Jika itu terjadi, bukan hanya kebebasan akademis yang akan terhambat, tapi juga hilangnya proses belajar yang sesungguhnya. Ketika diskusi yang harusnya terbuka dan membangun malah terhenti karena rasa takut, tentu ini akan merugikan banyak pihak. Siswa, yang seharusnya belajar bagaimana berdebat dengan sehat dan menghargai perbedaan pendapat, malah terperangkap dalam ketakutan untuk mengemukakan pendapat mereka.
Cancel culture juga cenderung menciptakan polarisasi. Bukannya menjalin kesepahaman, komunitas sekolah bisa terbagi menjadi dua kubu yang saling bertentangan.
Alih-alih saling mendengarkan dan mencari titik temu, siswa malah fokus pada mencari kesalahan dari lawan bicara mereka. Ini akan merusak tujuan pendidikan itu sendiri, yaitu untuk menciptakan individu yang berpikir kritis, terbuka, dan mampu bekerja sama.
Dampak lain yang cukup serius adalah hilangnya keberanian untuk mencoba atau membuat kesalahan. Salah satu bagian terpenting dalam proses belajar adalah kemampuan untuk menerima kesalahan dan belajar darinya.
Tapi dalam budaya cancel culture, kesalahan bisa langsung dihukum tanpa kesempatan untuk memperbaiki diri. Hal ini menyebabkan banyak siswa yang takut untuk mengambil risiko, berkreasi, atau mencoba hal-hal baru karena khawatir akan dihakimi. Padahal, inovasi dan kreativitas adalah kualitas yang sangat dibutuhkan dalam dunia pendidikan dan kehidupan di masa depan.
Selain itu, dampak emosional yang tak kalah penting, mereka yang menjadi korban cancel culture bisa mengalami stres, kecemasan, hingga depresi. Pengucilan dan perundungan daring bisa meninggalkan trauma yang mendalam.
Sekolah seharusnya menjadi tempat yang aman dan mendukung perkembangan siswa, namun jika cancel culture diterapkan secara berlebihan, lingkungan tersebut bisa menjadi tempat yang menakutkan bagi mereka yang ingin belajar dan berkembang.
Dalam jangka panjang, cancel culture bisa menghasilkan generasi yang tidak toleran dan tidak kritis. Mereka akan terbiasa dengan budaya "membatalkan" orang yang berbeda pendapat dengan mereka, tanpa mau belajar untuk menghargai atau memahami perspektif orang lain. Ini tentu saja berbahaya bagi perkembangan demokrasi dan masyarakat yang inklusif.
Lalu, apa yang harus kita lakukan untuk mengatasi fenomena ini di lingkungan sekolah? Kita perlu membangun budaya diskusi yang lebih sehat, konstruktif, dan penuh empati.
Menghargai perbedaan pendapat dan memberikan ruang bagi setiap orang untuk belajar dari kesalahan adalah langkah awal yang baik. Kita harus mengajarkan siswa untuk berpikir kritis, tetapi juga untuk mendengarkan dengan hati terbuka, bukan hanya untuk mencari kesalahan orang lain.
Sebagai pendidik, kita juga harus memberi contoh yang baik. Mengajarkan siswa untuk berbicara dengan sopan, menyampaikan pendapat dengan cara yang membangun, dan memperlakukan orang lain dengan hormat adalah hal-hal yang harus diajarkan setiap hari.
Menghargai perbedaan dan mendukung proses belajar, tanpa terburu-buru menjatuhkan hukuman, akan menciptakan lingkungan pendidikan yang lebih inklusif dan memberdayakan.
Dengan cara itu, kita bisa memastikan bahwa sekolah tetap menjadi tempat yang aman dan mendukung bagi setiap siswa untuk berkembang dan berkreasi tanpa takut dihukum hanya karena perbedaan pendapat.
Ini bukan hanya tentang menghindari cancel culture, tetapi juga tentang menciptakan budaya diskusi yang positif, menghargai setiap individu, menyiapkannya menjadi pemikir kritis dan warganegara yang lebih baik.