Mohon tunggu...
Rio WibiS
Rio WibiS Mohon Tunggu... Guru - Mahasiswa

Lulus kuliah dari Unnes Semarang

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Salatiga: De Schoonste Stad Van Midden-Java

21 Oktober 2022   22:31 Diperbarui: 21 Oktober 2022   22:55 1526
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: digitalcollections.universiteitleiden.nl

De Indische Kerk yang terletak ditengah hamparan Tamansari

Salatiga adalah sebuah kota kecil yang lokasinya berada di jalur yang menghubungkan antara Kota Semarang dan Kota Solo. Kota ini menjadi saksi sejarah masa lalu bangsa Indonesia yang pernah di kuasai Belanda selama beberapa abad. Buktinya adalah banyaknya bangunan-bangunan bergaya khas Eropa yang sudah didirikan sejak zaman penjajahan Belanda bahkan sudah ada sejak abad ke-17. 

Bangunan bergaya arsitektur Eropa banyak kita jumpai di jalan Diponegoro yang menghubungkan antara Kota Salatiga dengan Kecamatan Tuntang, Kabupaten Semarang. Kawasan ini dulunya dikenal dengan nama Toentangscheweg.

Pada tanggal 25 Juni 1917 pemerintah kolonial menetapkan Salatiga menjadi sebuah Gemeente atau Kota Praja. Agar pemerintahan di Kota Salatiga berjalan dengan baik, maka Burgemeester (Walikota) yang dibantu dengan Gemeenterad (Dewan Kota) membangun berbagai fasilitas di Salatiga. 

Fasilitas tersebut diantaranya adalah De Indische Kerk, Hotel Kalitaman, Hotel Berg en Dal, fasilitas pendidikan seperti Eerste Europesche Larger School yang berada di Toentangscheweg dan Tweede Europeesche Larger School di Blauran Selatan, serta fasilitas perkantoran seperti Algemeene Volksch Bank, Telefoon Telegram Kantoor, Kantor Planologi, dan kantor Asistent Resident yang lokasinya berada satu kompleks dengan rumah dinasnya.

Dengan semua itu maka kawasan disekitar rumah Asistent Resident telah benar-benar berkembang menjadi pusat kota. Perkembangan yang pesat tersebut telah mendorong orang-orang kulit putih untuk menjadikan kawasan tersebut sebagai kawasan elit. Itulah sebabnya orang-orang Eropa banyak yang membangun rumah dengan gaya arsitektur khas Eropa dengan halaman yang luas di sekitar kanan kiri Toentangscheweg.

 Daerah itu benar-benar menjadi kawasan permukiman orang-orang Eropa (Europesche Wijk).

Jumlah orang-orang Eropa yang tinggal di Salatiga semakin banyak. Oleh karena itulah banyak orang-orang Eropa yang tidak tertampung dikawasan elit tersebut. Beberapa diantara mereka terpaksa menjadi area tempat tinggal di sekitar Buksuling. Ada pula yang mencari lokasi tempat tinggal disekitar Jetis, alun-alun di Banjoebiroescheweg atau di Bringinscheweg. Walaupun mereka tidak berada di kawasan elit, mereka tetap membangun rumah-rumah dengan arsitektur bergaya Eropa. Bahkan ada kecenderungan bahwa halaman rumah yang mereka bangun semakin luas.

Jika di sekitar Jalan Toentangscheweg dijadikan permukiman orang-orang Eropa, maka orang-orang China yang dianggap setara dengan orang-orang Eropa mendapatkan kawasan permukiman di sekitar ruas Jalan Soloscheweg. Kawasan ini disebut dengan Chinese Wijk.

 Sama halnya dengan orang-orang Eropa, orang-orang China juga membangun rumah mereka dengan gedung-gedung permanen. Hanya saja yang membedakan rumah-rumah orang China dengan rumah-rumah orang Eropa adalah tidak memiliki halaman yang luas. Kebanyakan rumah-rumah orang China dijadikan tempat tinggal sekaligus tempat usaha. Oleh karena itulah memang sejak dulu kompleks pertokoan di Salatiga berpusat di Jalan Jenderal Sudirman saat ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun