Mohon tunggu...
Rini Wulandari
Rini Wulandari Mohon Tunggu... belajar, mengajar, menulis

Guru SMAN 5 Banda Aceh http://gurusiswadankita.blogspot.com/ penulis buku kolaborasi 100 tahun Cut Nyak Dhien, Bunga Rampai Bencana Tsunami, Dari Serambi Mekkah Ke Serambi Kopi (3), Guru Hebat Prestasi Siswa Meningkat.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sinergi Segitiga Emas Pendidikan Bermutu, Karena Guru Bukan Superman

27 September 2025   22:55 Diperbarui: 27 September 2025   22:55 37
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
kolaborasi guru dan siswa-kompas.id

Dibandingkan dulu, pendidikan sekarang jelas jauh berbeda, tidak lagi sekedar memberi buku pelajaran, menyalin, lalu mengujinya dengan angka. Waktu sudah melesat jauh sejak kita masuk ke milenium baru 2000. Teknologi hadir di ruang kelas, siswa dituntut harus berpikir kritis, kreatif, berkolaborasi, dan punya daya lenting emosional yang lebih fleksibel ketika harus bersaing.

Jika tantangannya seberat itu, pertanyaan mendasarnya adalah siapa yang harus bertanggung jawab membentuk generasi tangguh itu? Guru Orang tua? Atau murid? Mestinya jawaban yang ideal, ketiganya harus berpartisipasi aktif. Ini kerja kolektif, kerja bersama bukan parsial.

Bagaimanapun pendidikan bermutu di kekinian zaman tidak bisa lagi dibebankan secara parsial pada satu pihak saja. Guru tidak mungkin bekerja sendiri di ruang kelas, murid tidak bisa tumbuh tanpa bimbingan, dan orang tua juga tidak bisa sekadar menyerahkan semuanya pada sekolah. Tanpa kolaborasi, pendidikan hanya akan jadi rutinitas, bukan proses yang benar-benar menguatkan generasi.

Guru, Orang Tua, dan Peran Ganda

Sekira sebulan lalu, saya mendapat siswa pindahan. Tak ada yang aneh dari tampilan Andra. Secara fisik juga proporsional. Tapi di satu sesi diskusi kelompok, tiba-tiba ia berubah menjadi pemberontak, tidak bisa mengendalikan diri. Berubah menjadi temperamental, emosinya meledak, dan sulit mengikuti aturan sederhana saat bersosialisasi dengan teman-temannya. Bahkan ia menjadi "penganggu".

Alasannya kadang kala sepele, karena idenya tidak dipilih. Buku tulis dan tasnya dilempar di depan kelas. Saya dekati perlahan, berjongkok di sampingnya.

"Kenapa kamu marah?".

"Mereka pikir cuma mereka yang pintar. Aku juga punya ide!".

Saya tidak lagi bertugas menenangkan kelas, tapi juga memberi ruang agar dia tetap merasa bagian dari kelompok. Jadi saya ajukan usulan. "Kalau begitu, kamu tulis idemu dulu di kertas? Nanti kita coba bandingkan dengan ide kelompok. Kita pilih mana yang terbaik, tapi semua tetap dibacakan."

Dia menerima usulan, dan perlahan emosi mereda.

Sejatinya tugas guru sekarang ini semakin tidak mudah. Apalagi jika harus menghadapi siswa dengan kondisi seperti Andra. Tuntutannya bukan hanya bimbingan akademis, tapi juga menemukan cara agar siswa tersebut bisa tetap bersaing dan belajar bersama teman-teman lainnya. Guru menjadi orang tua kedua. Tidak hanya hadir sekedar mengajar, tetapi mengasuh.

Saya komunikasikan juga kepada orang tuanya, perihal kejadian itu. Ternyata orang tuanya juga mengalami kondisi yang sama, kewalahan dengan sikapnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun