Oleh Rio Ismail
Veronica Tan dengan tangis ekspresif mengungkapkan sikap suaminya, Ahok/Basuki Tjahaya Purnama, mengenai situasi kekinian dalam proses "peradilan politik" yang berlangsung saat ini. Ahok memilih mundur dan mengambil jarak dari situasi yang memang sedang digoreng untuk tidak hanya membunuh karir politiknya. Tetapi juga untuk menaikkan supremasi politik identitas yang berbasis rasisme dan sektarianisme. Jika melihat berbagai fakta, saya menganggap banyak yang membela Ahok, namun Ahok tidak ingin menggunakan dukungan dan pembelaan publik untuk memenangkan proses peradilan di tingkat banding. Sepertinya dia tahu bahwa cara itu akan memunculkan benturan dan makin "membarakan" situasi, sebagaimana yang diinginkan barisan intoleran. Sampai di sini saya salut dengan Ahok.
Ahok sesungguhnya membawa fenomena baru dalam pentas politik identitas di Indonesia. Baru kali ini ada orang Tionghoa, Kristen, dan minoritas yang dengan lantang melawan politik identitas ---yang sejak era kolonial hingga era kemerdekaan dan reformasi--- digunakan oleh kekuatan dominan, baik elemen-elemen fasisme maupun kapitalisme untuk mengendalikan dinamika politik. Pada tataran ini saya melihat penghentian proses banding oleh Ahok menutup peluang bagi kepentingan banyak pihak untuk memutar kembali bandul hukum ke arah penghentian penggunaan pasal-pasal karet mengenai penistaan agama sebagai alatmembunuh keberagaman dan demokrasi. Kita kehilangan celah untuk menguji pasal-pasal penistaan itu dalam proses peradilan yang sedang berjalan.
Nah, tugas para pembaru untuk meneruskan perjuangan memutus matarantai politik identitas ini dalam ranah peradilan. Jika perlu, publik harus melakukan pembangkangan sosial terhadap produk legislasi maupun produk peradilan yang mengandung substansi atau yang dicapai dengan cara-cara rasis dan sektarian. Bahkan sudah saatnya menghadang apapun bentuk ekspresi, aksi, dan insitusionalisasi kepentingan intoleran, rasisme dan sektarianisme. Kepentingan semacam ini tidak hanya menyandera hak-hak dan kepentingan kelas masyarakat miskin dan tertindas tetapi juga menghancurkan demokrasi.