Cancel culture telah berkembang lebih jauh daripada sekadar reaksi spontan terhadap suatu pernyataan atau tindakan. Seiring dengan kesadaran publik yang semakin tinggi terhadap isu-isu sosial, kesetaraan, dan keadilan, masyarakat semakin menggunakan cancel culture sebagai cara untuk memberikan tekanan terhadap individu atau entitas yang dianggap tidak sesuai dengan nilai-nilai tersebut.
Fenomena ini di satu sisi, bisa dianggap sebagai bentuk kesadaran atau respons masyarakat terhadap ketidakadilan, pelecehan, atau pandangan yang dianggap tidak pantas yang tidak sesuai dengan nilai-nilai kesetaraan, inklusivitas, atau toleransi, lalu publik bisa menyuarakan ketidaksetujuan mereka dan menuntut pertanggungjawaban. Dalam hal ini, cancel culture dilihat sebagai cara untuk memperbaiki kesalahan atau memperkuat norma sosial yang lebih baik.
Intinya, cancel culture adalah bentuk protes publik untuk menunjukkan bahwa ada batasan-batasan yang harus dihormati, dan jika seseorang melanggar batasan itu, ada konsekuensi yang membuatnya ditekan untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya.
Sebab Kemunculan Cancel Culture dan Peran Media
Contoh kasus yang menarik untuk dilihat adalah reaksi masyarakat terhadap influencer atau selebriti yang terlibat dalam masalah "cultural appropriation" (pemanfaatan budaya tanpa penghargaan atau pemahaman yang layak terhadap budaya tersebut).Â
Misalnya, seorang influencer yang mengenakan pakaian tradisional dari budaya tertentu untuk kepentingan gaya atau promosi, tanpa memahami atau menghormati makna dan sejarah budaya tersebut, dapat menghadapi serangan massal dari pengguna media sosial. Dalam beberapa kasus, mereka kehilangan dukungan sponsor, kolaborasi dengan merek, dan bahkan pengikut di media sosial.
Fenomena ini mencerminkan seberapa cepat respons masyarakat terjadi di dunia digital, serta bagaimana tekanan sosial yang datang dari kelompok besar bisa mempengaruhi individu atau bahkan perusahaan besar untuk menarik dukungan mereka.Â
Yang menarik dalam konteks ini adalah seberapa besar peran media sosial dalam menciptakan atau memperbesar efek dari cancel culture tersebut. Hanya dalam beberapa jam, sebuah pernyataan atau tindakan kontroversial bisa mengubah reputasi seseorang, menciptakan gelombang kecaman publik yang kadang berlebihan.
Namun, ada sisi yang perlu dipertimbangkan lebih dalam dalam kasus ini, yakni keseimbangan antara memberi ruang bagi individu untuk belajar dan berubah, versus menghukum secara langsung dan tanpa kesempatan untuk klarifikasi.
Hal ini memunculkan pertanyaan apakah cancel culture benar-benar efektif sebagai cara untuk mendidik atau malah malah hanya memperburuk polarisasi sosial, karena sering kali mengabaikan aspek niat dan konteks dari tindakan yang diambil.
Kasus ini juga menunjukkan betapa pentingnya kesadaran dalam memilah informasi, serta pentingnya bagi masyarakat untuk lebih bijak dalam menyikapi sebuah isu yang berkembang di media sosial.Â
Sebuah kritik atau kecaman bisa jadi berlebihan apabila tidak dilakukan dengan pertimbangan yang matang, sering kali berakhir dengan dampak yang lebih merugikan daripada yang seharusnya.
Cancel culture muncul sebagai fenomena atau tren yang signifikan di era digital karena berbagai faktor yang saling berinteraksi, termasuk kemajuan teknologi, perubahan dalam norma sosial, dan meningkatnya kesadaran akan keadilan sosial.
Media sosial memiliki peran penting dalam mempercepat penyebaran informasi dan memfasilitasi komunikasi massa. Di platform seperti Twitter, Instagram, dan Facebook, opini publik bisa terbentuk dan tersebar dengan sangat cepat.
Ketika seseorang atau sebuah institusi melakukan kesalahan atau tindakan yang dianggap tidak sesuai dengan norma sosial, respons atau reaksi dari publik juga bisa langsung muncul dan meluas dalam hitungan menit.
Hal ini memungkinkan terjadinya "cancel" atau penghentian dukungan terhadap individu atau entitas tersebut dalam waktu yang sangat singkat.