Mohon tunggu...
Rintar Sipahutar
Rintar Sipahutar Mohon Tunggu... Guru - Guru Matematika

Pengalaman mengajar mengajarkanku bahwa aku adalah murid yang masih harus banyak belajar

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Hex....

8 Desember 2017   08:28 Diperbarui: 17 Februari 2018   20:25 553
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

            Dokumentasi pribadi

Sebuah memory untuk oppung)

Ketika saya pulang ke kampung sekitar bulan September tahun 2011, saya sempat bertemu 3 kali dengan beliau sebelum kemudian saya mendapat kabar bahwa beliau telah kembali ke pangkuan Bapa di surga untuk selamanya.

Pertama kami bertemu di rumah beliau. Saya, istriku dan ke-4 anakku bertandang ke rumahnya. Kami bercerita panjang-lebar tentang banyak hal. "Baenjo natua-tua kopi i, lului roti i tu kode an" (Buat dulu kopi "natua-tua" beli biskut ke kedai sana), katanya dengan suara yang khas menyuruh oppung boru.

Dan tak seberapa lama menunggu, kopi dan biskuitpun menemani petualangan kami dari Medan-Jakarta-Bangka dan kemudian kembali ke kampung tempat kami tinggal. Terlalu sedikit waktu 1 hari, kamipun mengakhiri pembicaraan kami yang sebenarnya belum berakhir.

Kemudian pada malam hari "selepas maghrib" di hari yang sama, beliau bertandang ke rumah. Tak banyak hal yang dapat kami bicarakan secara berdua. karena banyak orang juga yang datang bertandang. Satu hal yang saya ingat beliau tanyakan: "Dang ikkon mamora jong puang asa boi pajongjong PT?" (Apakah seseorang tidak harus kaya raya dulu baru bisa mendirikan PT), katanya dengan suaranya yang berat. Dan akupun menjawab sebisa yang aku bisa. Itulah pertemuan kami yang kedua.

Pertemuan yang ketiga berlangsung sangat tidak resmi tetapi sangat mengesankan. Itulah yang menjadi judul dari cerita ini, Hex.

Waktu itu kami berada di rumah Op. Beny. Kami bercerita dengan bapak Beny dan beberapa teman lainnya di ruang depan. Tiba-tiba dia berdiri di luar dan melihat dari jendela.

"Masuk oppung", kataku.

"Ah diluar on ma au, sian janjela on ma au, huhut patanggirhon pat, dang tolap au be leleng hundul" (Ah, aku di luar saja, dari jendela ini saja saya, sambil meluruskan kaki, aku tak tahan lama berdiri), katanya.

"Nga sahat tudia nakkin dihatai hamu?" (Sudah sampai dimana tadi pembicaraan kalian?), tanyanya menyambung.

"Taringot tu karet, oppung. Saonari karet lagi musim. Par-Pearaja nga mamora dibaen karet. Termasuk ma baean si Naektua Sipahutar" (Mengenai kebun karet, oppung. Sekarang sudah banyak orang yang kaya karena karet, termasuk saudara Naek Sipahutar di Pearaja), kataku.

"Hahaha... ", kemudian beliau tertawa.

"Di boto ho do hex? Hea do dibege ho hex?" (Kalian tau hex)? Kalian pernah mendengar kata Hex?), tanya beliau.

"Dang hea, oppung" (belum pernah, oppung), kataku.

"Ditikki zaman Sukarno najolo, adong do dibaen istilah hex. Ise namanuan karet dilaporhon ma tu camat, annon leanon na ma hepeng hira-hira 500 ribu tu arga nuaeng. Sude ma jojor jabu marlomba manuan karet. Sude ma haliang hutaon karet. Tujuanna lao bersaing tu Malaysia. Alana si Sukarno sogo rohana mamereng Malaysia"

(Dahulu pada zaman Soekarno, ada digunakan istilah Hex. Siapa yang menanam karet, silahkan laporkan ke Camat setempat, dan nanti akan diberikan uang setara dengan 500 ribu untuk nilai uang sekarang. Tujuannya agar dapat bersaing dengan Malaysia, karena Soekarno tidak suka dengan Malaysia), cerita beliau semangat.

"Alai di botoho do muse? Dung balga karet i, dang adong be arga ni karet. Gabe di taba i ma karet i mambaen soban" (Tapi kalian tahu apa yang terjadi kemudian. Setelah pohon karet besar itu harga karet turun kemudian pohon karet itu diditebang untuk membuat kayu bakar), sambungnya sambil tertawa.

Beberapa tahun kemudian setelah beliau pergi untuk selamanya, prediksi beliau betul-betul terjadi. Harga karet rontok. Petani karet mengeluh dan meninggalkan kebun karetnya. Hanya saja mereka tidak tega menebang pohon karetnya dan menjadikkannya kayu bakar. Sambil berharap suatu saat harga karet dapat kembali membaik.

Saya dengar rumah beliau sekarang sudah kosong. Anak-anaknya semuanya merantau. Tak satupun tinggal di kampung. Sepeninggal oppung baoa, oppung borupun pergi ke rumah anak-anaknya di perantauan.

Kondisi oppung boru yang sudah tua dan kurang sehat tidak kuat sendirian di rumahnya. Itulah mungkin salah satu alasan mengapa rumah itu dibiarkan kosong sampai hari ini.

Selamat jalan oppung, tenanglah dalam pangkuan Bapa di Surga. Sampai bertemu kembali di kekekalan. Jika kelak rencana kami para perantau taon baruan di kampung terlaksana, engkau tetap ada sekalipun sudah tidak ada.

(RS)

"natua-tuaa" panggilan akrab seorang suami yang sudah tua terhadap istrinya dalam suku Batak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun