[caption caption="Elemen Elementer. Sumber: Screen-shot Pedoman EYD"][/caption]Ingatanku melayang kembali ke tahun-tahun menghabiskan masa sekolah SMP di kota kecil tempat kelahiranku. Di bangku SMP, di pelajaran Bahasa Indonesia, aku menemukan sosok aneh. Seorang guru yang menyuruh muridnya menulis ulang buku Ejaan Yang Disempurnakan. Ya! Menulis kata demi kata di buku EYD ke sebuah buku tulis. Buku EYD itu harus ditulis ulang, persis sama. Begitu perintahnya.
“Kegilaan macam apa ini?” itu yang terlintas ketika itu. Tetapi karena gurunya super galak, setidaknya pernah menampar pipi temanku yang tidak mengerjakan pekerjaan rumah unik itu, seluruh kelas akhirnya selalu berhasil dengan baik menyelesaikannya. Juga karena pekerjaan rumah ‘menyebalkan’ ini diperiksa satu-satu dan ditanda-tangani sang guru. Pelajaran itu berlangsung 1 semester, tepatnya semester lima di tahun tiga. Kelegaaan mendera ketika akhirnya kata terakhir di buku itu berpindah ke buku tulis di akhir semester. Berakhir sudah penderitaan. Penderitaanku dan teman-temanku. Ejaan yang disempurnakan itu, dengan sempurna melekat di otak. Teringat hingga kini, walaupun sebagian sudah terkikis. Tentunya karena tidak pernah diperhatikan dan juga usia yang mulai mendewasa.
Ternyata, pengalaman puluhan tahun yang lalu itu akhirnya menemukan makna dan ruangnya kini. Hampir 35 tahun pengalaman itu berlalu. Ketika aku diingatkan betapa bergunanya pengalaman itu dan pengalaman itu adalah pengalaman yang sangat berharga, aku menyesal. Aku menyesal ketika dulu suka mengumpat dan memaki guruku itu, tentunya dalam hati. Sehingga aku berfikir kini, seharusnya bukannya umpatan yang aku berikan kepada guruku itu, tetapi rasa terimakasih yang tiada terhingga.
Ingatan ini juga sebenarnya yang membuat aku tidak berani untuk menuliskan pikiranku ke kompasiana. Sudah sekian lama menjadi anggota, lebih dari dua tahun, tidak satupun tulisan yang diunggah. Banyak yang aku pikirkan. Sebelum berfikir tentang isi tulisan, sudah banyak pertanyaan tentang benar tidaknya cara penulisanku. Kata, kalimat, tanda baca, kata depan, kata sambung, kesetaraan, kutipan, dan masih banyak lagi. Semua itu tentunya tertera di buku Ejaan Yang Disempurnakan tersebut. Penggunaan kata serapan, pemakaian kata-kata asing dan bahasa yang lebih baku, hal-hal itu terus menggelayuti. Hingga pada akhirnya tulisan hanya tersimpan di dalam folder-folder di komputerku.
Seminggu kemarin, sehabis mengikuti kursus menulis dengan instruktur wakil pemimpin redaksi media terkenal, aku menemukan frasa baru, kemampuan elementer. Kemampuan elementer itu adalah pemahaman tentang Ejaan Yang Disempurnakan itu. “Jika tulisan sudah rapih, maka sang editor akan sangat nyaman melihat tulisan Anda”, ujar sang instruktur itu. Lanjutnya,”Bereskan dulu kemampuan elementer ini!”. Meskipun itu dimaksudkan untuk tulisan yang ingin dimuat di medianya. Tetapi untuk kompasiana, tulis aja dulu, pada akhirnya kesadaran akan tata bahasa ini akan muncul. Benarkah?
Nasehat tersebut melekat dalam, sekaligus membangkitkan kenangan akan tugas ‘gila’ guru Bahasa Indonesiaku itu. Perhatian kepada tata bahasa ini harus mendapatkan tempat lebih. Untuk dapat menghasilkan tulisan yang menarik adalah ramuan bahasan yang menarik dan tata bahasa yang baik. Maka tulisan akan lebih baik dan menarik pembaca. Bisa jadi ini juga tidak sepenuhnya benar.
Memperhatikan tulisan-tulisan yang ada di kompasiana, aku menjadi lebih berani. Dengan ingatan yang masih tersisa tentang Ejaan Yang Disempurnakan tersebut, aku melihat-lihat tulisan yang ada di Kompasiana. Ternyata, kompasiana tidak terlalu ketat soal elemen elementer penulisan ini. Ini sedikit mengangkat keberanian untuk memuat tulisan pertama. Sejujurnya, setelah memuat tulisan pertama itu Kompasiana, tidurku tidak lelap.
Meneliti sedikit lebih dalam dengan memperhatikan tulisan-tulisan kompasianer yang terverifikasi, masih terdapat beberapa ketidaktepatan penggunaan elemen elementer ini. Masih terdapat banyak tulisan yang kurang memperhatian elemen satu ini. Tentunya banyak alasan untuk itu.
Kemungkinannya adalah kebiasaan menulis dengan bahasa gaya bahasa lisan. Mungkin bahasa lisan yang dituliskan lebih menarik. Bahasa yang tidak kaku. Penggunaan media sosial dengan ruang yang sempit bisa juga menjadi pendorong kebiasaan menulis dengan bahasa yang singkat, disingkat dan tanpa kaidah tata bahasa yang benar. Mungkin juga, guru-guru sudah banyak yang melupakan pengajaran tentang EYD ini.
Beberapa contoh sederhana yang bisa disajikan adalah kalimat-kalimat yang tidak diawali dengan huruf besar. Penggunaan tanda baca yang berlebihan juga didapati. Penggunaan kata depan yang kurang pas juga banyak ditemukan. Nama-nama tempat dan kota sering sekali juga tidak diikuti oleh huruf besar. Tentunya, saya tidak berani untuk menyebutkan nama-nama kompasianernya. Bisa bahaya!
Ini tentunya bisa jadi hal yang dapat diabaikan, jika kita hanya perduli dengan konten. Di samping itu, kompasiana juga tidak menyediakan editor. Bisa jadi pengelola kompasiana ini akan ‘teler’ jika harus menghadapi banyaknya tulisan yang diproduksi oleh para kompasianer yang sangat aktif menulis. Pasukan kompasiana sekarang tentunya akan kewalahan memeriksa setiap tulisan yang diunggah, memeriksa setiap kata, kalimat, tanda baca demi memenuhi kesempurnaan akan penggunaan elemen elementer ini.
Keseriusan masalah ini bisa jadi juga tidak penting. Tetapi, akan lebih baik sebagai bentuk pembelajaran berbahasa dan keruntutan dalam menyampaikan gagasan lewat tulisan yang diunggah, penggunaan tata bahasa yang baik dan benar menjadi suatu pengingat bagi para kompasianer.
Jauhlah sikap ingin menggurui bagiku dengan membuat tulisan ini dan mengunggahnya ke kompasiana. Aku masih pada tahapan sangat awal dari piramida tingkat kemampuan menulis. Keberanian mempublikasikan juga baru muncul bulan lalu dengan memuat tulisan ke kompasiana ini. Jika dulu pun ada tulisan yang pernah saya diublikasikan, artinya saya serahkan kepada orang lain, adalah surat cinta kepada sang pacar pada masa remaja dulu. Selain itu, tulisan-tulisan hanya berakhir di lemari tanpa sempat disampaikan ke pihak lain. Terlebih ada pengalaman tulisan ditolak Kompas, ketika masih SMA dulu.
Tulisan ini sebetulnya menjadi self-critic juga agi diri sendiri dan ingin tetap memilih jalur yang menurut saya benar, yaitu menggunakan tata bahasa yang baik dan benar. Karena dengan demikian, saya melatih diri dalam rangka mempersiapkan mencapai target yang ingin diwujudkan suatu ketika kelak, yakni menulis di media-media besar untuk menghasilkan satu ‘warisan’. Jika setidaknya ada yang mau melihat profile saya nanti, dengan mudah dapat dilakukan dengan mengetikkan nama saya di mesin pencari di internet, karena ada tulisan yang dimuat.
Untuk memastikan bahwa kemampuan elementer ini terpenuhi, dan untuk menghindari salah tulis yang mengesankan ketergesaan sehingga kurang memperhatikan kesalahan penulisan, maka aku punya cara untuk membuat sebuah tulisan. Bisa jadi juga cara ini dilakukan oleh Kompasianer lainnya, meskipun saya temukan ada tulisan-tulisan yang langsung dibuat di laman Kompasiana. Malah pernah kutemukan sebuah tulisan yang menurut penulisnya ditulis memakai blackberry.
Aku tidak pernah membuat tulisan langsung di laman Kompasiana. Tulisan akan aku buat di MS. Words. Proses pertama adalah menuangkan segala yang ada di kepala. Merapihkan dilakukan selanjutnya dengan memperhatikan alur penulisan. Kata-kata yang salah diperbaiki. Tanda-tanda baca yang kurang tepat dikoreksi. Ejaan dan penggunaan imbuhan yang kurang tepat diganti. Semua diupayakan baik sesuai dengan pemahaman akan elemen elementer yang ditanamkan di kepalaku.
Selanjutnya adalah meninggalkan sejenak tulisan itu. Aku meninggalkannya kurang lebih 10 menit, untuk mencari udara segar. Meskipun di Jakarta ini udara segar sudah sangat langka. Setidaknya memberikan ruang bagi tulisan untuk diresapi, setelah desakan untuk menghasilkan satu tulisan dan keinginan memuatnya segera di Kompasiana. Proses 10 menit dapat dilakukan dengan mengingat kembali tujuan menulis dan isi yang hendak disampaikan. Kemungkinan pesan yang ingin disampaikan di awal akan muncul kembali dan diharapkan membuat tulisan lebih ‘basah’. Tetapi, perhatian terbesar adalah pada elemen elementer ini. Takut nanti JS. Badudu marah jika melihat tulisanku ini.
Kenyataannya, sering sekali semakin dibaca bisa jadi semakin ditemukan kekurangan. Sehingga pada satu titik tertentu, aku harus bisa mengatakan ‘cukup’ kepada diri sendiri dan kepasrahan sepenuhnya akan respon sidang kompasianer setelah diunggah.
Sepenuhnya, tentunya tulisan ini tidak bermaksud menguliti tulisan-tulisan di Kompasiana, terutama terkait dengan elemen elementer. Aku tidak akan memiliki nyali untuk itu. Sebagai sebuah pemikiran, kiranya ini dapatlah diterima. Hanya itu yang aku harapankan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI