Lantas, apakah dimensi emosional ini cukup untuk membenarkan sebuah acara yang berpotensi menjadi beban finansial? Di sinilah pentingnya hadirnya kebijakan yang adil, bijak, dan berpihak, bukan sekadar larangan kaku tanpa ruang dialog.
Persoalannya memang tidak sesederhana yang tampak di permukaan. Apalagi seperti dialog Gubernur Dedi Mulyadi dan seorang siswa dan orang tuanya di media menunjukkan bahwa wisuda dan perpisahan sekolah, bagi sebagian besar siswa dan orang tua, adalah momen emosional yang dinanti.
Bukan sekadar acara seremonial, tetapi penanda pencapaian dan sebuah penanda penting: fase pendidikan telah dilewati, dan perjalanan baru akan dimulai. Ada haru, ada kebanggaan, dan tentu ada kenangan yang ingin diabadikan dalam peralihan penting dalam kehidupan anak. Maka wajar jika ada harapan untuk bisa merayakannya secara khusus, bahkan jika itu berarti mengeluarkan sejumlah biaya.
Setiap akhir tahun ajaran, sekolah-sekolah di berbagai penjuru negeri biasanya disibukkan dengan persiapan acara perpisahan dan wisuda. Bagi sebagian besar siswa dan orang tua, ini bukan sekadar seremoni, tetapi
Tapi untuk saat ini alasan emosional tidak cukup kuat untuk membenarkan pengadaan acara yang bisa menjadi beban bagi sebagian keluarga. Apalagi jika acara dilaksanakan secara mewah dan dipaksakan, tentu tidak bijak. Tapi jika dilakukan dengan sukarela, sederhana, dan penuh makna---banyak pihak yang mengganggap mengapa tidak boleh?
Yang menjadi persoalan besar adalah ketika kebijakan larangan oleh Pemerintah dibuat secara mendadak, tanpa sosialisasi yang cukup. Banyak sekolah dan orang tua sudah sejak awal tahun mempersiapkan acara perpisahan ini. Bila larangan tiba-tiba diterapkan tanpa transisi yang jelas, bukan hanya agenda terganggu, tetapi rasa keadilan juga dipertanyakan.
Maka, pemerintah daerah dan dinas pendidikan sebaiknya bersikap lebih bijak. Jika tahun ini dianggap tahun terakhir penyelenggaraan wisuda atau perpisahan oleh sekolah, beri ruang agar kegiatan yang sudah dirancang sejak awal tetap bisa berjalan dengan tertib, transparan, dan tanpa paksaan. Untuk tahun-tahun mendatang, bila ada pelarangan atau perubahan mekanisme, maka perlu disosialisasikan sejak awal tahun ajaran.
Selain itu, perlu ada alternatif perayaan yang lebih inklusif dan terjangkau. Sekolah bisa memfasilitasi kegiatan sederhana seperti pentas seni, refleksi bersama, atau dokumentasi video perpisahan yang digagas bersama OSIS dan guru. Tanpa pungutan, namun tetap bermakna.
Sebagai guru, saya melihat pentingnya menjaga semangat siswa dan orang tua untuk merayakan momen kelulusan, sembari tetap menjaga keadilan sosial. Perpisahan sekolah tak harus mewah, tapi juga tak boleh dihilangkan begitu saja. Kebijakan publik mesti hadir sebagai solusi, bukan sumber kebingungan baru.
Solusi Bijak, Tahun Transisi dan Sosialisasi yang Jelas
Bila memang pemerintah daerah merasa perlu menata ulang praktik penyelenggaraan wisuda dan perpisahan di sekolah, maka kebijakan tersebut perlu disosialisasikan secara jelas dan sejak awal tahun ajaran. Jangan sampai di tengah jalan, ketika persiapan sudah berjalan, kebijakan baru turun secara mendadak. Ini tidak hanya berisiko menimbulkan kebingungan, tetapi juga merugikan secara psikologis dan material.
Idealnya, tahun ini bisa dijadikan sebagai tahun transisi. Bila memang akan ada pelarangan ke depan, beri kesempatan kepada sekolah dan orang tua untuk menyelenggarakan acara yang sudah dirancang sejak awal. Tentu tetap dengan prinsip sukarela, transparan, dan tidak berlebihan. Dengan pendekatan ini, kebijakan yang bertujuan baik tidak akan menimbulkan resistensi di lapangan.