Namun, kenyataannya tidak semua punya akses ke strategi dan sumber daya itu. Banyak yang akhirnya hidup dalam ketidakpastian, bergantung pada pasar yang tak ramah, dan merasa mimpi memiliki rumah hanyalah angan-angan yang jauh.
Ketika sebuah kebutuhan dasar seperti rumah menjadi beban yang sulit dicapai, dampaknya bukan hanya soal ekonomi tapi juga psikologis.
Tekanan untuk bisa memiliki rumah membuat banyak orang stres, merasa gagal, dan kadang terjebak dalam rasa minder atau kalah dibanding orang lain.
Sementara itu, secara sosial, ketimpangan ini menciptakan jarak yang semakin besar antar kelompok masyarakat.
Mereka yang punya rumah bisa menambah modal dan kekayaan, sementara yang tak mampu menjadi semakin tersisih. Rumah bukan lagi simbol kehangatan keluarga, tapi simbol ketidaksetaraan dan segregasi (seperti tindakan pengasingan kelompok).
Apa yang Bisa Dilakukan?
Bicara soal solusi memang bukan hal mudah. Tapi saya percaya, di balik semua masalah ini ada ruang untuk berpikir dan bertindak.
Pemerintah bisa mengintervensi dengan kebijakan yang lebih pro rakyat, misalnya dengan subsidi, pengaturan harga tanah, dan pembangunan rumah terjangkau.
Di sisi individu, kita bisa belajar lebih bijak dalam mengatur keuangan, mencari peluang investasi kecil, dan membangun komunitas yang saling mendukung.
Yang paling penting, kita harus tetap menjaga agar mimpi memiliki rumah tidak berubah jadi beban psikologis yang menghancurkan. Mimpi itu hak semua orang, bukan cuma milik segelintir yang beruntung.
Rumah bukan sekadar aset fisik, tapi rumah adalah tentang rasa aman, kebersamaan, dan tempat di mana seseorang bisa menjadi diri sendiri tanpa harus pura-pura.
Ketika harga rumah melebihi harga hidup, mungkin saatnya kita memikirkan ulang bagaimana kita melihat rumah. Mungkin bukan harus punya rumah besar atau mewah, tapi punya ruang yang cukup untuk hidup dengan layak dan damai.