Jika melihat secara nasional berdasarkan data BPS April 2019 oleh Bapak Suhariyanto seperti yang dilansir oleh JPNN.com (3/5/2019), didapatkan bahwa tingkat NTUP (nilai tukar usaha rumah tangga pertanian) cukup stabil. Hal itu disebabkan karena IT atau indeks harga yang diterima petani terhadap hasil produksi pertaniannya jauh lebih tinggi daripada IB atau indeks harga yang dibayarkan petani untuk mencukupi kebutuhannya sehari-hari.
Kemudian lebih spesifik lagi melihat kondisi di tanah Karo,pada data BPS di Januari 2019 lalu, NTP-nya secara umumnya memang menaik. Tapi khusus untuk produk hortikultura mengalami penurunan yang signifikan, yakni sebesar 2,5 persen. Â Â
Dan fenomena yang sama terjadi di tempatku di Sibolangit. Dengan tanah yang bahkan cukup jauh dari pusat vulkanik Gunung Sinabung, justru melihat di sisi kiri dan kanan banyak tanah yang kurang produktif. Ataupun bisa dibilang asal garap, kurang fokus dan hasil yang diterima pun kurang maksimal.
Karena akhirnya menemukan solusi yang pas bagi mandeknya kondisi perekonomian para petani kita. Gak usah jauh-jauh khususnya di daerah dimana aku tinggal, yakni para petani yang ada di Sibolangit dimana aku tinggal.
Mencoba mewawancarai beberapa orang Sibolangit untuk melihat fenomena dan fakta-fakta ini. Mulai dari para penjual langsung yang ada di Pasar Sibolangit maupun pasar yang ada di Berastagi, Tanah Karo Simalem. Baik itu produk bunga, buah-buahan maupun sayur-sayuran yang ada. Menemukan adanya kelesuan para pembeli. Khususnya produksi bunga-bunga yang ada.
Sampai di Sibolangit, oleh warga sekitar akhirnya malah menjadi buruh untuk membersihkan buah kemiri tersebut. Dengan upah yang dibayarkan ke mereka sekitar Rp.1.000 per kg. Bisa satu harian mereka di gudang tersebut, padahal jika mereka serius menggarap tanah mereka, hasil di dapatkan justru bisa melebihi itu.
Apa yang terjadi di Sibolangit dan Berastagi mungkin juga terjadi pada para petani yang ada di beberapa daerah di Indonesia lainnya juga yakni mengalami kelesuan. Hal ini justru menjadi tantangan besar bagi Pemerintah di dalam meningkatkan kesejahteraan para petani kita.
Jika melihat trand-nya memang jumlah para petani menyusut, hal itu ditunjukkan oleh Data BPS. Yakni jumlah pekerja di sektor pertanian di tahun 2018 berkisar 35,7 juta orang atau 28,79 persen. Padahal di tahun 2017 jumlahnya 35,9 juta atau 29,68 persen. Terjadi penurunan sebesar 0,89 persen.
Meskipun jumlah petani menurun tapi pada kenyataannya banyak anak-anak muda di Indonesia justru berminat di bidang pertanian. Â Hal itu dibuktikan dengan banyaknya para calon mahasiswa yang mengambil jurusan pertanian setiap tahunnya yang meningkat sangat tajam.
Kembali kepada kondisi pertanian di Sibolngit, diriku memang belum bisa berbuat banyak. Sebab masih belajar dan mencoba menggali dan menggali lagi potensi-potensi apa yang di sana. Tapi langkah pertama yang bisa dilakukan adalah terpikir untuk mengembangkan sistem hidroponik di tanah Karo Simalem ini. Sebab meskipun rata-rata penduduk disini punya lahan-lahan yang luas dan subur, Â sistem hidroponik akan mampu mendongkrak perekonomian di sini.
Mulai belajar bahkan sudah memesan paket kecil hidroponik dari Aplikasi Pak Tani. Menongkrongi youtube ataupun instagram dari orang-orang yang sudah sukses menjalaninya. Dan akhirnya ketemu dengan  sosok pemuda ini.Yang jika kusearch lebih lanjut, ternyata dia adalah mantan mahasiswa pertanian juga.
Pernah mengalami kegagalan dan akhirnya bisa menemukan solusi terhadap kegagalannya tersebut. Yakni serangan lalat daun membuat sayur-sayurannya kuning dan akarnya kecoklatan.
Ketemu 2 Sosok Jendral 'Petani' dan Inspirasinya
Dua sosok jendral Polisi ini ternyata pernah sama-sama memegang Kabareskrim Polri Indonesia. Yakni Bapak Susno Duadji dan Bapak Budi Waseso atau Buwas, yang sekarang menjadi Kepala Bulog Indonesia. Meskipun mereka seorang Jendral tapi kecintaanya terhadap kemajuan pertanian Indonesia jangan diragukan.
Melihat beliau mencangkul bahkan memetik kopi serta mengajarkan beberapa trik apa yang telah dikerjakannya, sungguh memberikan inspirasi yang baik bagi banyak anak-anak muda. Bayangkan seorang jendral tapi tidak segan memegang cangkul dan kembali bertani. Beliau mungkin berpikir Indonesia adalah negara agraria, seharusnya Indonesia bisa menunjukkan swa sembada di bidang pertanian.
Tapi yang tak kalah terinspirasi lagi dari sosok Bapak Buwas. Seperti yang saya kemukakan di awal, bagaimana perannya di Bulog dan membawa Bulog ke suatu sistem yang bisa meningkatkan derajat ekonomi para petani. Dimana bulog bukan hanya sebagai gudangnya stok pangan di Indonesia, tapi bagaimana mere branding bulog menjadi sentral penghasil produk-produk pertanian yang unggul dan inovatif.
Akhirnya beliau menyarankan para petani tersebut menanam kopi. Para petani tersebut setuju dan menanam. Tapi setelah panen, mereka datangi lagi Pak Buwas, bagaimana hasil kopi kami? Beliau-pun dengan sedikit geleng-geleng kepala, memutuskan membeli semua hasil kopi para petani tersebut. Bapak Buwas-pun bingung, kopinya mau diapain ada ratusan kuintal?
Jika menggunakan cara-cara biasa untuk memasarkan kopinya, tentu tidak akan laku. Sebab masing-masing kafe ataupun penggiat kopi sudah punya jalur kopi  masing-masing. Akhirnya Satu ketika ketemu dengan sosok jago kopi dari Italia yang kebetulan datang ke Indonesia. Dia menyarankan untuk mengola kopi tersebut dengan idenya.
Kemudian dedak beras oleh Buwas dijadikan bukan panganan untuk hewan, tapi dikonsumsi oleh manusia, yakni Bekatul. Sebab menurut hasil penelitian, justru dedak beras tersebut lebih mengandung banyak vitamin dibandingkan beras itu sendiri. Dan jika diuji dan membandingkan meminum satu cangkir bekatul dengan sepiring nasi, jauh lebih tahan lama laparnya saat mengkonsumsi bekatul.
Terakhir apa yang mau saya sampaikan. Bahwa jelas disamping mesin atau alat produksi pertanian memang kita butuhkan artinya perlu sentuhan modernitas, butuh inovasi lebih terhadap hasil pertanian yang dijual oleh para petani kita. Yakni menjadikan produk tersebut memiliki nilai yang jauh lebih tinggi dari semula.
Dan itu semua hanya bisa dihasilkan oleh manusia-manusia Indonesia yang sehat orangnya, cerdas, tidak pernah mengenal kata menyerah serta berani bayar harga. Segala cara mungkin bisa kita coba, tapi jangan lupa untuk mengevaluasi dan selalu berpikir bagaimana Pertanian Indonesia bisa semakin lebih baik lagi.