dari penjara VOC ke rumah sakit. Utusan dari VOC yang dikirimkan ke Tiongkok pada tanggal 1 dan 2 Oktober 1742 telah memberikan saksi bahwa mereka diseret dan dibunuh sangat kejam.

Itulah tragedi geger pecinan yang terjadi di Batavia. Sebagian mereka selamat dengan bersembunyi dicelah-celah serta sudut-sudut rumah. Sebagian lagi memilih untuk melarikan diri ke daerah Semarang dan Lasem. Menurut laporan Belanda pada tanggal 22 Oktober 1740 yang menyatakan bahwa orang-orang Tionghoa yang berada didalam tembok telah disapu bersih. Adapun menurut laporan yang lainya jumlah korban masyarakat Tionghoa pada masa itu mencapai 10.000 orang, termasuk 500 diantaranya adalah tahanan dan pasien rumah sakit, 500 orang terluka parah, dan 700 rumah telah dirusak, dijarah, dan dibakar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun