Mohon tunggu...
rio mhd fahriansah
rio mhd fahriansah Mohon Tunggu... Mahasiswa

Saya suka membahas tentang ekonomi dan bisnis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Mimpi di balik seragam tambal

22 April 2025   21:00 Diperbarui: 22 April 2025   21:00 74
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Namanya Dinda, siswi kelas 2 SMP yang duduk di bangku paling depan, selalu membawa buku catatan usang dan pensil yang ujungnya sering patah. Seragamnya sudah memudar warnanya, bahkan sedikit tambalan di bagian lutut rok. Tapi matanya selalu berbinar saat pelajaran dimulai.

Ayahnya hanya tukang becak. Ibunya jualan gorengan keliling. Setiap hari, Dinda membantu ibunya menggoreng tahu dan pisang sebelum berangkat sekolah. Ia tak pernah mengeluh, meski kadang perutnya harus diisi dengan sisa gorengan pagi itu.

Teman-temannya tak jarang menggodanya.
"Din, kamu nggak malu ya bajumu robek-robek?"
Dinda hanya tersenyum. "Aku datang buat belajar, bukan buat gaya," jawabnya pelan.

Di balik kesederhanaan itu, Dinda punya mimpi besar: menjadi guru. Ia ingin anak-anak seperti dirinya bisa tetap belajar meski hidup pas-pasan.

Suatu hari, sekolah mengadakan lomba pidato bertema "Masa Depanku". Dinda ragu ikut, tapi gurunya, Bu Retno, tahu potensi Dinda.
"Kamu punya cerita yang layak didengar, Din. Kamu tahu rasanya berjuang," katanya.

Dengan suara gemetar, Dinda naik ke panggung. Ia tidak pakai baju baru, tapi ia membawa kejujuran dan harapan.
"Orang bilang kemiskinan itu nasib. Tapi aku percaya, ilmu bisa mengubah nasib. Aku tidak malu dengan hidupku. Aku bangga punya orang tua yang jujur dan pekerja keras..."

Seluruh aula hening. Bahkan beberapa guru meneteskan air mata.

Dinda pun keluar sebagai juara lomba pidato, dan ceritanya mulai menyebar. Tak lama kemudian, ia mendapat beasiswa dari sebuah lembaga pendidikan. Semangat dan tekadnya membuka jalan.

Tahun demi tahun berlalu, dan Dinda benar-benar jadi guru. Tapi ia tidak lupa ia tetap pulang ke kampungnya, mengajar anak-anak yang seperti dirinya dulu. Mengajar mereka bahwa mimpi tidak pernah dinilai dari isi dompet, tapi dari isi hati dan kemauan untuk berjuang.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun