Mohon tunggu...
Rini Wulandari
Rini Wulandari Mohon Tunggu... belajar, mengajar, menulis

Guru SMAN 5 Banda Aceh http://gurusiswadankita.blogspot.com/ penulis buku kolaborasi 100 tahun Cut Nyak Dhien, Bunga Rampai Bencana Tsunami, Dari Serambi Mekkah Ke Serambi Kopi (3), Guru Hebat Prestasi Siswa Meningkat.

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Mengenal Arsitektur Indische Empire Style, Sebagai Inspirasi Arsitektur Hijau, Zero Energy Building

14 Desember 2023   18:08 Diperbarui: 17 Desember 2023   17:03 488
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
 mezanin inspirasi bangunan tinggi dari ide rumah kolonial sumber gambar https://radarmalang.jawapos.com/

Eco-Friendly Architecture, Bangunan Era Kolonial  

Sebelumnya bangunan Belanda didominasi dengan rumah-rumah yang besar dan mewah yang lazim disebut landhuizen, model-model rumah orang kaya di Batavia. 

Herman Willem Daendels, Gubernur Jenderal Hindia Timur 1808—1811, berjasa dalam menghadirkan langgam empire style. Handinoto menyebut Deandels mengubah rumah landhuizen yang ada di Hindia Belanda dengan suatu gaya empire style yang berbau Prancis.

Tidak ada dalam kamus Daendels untuk memelihara atau menghormati bangunan bersejarah di Hindia Belanda waktu itu. Baginya, bangunan lama yang sudah rusak parah yang bersejarah adalah sampah yang harus dibongkar. 

Saat pusat kota baru Batavia dibangun, orang Eropa menyebut pusat kota baru sebagai Weltevreden (Menteng) atau wilayah yang memuaskan hati. Penggunaan arsitektur Indische Empire Style dimulai.

Ciri-ciri bangunannya berbentuk simetris, bentuk ini memungkinkan di tengah bangunan terdapat ruang utama yang terdiri dari kamar tidur utama dan kamar tidur lainnya yang berhubungan langsung dengan teras depan dan teras belakang.

Terasnya yang sangat luas dan diujungnya terdapat barisan kolom yang bergaya Yunani (Doric, Ionic dan Corinthian). Dan dapurnya, toilet dan gudang yang merupakan bagian terpisah dari bangunan utama, letaknya ada di bagian belakang.

Arsitektur bangunan ini juga mengakomodasi air dan angin sehingga seisi ruangan tetap terasa dingin. Rumah ini pun dinilai cocok dengan iklim tropis di Indonesia.

Kita bisa dengan mudah menemukan contoh gagasan hunian yang eco-friendly atchitecture atau arsitektur hijau salah satunya dari rumah peninggalan era kolonial atau arsitektur Indische Empire Style tersebut. 

Rumah kolonial memang perpaduan antara gaya arsitektur barat dan juga timur. Coba perhatikan baik-baik bangunan era kolonial yang ada disekitar kita.

Jika bentuknya bangunan perkantoran pasti terlihat tinggi menjulang. Tapi jika bentuk arsitekturnya rumah tinggal, juga terlihat tinggi pada bagian atapnya.

Bangunan rumah model kekinian memanfaatkan void, ruang kosong diantara bangunan lantai satu dan dua, atau membangun mezanin sebagai ruang sirkulasi udara, rumah jaman Belanda justru memanfaatkan penggunaan lubang sirkulasi udara, dan bentuk bangunan atap yang tinggi.

Mezanin, sesungguhnya merupakan lantai di tingkat tertentu pada sebuah bangunan, yang sebagian terbuka atau yang tidak mencakup seluruh luasan gedung, sehingga terdapat sebagian ruang yang tidak terbagi antara lantai di bawahnya dan langit-langit lantai tersebut.

Apa yang membuat rumah atau bangunan peninggalan Belanda identik dengan hawa sejuk, walau tanpa menggunakan air conditioner (AC). Apa rahasia rumah lawas selalu identik dengan kenyamanan, sejuk, dan adem?.

 rumah era kolonial sumber gambar ciamis info.com
 rumah era kolonial sumber gambar ciamis info.com

Rumah era Belanda atau kolonial memiliki banyak jendela, tambahan lagi adanya ventilasi lainnya yaitu Boven, desainnya mirip jendela kecil yang bisa dibuka tutup. 

Biasanya berada di atas jendela. Karena bangunan rumah Belanda beratap tinggi, terdapat space atau ruang yang agak lebar diantara jendela dan atap, sehingga diamanfaatkan untuk Boven.

Selanjutnya terdapat  Loster, yaitu celah yang bisa dilewati udara. Saat inipun pemanfaatan loster masih populer kita gunakan, selain sebagai tempat sirkulasi udara, juga menjadi tempat masuknya cahaya meski dalam jumlah yang sedikit. Bentuknya kini semakin bervariatif.

Jika kita amati, sebagian rumah-rumah lama kita pun juga mengadopsi jendela model Jalusi (krepyak) yaitu ruas persegi panjang dengan bilah-bilah papan yang dipasang miring yang memungkinkan udara keluar masuk.

Dan satu hal yang menurut saya pribadi, sering membuat serem setiap kali mengamati rumah model Belanda adalah tembok dinding rumahnya yang tinggi, saya belum pernah mengukurnya, tapi mungkin sekitar 4–5 meter. Sementara rumah-rumah saat ini standarnya sekitar 4 meteran.

Saat  membangun rumah tumbuh pun saya berusaha mengadopsi beberapa hal yang menurut saya baik untuk menghemat energi dan mengurangi panas.

Salah satunya dengan membuat tembok yang tinggi agar udara lebih bebas mengalir dan berusaha memberi space seperti menyediakan void atau ruang mezanin, untuk bangunan dua lantai.

Dalam perkembangan sekarang gagasan yang digunakan dalam bangunan rumah Belanda tersebut mengadopsi Eco-Friendly Architektur alias Arsitektur Hijau. 

Bahkan gagasan arsitektur tersebut kini telah dimutakhirkan dengan gagasan  Zero Energy Building.

rumah ramah lingkungan sumber gambar ge-netzeroenergyhome
rumah ramah lingkungan sumber gambar ge-netzeroenergyhome

Yuk Lebih Kenal Tentang Zero Energy Building

Perkembangan seni arsitektural bangunan kini diiringi kemajuan teknologi yang semakin tinggi saat ini, menyebabkan bangunan menjadi bagian dari beban lingkungan hidup yang besar. 

Salah satu buktinya adalah data kajian yang menyatakan bahwa sektor bangunan menyerap sebesar 40% sumber energi dunia, bahkan di Indonesia, sektor ini bertanggungjawab terhadap 50% dari total pengeluaran energi, dan lebih dari 70% konsumsi listrik secara keseluruhan (EECCHI, 2012). 

Dari besarnya penggunaan energi tersebut, sektor bangunan berkontribusi terhadap 30% emisi Gas Rumah Kaca (GRK) di Indonesia. 

Dampak konsumsi energi bangunan yang besar terhadap alam, tentunya menyebabkan kondisi sumber daya alam khususnya sumber – sumber tak terbarukan menjadi semakin langka dan akan sulit diakses dalam beberapa tahun mendatang. 

Nah disinilah kita perlu pendekatan secara ramah (Eco-Friendly) bagi setiap perancangan bangunan. 

Pendekatan bangunan secara ramah (Eco-Friendly Architecture)  disebut juga Arsitektur Hijau, yang menghasilkan beberapa konsep perancangan arsitektur seperti: Conserving Energy ( Hemat Energi), Working with Climate (memanfaatkan kondisi dan sumber energy yang alami), Respect for site (menanggapi keadaan tapak pada bangunan), Respect for User (memperhatikan pengguna bangunan), Limitting New Resources (meminimalkan sumber daya baru), dan Holistic. 

Dengan latar belakang isu sumber energi tak terbarukan yang masih jarang dan dampak buruk akibat konsumsi energi  fosil bagi lingkungan, maka akan lebih baik bila dalam perancangan pembangunan lebih berfokus pada usaha konservasi dan efisiensi energi bangunan sehingga menjadi rancangan bangunan rendah energi. 

Bahkan tidak hanya mampu menghemat energi tetapi juga mampu memenuhi kebutuhan energinya sendiri ( Bangunan Nol
Energi). Inilah gagasan yang terus didorong agar setiap rumah bisa memiliki listrip atap yang bisa menghasilkan energi untuk bangunan itu sendiri dari EBT.

Jadi, konsep Zero Energy Building (ZEB) adalah terciptanya bangunan hijau yang dapat menghasilkan energi terbarukan yang cukup secara lokal untuk menyamai atau melebihi penggunaan energi dalam periode yang ditentukan. 

Pada dasarnya, dalam mengaplikasikan konsep ZEB yang harus diperhatikan adalah bagaimana menyeimbangkan antara jumlah sumber daya yang dipakai dengan jumlah sumber daya yang dihasilkan. 

Dengan konsep tersebut, desain bangunan akan memegang peranan yang sangat penting untuk mengurangi konsumsi sumber daya sebanyak mungkin, dan beban untuk menghasilkan sumber daya menjadi lebih ringan.

Jika dianggap Zero Energy Building masih sulit diaplikasikan karena masih tekendala mahalnya ongkos pemasangan panel surya, kita bisa mengadopsi gagasan yang ramah energi seperti yang kita temui dalam model arsitektural bangunan rumah-rumah Belanda atau era Kolonial yang hingga saat ini masih banyak yang tersisa.

Arsitektur Hijau yang Ramah Lingkungan

Saat ini pun masih sering kita temukan adopsi bentuk arsitektur bangunan yang kadangkala tidak sesuai dengan gagasan ramah lingkungan. Bisa jadi karena pemahaman yang salah atau karena kondisi yang memaksa, seperti membangun rumah lantai dua tanpa void, karena keterbatasan lahan. 

Namun dalam prakteknya perlu juga kita mengetahui tentang apa arsitektur hijau itu dan mengenai konsep-konsep perancangan arsitektur yang sesuai dengan pendekatan bangunan ramah lingkungan atau eco-friendly architecture:

Pertama; Conserving Energy (Hemat Energi): Fokus bentuk arsitektur ini ada pada efisiensi energinya dengan cara menggunakan teknologi dan desain yang mengurangi konsumsi energi. Misalnya dengan pemanfaatan sumber energi terbarukan seperti matahari, angin, atau energi geotermal.

Kedua; Working with Climate (Memanfaatkan Kondisi dan Sumber Energi yang Alami): Bangunan dirancang berdasarkan kondisi iklim setempat untuk memaksimalkan manfaat dari sumber daya alam, seperti sinar matahari dan angin. 

Pengaturan orientasi bangunan untuk memaksimalkan pencahayaan alami dan mengurangi panas berlebih. Penggunaan material yang dapat mengatur suhu secara alami.

Banyak bangunan tradisional kita mengacu pada gagasan ini. Atau kita juga mengenal tentang konsep feng shui bagi masyarakat Thionghoa.

Ketiga: Respect for Site (Menanggapi Keadaan Tapak pada Bangunan): BEntuk artsitekturalnya berusaha menghormati dan mempertimbangkan karakteristik unik dari tapak atau lokasi bangunan. Melestarikan dan mengintegrasikan lingkungan sekitar ke dalam desain, termasuk tanaman, topografi, dan kondisi alam setempat.

Keempat: Respect for User (Memperhatikan Pengguna Bangunan): Saat membangun kita harus memahami dan memenuhi kebutuhan penghuni bangunan yang kita buat. 

Menyediakan lingkungan yang nyaman dan sehat, termasuk kualitas udara dalam ruangan, pencahayaan, dan suhu yang baik. Melibatkan penghuni dalam proses perancangan untuk memahami preferensi dan kebutuhan mereka.

Seperti yang baru saja kita diskusikan dalam model bangunan era Belanda.

Kelima: Limiting New Resources (Meminimalkan Sumber Daya Baru): Hal penting yang patut menjadi perhatian kita saat membangun hunian adalah. mengurangi penggunaan sumber daya alam yang tidak dapat diperbarui, seperti kayu yang tidak berkelanjutan. 

Memanfaatkan material daur ulang atau ramah lingkungan. Merancang bangunan agar dapat didaur ulang atau dibongkar tanpa merusak lingkungan.

Keenam: Berkaitan dengan gagasan Holistic: Pendekatan yang holistik memandang bangunan sebagai bagian dari sistem yang lebih besar, termasuk masyarakat dan ekosistem.

Jadi saat merancang hunian mempertimbangkan dampak keseluruhan bangunan terhadap lingkungan dan manusia. Melibatkan pemikiran jangka panjang untuk memastikan keberlanjutan dan keseimbangan ekologis.

Ini bentuk pemikiran kita yang masih sangat jarang kita pertimbangkan, namun justru dalam tradisi kearifan lokal kita ini menjadi salah satu pertJmbangan utama.

Dengan menerapkan prinsip-prinsip ini, arsitektur hijau bertujuan untuk menciptakan bangunan yang tidak hanya efisien dari segi energi dan ramah lingkungan, tetapi juga menyediakan lingkungan yang nyaman dan sehat bagi penghuninya.

Sehingga sebuah rumah tidak hanya sekedar sebuah bangunan (house), tapi sebuah "home" yang menjadi tempat kita berkumpul bersama keluarga dengan seluruh kenyamanan yang memang dirancang untuk membuatnya menjadi sebuah "syurga".

referensi; !,2

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun